Lihat ke Halaman Asli

Farhandika Mursyid

Seorang dokter yang hanya doyan menulis dari pikiran yang sumpek ini.

Refleksi Sembelit

Diperbarui: 29 Juni 2021   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: badgut.org

Sebuah informasi sejenak.

Tulisan ini sebaiknya dibaca ketika anda tidak sedang makan, minum, atau melakukan kegiatan yang menyenangkan. Sesuai judulnya, tulisan ini akan membahas tentang saluran pencernaan dan sampah yang keluar dari saluran itu. Tapi, jika anda cukup kuat dan tidak merasa jijik, silahkan lanjutkan. Jika belum, selesaikan dulu.

Jadi, begini...

Kemarin itu adalah hari yang dramatis bagi aku pribadi. Saat itu, aku memulai hari dengan rasa sembelit dari saluran pencernaan. Beda dengan episode yang biasanya terjadi, rasa sembelit ini seakan rasa tergila yang pernah aku alami. Dari pandangan memori, sudah terbilang 2-3 hari aku tidak buang air besar (BAB) dengan lancar. Bahkan, konsistensi BAB terakhir yang aku keluarkan itu tergolong keras, butuh usaha sedikit berlebih untuk mengeluarkannya.

Tapi, pagi itu, aku sudah berusaha lebih keras untuk mengeluarkan BAB yang sudah memberikan sinyal tersebut. Namun, tidak bisa. Kakiku sudah hampir lemah, keringat bercucuran begitu banyak, tapi alangkah daya, tetap tidak bisa keluar dengan lugas. Aku sudah menyerah, emosi negatif mulai menjadi curah, aku hanya bisa pasrah. Saat itu, waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi, aku bahkan susah untuk sekadar berjalan dari kamar ke luar, bukan hanya karena lemah saja, tapi karena perutku sangat mulas sekali dan muncul rasa sebah di perut.

Sebelumnya, memang aku coba pil pencahar dan perbanyak minum air, tapi alangkah daya, tetap susah untuk dikeluarkan. Sebagai seorang dokter, aku mulai mengingat materi-materi yang pernah dipelajari tentang rasa sembelit itu sendiri. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, karena memang gerakan ususnya sangat kurang sekali. Yang kedua, karena konsistensi BAB yang ada memang sangat keras, sehingga susah untuk dikeluarkan. Kondisi yang aku alami saat ini sepertinya memang condong mengarah ke nomor dua itu.

Kebanyakan obat pencahar, seperti bisacodyl (contoh : dulcolax) itu berfungsi untuk meningkatkan pergerakan usus sehingga memudahkan hasrat ingin keluar. Namun, ada obat pencahar sejenis lactulosa sirupatau Microlax yang berfungsi untuk melunakkan konsistensi BAB itu sendiri. Tentu saja, aku membutuhkan dua obat jenis tersebut berhubung kondisi saat ini bisa dibilang cukup gawat, sehingga butuh solusi yang cepat. Dan, aku dengan terpaksa mencoba obat Microlax yang dikonsumsi melalui enema. Alias, menaruh obat melalui lubang pembuangan. Sesuatu yang belum pernah aku coba, tapi karena urgensi, aku harus melakukan itu.

Akhirnya, setelah 2,5 jam aku menyantap satu dosis laktulosa sirup, empat dosis Microlax, dan berpuluh kali menahan rasa sakit di bagian pembuangan sembari meraung dalam intensitas yang cukup tinggi, akhirnya pencernaan aku kembali membaik. BAB tadi kembali terjun bebas dan rasa perut pun kembali lega.

Ya... meski disertai dengan sedikit rasa mules, tapi setidaknya bebannya tidak separah waktu itu. Dari situ pun, aku mulai merenungi sesuatu yang berharga tentang rasa sembelit ini. Menerapkan prinsip Minangkabau yang berbunyi Alam Takambang Jadi Guru, aku coba menggali apa yang bisa aku pelajari dari rasa sembelit terparah yang pernah aku alami selama hampir 26 tahun aku hidup di dunia. 

Ternyata, ada satu hal yang penting.

Kita memang perlu mensyukuri hal-hal dasar yang masih bisa berjalan dengan baik. Hal-hal rutin yang kita lakukan setiap hari adalah sebuah kenikmatan bagi kita. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline