Rabies kembali memakan korban. Penyakit yang dikenal sebagai Penyakit Anjing Gila ini dilaporkan telah memakan korban di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hingga Kamis (1/06/2023), dilaporkan ada 107 orang yang diduga terinfeksi rabies karena terkena gigitan anjing. Dari jumlah itu, satu orang diantaranya telah meninggal dunia. Padahal, sehari sebelumnya, kasus gigitan baru mencapai 72 kasus.
Akibatnya, Pemerintah Kabupaten TTS pun telah menutup atau mengisolasi Desa Fenun, di Kecamatan Amanatun Selatan yang menjadi lokasi awal munculnya kasus rabies di Pulau Timor. Bahkan, jika pemerintah tidak melakukan langkah yang tepat untuk mengatasi kasus rabies, bukan tidak mungkin seluruh daratan di Pulau Timor akan tertular rabies. Termasuk, potensi virus itu merambah ke negara tetangga, Timor Leste. Mengingat, penularan rabies sangat cepat dan virulen.
Sehingga tepat apa yang telah dilakukan oleh Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang yang telah menutup Pulau Timor dari lalu lintas hewan pembawa rabies (HPR) seperti anjing, kucing dan kera. Sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia (2/6/2023), Penutupan Pulau Timor dari HPR tersebut sudah dilakukan sejak Selasa (30/5/2023) baik itu melalui jalur laut, udara dan juga melalui pintu lintas batas negara (PLBN).
Persoalan Rabies di Indonesia
Persoalan rabies di NTT ini sejatinya juga semakin memperpanjang daftar kasus penyakit anjing gila di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, jumlah gigitan rabies di Indonesia sejak tahun 2018 hingga agustus 2022 sebanyak 381,726 kasus.
Jika dirata-ratakan, maka setidaknya terdapat 76.345 kasus gigitan rabies setiap tahunnya. Atau, jika dirata-ratakan per harinya, maka terdapat 209 kasus gigitan rabies perharinya di seluruh Indonesia.
Sebagai Pejabat Otoritas Veteriner di daerah, penulis menilai terdapat Lima persoalan mendasar yang menjadi catatan dalam pengendalian rabies di Indonesia. Lima persoalan itu adalah:
Pertama, urusan kesehatan hewan (Keswan) bukan menjadi urusan wajib bagi pemerintahan daerah. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), urusan kesehatan hewan masuk dalam urusan pilihan. Keswan masuk dalam sub urusan pilihan pertanian.
Artinya, Pemda tidak memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan urusan keswan. Sehingga dampaknya, urusan kesehatan hewan banyak yang tidak dijalankan oleh pemda. Termasuk, tidak adanya tenaga kesehatan hewan di daerah.
Padahal, persoalan penyakit, apalagi ini menyangkut kesehatan masyarakat, kesehatan hewan sejatinya harus merupakan urusan wajib bagi pemda. Bagaimana mungkin akan menyelesaikan persoalan penyakit hewan jika dinas yang menjalankan fungsi kesehatan hewannya saja boleh ada boleh tidak (pilihan).
Selain itu, dengan semakin meningkatnya Penyakit Infeksi Emerging (PIE) pada manusia. Seperti Flu Burung Clade Baru, Ebola, Hendra Virus, Nipah Virus, SARS Cov, Monkey Pox dan masih banyak lagi yang lainnya, yang lebih dari 75% kasusnya bersifat zoonosis atau penyakit yang disebabkan oleh hewan, maka sudah seharusnya kesehatan hewan ditempatkan pada posisi yang seimbang di tataran pemda.