Lihat ke Halaman Asli

Nurdin Putra

penulis dan praktisi sehat

Cerpen | Laut Perdana ke Persinggahan

Diperbarui: 12 April 2020   11:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

* Sejauh garis melintang kutatap tak geming sejajar sudut mata, biru yang semakin kukejar nan menjauh, tak mungkin diraih. Kulihat nyata garis itu. Entah kemana arah perahu besar melaju, kuyakin diujung sana ada daratan kan kupijak sambil menatap surya mulai meraih langit.

Lintas perdana laut kutempuh menuju tanah Andalas. Bentuk penasaran dari pembicaraan orang tentang daerah ini mendorong keputusan bulat meninggalkan Jakarta, menuntaskan tugas.

Kupegang tepian kapal, logam tebal berbalut pelapis putih tebal menutup korosif garam. Erat kugenggam, takut seraya menahan angin berhembus kencang sekujur tubuh. Aroma laut yang kuat menerpa wajah. Sesekali bunyi tamparan air bersama derunya kapal melaju.

Gelombang laut agak tinggi, pikirku, sambil melihat dikejauhan awan nan gelap seakan hendak menyapa dengan kilatan petir. "Mau hujan?" tanyaku pada seseorang disebelahku. 

Rupanya ada penikmat cakrawala disebelahku. "Mana?" tanyanya sambil mencari tanda hujan, "oh masih jauh awannya" lanjutnya. Aku hanya tersenyum dan seolah paham aku mengangguk. Kadang angin berhembus dingin, tak lepas kupandang awan itu. Jauh... tinggi sekali.

PIkiranku terbang , melayang ke sebuah film dimasaku. Membayangkan sebuah kapal terpantau dari kejauhan dari tempat tertinggi, ditengah samudra luas. Suatu perbandingan ukuran jomplang antara kapal dan laut. Laut terbentang luas , kapalku sebuah titik dan aku.........titik kecil di dalam sebuah titik....

Oh, Tuhan, aku sadar, diriku sangat kecil sekali.

Setitik air menyentuh hidung menyadarkanku, gerimis, kulihat bapak disampingku sudah berlari masuk ke dalam kabin, tak lama hujanpun turun. Aku tertawa dalam hati mengingat bapak tadi mengatakan masih jauh ternyata angin kencang membawa awan itu mendekat. 

Kududuk tenang dekat jendela dan kunikmati buaian ombak nan mengayun. Langit gelap dan cakrawala menghilang. Batas laut tak tegas naik dan turun begitu tinggi di haluan. 

Disebelahku, ibu dan anak merapat menenangkan. Beberapa pria berdiri menikmati ombak. Lambungku melancarkan protes, ya sebentar lagi aku makan, mual, kataku dalam hati. Untung tak lama hujanpun berhenti, rasa nyaman hati luarbiasa.

Terimakasih Tuhan, Engkau sangat baik. Lautpun tenang

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline