Mungkin diantara kita cukup asing mendengar istilah Pokok Pikiran atau disingkat Pokir. Aturan Pokir memang lebih dikenal di tataran Pemerintahan Daerah. Istilah ini, sering disandingkan dengan istilah aspirasi.
Bagi anggota DPR RI, aspirasi sering dikaitkan dengan dukungan pendanaan dari APBN, sehingga sering disebut sebagai dana aspirasi. Nah, kalo Pokir, merupakan dana aspirasinya bagi DPRD di daerah.
Jika mengacu pada Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana telah diubah dalam PERPU No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, maka menyerap aspirasi merupakan kewajiban bagi setiap anggota DPR.
Akibatnya, karena menyerap aspirasi adalah sebuah kewajiban, maka negara wajib membiayai atas biaya aspirasi tersebut. Hal ini sering disebut sebagai kunjungan kerja secara berkala atau kewajiban anggota DPR untuk bertemu dengan konstituennya secara rutin pada setiap masa reses, yang hasil pertemuannya dengan konstituen dilaporkan secara tertulis kepada partai politik melalui fraksinya di DPR.
Sementara itu, dari kunjungan kerja berkala ini acap kali anggota DPR RI mendapat masukan dari masyarakat. Khususnya berkenaan dengan permintaan pembangunan infrastruktur atau permintaan bantuan dan lain sebagainya.
Lantas, dari mana biaya untuk memenuhi permintaan masyarakat tersebut? Apakah negara punya kewajiban untuk mewujudkannya? Ini yang mengetahui tentu pihak pemerintah bersama DPR RI.
Bagi anggota DPR RI penganggarannya melalui dana APBN. Sementara untuk DPRD, menggunakan anggaran APBD.
Berdasarkan Pasal 178 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, penelaahan Pokir merupakan kajian permasalahan pembangunan daerah yang diperoleh dari DPRD berdasarkan risalah rapat dengar pendapat dan/atau rapat hasil penyerapan aspirasi melalui reses. Artinya, Pokir secara aturan memang dibenarkan.
Tetapi, Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah mengingatkan bahwa anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota agar ber hati-hati dalam dana pokir. Jangan mengganggap uang Pokir adalah hak anggota DPRD. Sehingga yang timbul, kerap melakukan tindakan korupsi, terutama bagi Pokir dana hibah.
Pasalnya, arogansi oknum DPRD sering muncul ketika berbicara persoalan Pokir. Ditambah lagi pemahaman hukum keuangan daerah setiap anggota DPRD juga tidak semua sama. Bahkan, ada anggota DPRD yang menganggap bahwa Pokir adalah dana pribadi miliknya. Sehingga ketika dilakukan pengadaan, harus seizin dan sepengetahuan yang bersangkutan.