Di satu pagi yang tenang, aku mulai diri termenung menatap laptop di kamarku. Menunggu alarm yang ada di teleponku berbunyi untuk mengingatkanku akan jadwal olahraga pagi yang menyebalkan itu, jika tidak karena lemak di tubuhku yang menumpuk, mungkin aku abaikan saja alarm itu. Pagi itu, aku sedang kehabisan inspirasi untuk mengarang cerita setelah cerita yang sebelumnya aku terbitkan terpaksa aku tarik karena alasan pribadi. Ya, susah memang menghadap orang yang mudah tersinggung atas karya sastra. Marahnya bisa berjam-jam bahkan mungkin berhari-hari dan bisa menular ke yang lainnya juga. Infeksius.
Seharusnya, hari ini aku mulai diriku dengan belajar beberapa materi untuk Uji Kompetensi namun aku harus membiarkan Inersia bekerja lagi pada diriku. Aku mulai baca dan catat satu persatu materi yang perlu dihafal, kemudian beberapa selang setelahnya, aku mulai tergoda dengan beberapa media. Entah itu foto cewek Jepang yang selalu mengisi kolom like Twitter, kabar pertandingan bola basket, atau melihat cerita teman di Instagram. Aku terkadang iri melihat betapa produktifnya mereka di kala aku masih merenung pesimis akan nasibku kelak.
Inersia menyerangku lebih dalam kali ini. Padahal, sudah tiga hari ini, aku tidak mandi wajib. Bahkan, kata "Aishiteru, Farhan-san" yang aku tulis disertai foto artis (bukan film biru) Jepang favoritku pun belum cukup untuk melawan Inersia itu. Aku coba raih toples plastik yang ada di meja itu. Saat habis, ibuku sering isi beberapa macam cemilan di situ, entah itu kue, wafer, ataupun permen.
Bentuk toplesnya yang tidak transparan membuatku tidak bisa melihat isinya langsung. Sudah satu minggu tidak aku buka toples itu, sehingga aku lupa isinya apa. Dan, aku temukan ada empat permen kopi tersisa di toples itu. Aku pun menyambutnya dengan antusias meski sebenarnya, aku selalu pusing setelah mengonsumsi kopi dalam format apapun. Tapi, kali ini aku coba berdamai dengan itu dan menikmati apa yang ada karena hanya itulah yang tersisa.
Aku nikmati satu persatu, aku buka bungkusnya dengan mengucap rasa syukur. Beberapa hari ini, ibuku tidak membeli snack karena kepeduliannya akan program penurunan beratku. Sehingga, tentu menikmati satu permen kopi saja tanpa pengawasan Ibu menjadi kenikmatan disertai dosa tersendiri bagiku. Aku makan secara lahap sambil ku mainkan di lidahku, menikmati aroma kopi yang mencumbui langit-langit mulutku.
Ah, enaknya. Bahkan, efek samping pusing pun aku abaikan sementara karena orgasme yang aku dapatkan dari kopi ini, untung saja tidak basah celanaku dibuatnya. Aku coba pertahankan permen itu supaya tidak sampai ke kerongkongan, hingga aku mulai sadar bahwa permennya sudah menipis dan perpisahan itupun harus terjadi.
Satu persatu permen kopi yang ada, aku nikmati dengan proses dan kenikmatan yang sama. Alhamdulillah, kali ini tidak ada yang bobol sebelum waktunya ke kerongkongan. Jika itu terjadi, akan muncul rasa kesal di hati, hampir mirip dengan ejakulasi dini. Dan, saat permen terakhir habis, aku dikejutkan akan sebuah suara desus-desus yang muncul, selidik punya selidik, ternyata suara itu berasal dari gosip yang muncul dari para pembungkus permen.
Suara yang terdengar hanyalah bisik-bisik belaka, ya tidak beda jauh dengan suara krusuk-krusuk yang dialami pada televisi rusak di rumah, atau mungkin bahasanya tidak dimengerti oleh kita umat manusia. Namun, dari intonasi, aku dapatkan sepertinya percakapan yang dibikin cukup sendu
"Guys, cowok itu sudah menghabiskan permen kita ini? Gawat ini. Pasti kita akan berakhir di tong sampah ini mah."
"Iya, untung cowok itu belum buang kami, gimana kalo dia langsung buang? Aduuh, jangan dong."
"Ya Tuhan, entah apakah takdir kita sudah kayak gini? Aku benci gabung di sana, gelap dan bau lagi, aku ga mau disentuh sama lalat-lalat itu."