Lihat ke Halaman Asli

Farhandika Mursyid

Seorang dokter yang hanya doyan menulis dari pikiran yang sumpek ini.

Cerpen | Merantau Bersama Tinta

Diperbarui: 29 Oktober 2017   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minangkabau, aku izin merantau dulu ya | sumber gambar : jabresnet.blogspot.com

Karantau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Di kampuang paguno balun

Perantauan episode kedua pun dimulai! Kali ini, aku merantau lagi ke tempat yang lebih jauh dari kampung halamanku di Padang. Setelah menghabiskan waktu empat tahun di Jakarta mempelajari tata cara menulis dengan baik, membaca ratusan buku dengan berbagai jumlah halaman, menerima pemasukan duit dari orang tua yang pasang surut, mencari kertas-kertas tambahan dengan menjadi kuli tinta.

Akhirnya, aku pun mencoba peruntungan untuk bekerja tetap di Yogyakarta. Sebuah kota yang kerap disebut sebagai kota pelajar. Salah satu teman kuliahku sering bercerita tentang indahnya kota Yogyakarta ini. Entah itu dari murahnya makanan di sana, ataupun dari ramainya aliran kreativitas di sana, atau juga dari kentalnya budaya Jawa di kota tersebut yang mulai dihiasi dengan suasana keberagaman yang dibawa oleh para perantau.

Hari ini merupakan hari kedua aku di Yogyakarta. Sebelumnya, aku memutuskan untuk tinggal bersama Mak Rizal. Adik dari ibuku yang sudaah menghabiskan 10 tahun hidupnya di sini, sudah menikah dengan sesama perantau satu suku beda kota, punya anak dan anaknya pun sudah bersekolah di sini. Mungkin, anaknya pun belum paham satu atau dua kata bahasa Minang sama sekali. Pekerjaan harian Mak Rizal sekaraang ini yaitu membuka rumah makan Padang.

Sebuah hal yang cukup rutin terjadi jika kalian berpetualang ke berbagai macam kota di Indonesia. Sebagai orang yang sudah merasakan lidah masakan Padang, tentu hal ini berdampak positif bagiku yang selalu dimasakkan makanan serupa oleh Amak. Begitulah kami panggil Ibu kami dalam bahasa Minang. Namun, Mak Rizal sendiri selalu membanggakan bahwa rumah makan Padang miliknya adalah yang paling unik karena dia tidak membanggakan makanan Padang yang cukup medioker namun justru membanggakan teh telur yang menurutnya merupakan minuman kebudayaan yang tidak pernah dibahas ketika membahas tentang kuliner Padang. Sebuah kombinasi antara teh dan telur yang jika kalian seruput justru yang tercipta adalah rasa kokoa yang memberikan sensasi dejavu ketika mencicipi segelas kopi di pagi hari. Amak pun selalu menghidangkan teh telur untuk menambah stamina terutama pada saat aku belajar malam terutama ketika aku belajar waktu mendekati ujian nasional SMA.

Di Yogyakarta sendiri, aku hanya singgah selama tiga hari. Itu juga demi mengikuti wawancara kerja dengan The Indonesian's Eyes. Sebuah media yang baru saja berdiri kokoh tahun lalu yang sekarang sedang membutuhkan tenaga kontributor yang cukup banyak. Meskipun yang dibutuhkan banyak, bukan berarti peluang untuk diterima pun terbuka lebar.

Di beranda kantor Indonesian's Eyes ini pun, terlihat banyaknya orang yang berminat mendaftar sebagai kontributor, dari hitungan mata, sepertinya hampir ratusan yang diwawancarai di sini. Dan, tentu saja, semua wajah yang tertampang di sini pun tidak ada yang aku kenal. Setelah ditelusuri, ternyata yang mendaftar di sini pun bukan hanya dari Yogyakarta saja. Ada juga yang mendaftar dari luar.

"Selamat pagi, Masbro. Aku Akbar, dari Bandung. Tapi, aslinya sih dari Purwokerto, Mas."

Begitu pembicaraanku bersama Akbar, sesama pendaftar yang kebetulan tadi datangnya berbarengan. Akbar sendiri ternyata merupakan lulusan Filsafat dari sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Pengalamannya di dunia jurnalistik sendiri sudah terlihat dari beberapa buletin ataupun tulisan online yang dia pamerkan kepadaku. Tidak terhitung jumlahnya, ada yang diterbitkan, ada juga yang tidak jadi terbit.

"Salah satu kesuksesan terbesarku dalam tulis menulis itu ya, Mas. Waktu itu, sempat tulis satu artikel lingkungan gitu, Mas, waktu itu ada kasus gitu di Baturaden. Tulisanku bahkan masuk koran dan mendapatkan respon dari pihak Pemerintah Kota Purwokerto."

Aku pun ketika itu berdecak kagum spontan mendengar cerita dari Akbar ketika itu. Sepertinya, kelak dalam wawancara, bisa saja editor pun juga ikut kagum dengan apa yang Akbar miliki. Namun, bukan hanya Akbar saja yang bisa membuat para editor terdecak kagum. Mungkin saja, masih banyak pendaftar di sini yang punya prestasi yang membuat editor tersebut tidak perlu bepikir untuk membaca. Mereka mungkin langsung menanyakan gaji bulan pertama bagi orang-orang penuh bakat itu. Dapat dilihat dari beberapa pendaftar membawa dokumen tebal. Mungkin, yang dalam pikiran mereka kala itu adalah mereka ingin membawa sebanyak-banyaknya bukti tulisan dengan harapan dapat diterima di media ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline