Pada hari-hari terakhir ini, dunia maya sedang dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual berujung pembunuhan yang dialami oleh gadis 14 tahun bernama Yuyun yang terjadi di Kabupaten Rejanglebong, Bengkulu. Kasus ini sangat heboh karena pelaku kekerasan ini tidak tanggung-tanggung jumlahnya, 14 orang. Bahkan yang mengejutkan lagi, ada yang masih di bawah umur. Menurut pemeriksaan, ditemukan bahwa sebelum melakukan aksinya, para pelaku melakukan pesta minuman keras bersama. Setelah itu, mereka melakukan kegiatan sangat keji terhadap Yuyun. Menyekap, memperkosa bergiliran, memukuli, dan membuangnya ke jurang. Sangat keji dan tidak manusiawi.
Peristiwa ini seakan kembali membuka mata masyarakat Indonesia bahwa negara kita ini masih darurat terhadap namanya kekerasan seksual. Kita mengetahui bahwa kekerasan seksual merupakan kasus yang serupa dengan gunung es . Tampak kecil di permukaan, tetapi masih banyak di bawah dan tak terlihat. Pemerintah sendiri sudah mulai mencoba tindakan kuratif, seperti memberikan hukum pidana serta merencanakan sistem kebiri. Tetapi, tindakan kuratif seperti itu belum cukup untuk memberantas kekerasan seksual. Kita juga harus mempertimbangkan tindakan preventif atau pencegahan supaya kasus kekerasan seksual di Indonesia tidak meluas dan menjadi semakin gila dan tidak manusiawi. Salah satunya adalah dengan menyadarkan tentang bahaya konten pornografi terhadap anak. Hal ini juga turut mendukung bahwa selain dikarenakan pengaruh minuman keras, ternyata para pelaku kekerasan terhadap Yuyun tersebut juga menonton film pornografi secara frekuen.
Saya merupakan seseorang yang sempat mengalami kecanduan konsumsi media pornografi dan masih berjuang untuk berhenti dan juga kerap memberikan dukungan secara on-line terhadap teman-teman yang sedang mencoba keluar dari kecanduan pornografi. Saya merasakan bahwa meskipun Pemerintah Indonesia melalui Meninfokom sendiri sudah memberikan video sosialisasi tentang bahaya pornografi atau melakukan pembatasan Internet terhadap konten tersebut, tetapi hal itu masih belum cukup untuk mengatasi bahaya terhadap pornografi. Saya sendiri pernah diceritakan bahwa meskipun restriksi sudah diterapkan di jaringan Internet rumahan. Tetapi, di beberapa jaringan publik seperti warnet, situs pornografi masih bisa diakses secara langsung tanpa ada pengawasan. Sehingga, tidak jarang orang dengan ekonomi menengah ke bawah bisa mengakses dan mengunduh video tersebut untuk dikonsumsi kelak.
Bukan lagi rahasia bahwa pornografi membuat orang cenderung melakukan kekerasan seksual. Saya juga pernah mendengar cerita tersebut sekitar 7 tahun lalu di asal daerah saya, Kota Padang. Waktu itu, ada siswi sebuah SMP favorit yang harus meregang nyawa karena kasus pemerkosaan. Setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan bahwa pelaku tersebut menonton film porno sebelum melakukan tindakan tersebut. Penelitian yang diterbitkan oleh Journal Of Communication tahun 2006 menyebutkan bahwa paparan terhadap media pornografi baik itu mengandung kekerasan atau tidak, dapat meningkatkan perilaku agresif, termasuk memiliki fantasi tentang kekerasan ataupun mewujudkan dalam bentuk tindakan. Hal ini semakin dibuktikan dari Analisis Konten yang dilakukan oleh University of Arkansas dimana 88 persen dari adegan yang disajikan dalam film porno itu mengandung kekerasan fisik dan ternyata 95 persen dari korban yang seringnya wanita ini merespon dengan biasa saja, bahkan ada yang merespon dengan bahagia.
Sebagai mantan pecandu, saya dan mungkin teman-teman lainnya juga merasa bahwa pornografi mengubah pandangan kita terhadap dunia sekitar, terutama dari bagaimana pandangan kita terhadap kaum perempuan. Hal ini memang sering disebabkan karena otak kita memiliki sebuah sistem yang dikenal dengan sebutan “mirror neuron”.
Sistem ini merangsang sel-sel otak kita untuk belajar sesuatu dengan berbagai cara, seperti melihat orang melakukan hal tersebut, atau mempraktekkannya secara langsung. Hal ini juga berperan ketika kita belajar bahasa serta keterampilan. Dalam konteks terhadap konten pornografi ini, kita seolah-olah berpikir bahwa kekerasan seksual itu sebenarnya memberikan efek kesenangan semata bagi perempuan atau jika memang tidak ada unsur kekerasan, setidaknya kita mulai menganggap kaum hawa hanya sebagai objek untuk kekerasan seksual. Untungnya, saya sendiri tidak pernah melakukan hal tersebut dan cepat menyadari kesalahan saya.
Tetapi, tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa melihat konten pornografi merupakan hal yang wajar bagi kaum adam. Anggapan ini tentu harus diubah mengingat bahwa ternyata efek dari konten pornografi terhadap otak kita bahkan lebih berbahaya dari konsumsi narkoba ataupun miras. Hal ini disebabkan otak kita sendiri memiliki sebuah sistem penghargaan yang dibangun oleh dua zat yaitu DOPAMIN dan OPIOID, dimana zat dopamin lebih kuat ketimbang zat yang lain.
Ternyata, konten pornografi sendiri memiliki efek yang lebih kuat dalam meningkatkan kadar dopamin pada otak kita. Sehingga, kecenderungan kita untuk menjadi pecandu lumayan besar karena kita harus mendapatkan paparan yang sama atau mungkin lebih dari itu untuk memuaskan otak kita ketika kita membutuhkan rangsangan.
Bahkan, sebuah jurnal dari American Media Association menyatakan bahwa konsumsi pornografi dalam intensitas yang sedang saja dapat menurunkan bagian fungsional otak, terutama pada bagian yang mempengaruhi perencanaan, kontrol atas perilaku, serta prioritas. Tidak jarang juga orang yang mengalami kecanduan pornografi mengalami penurunan performa, konsentrasi, dan kehidupan sosial, seperti saya dan teman-teman saya. Hal ini juga mendukung pernyataan bahwa orang yang melakukan kekerasan seksual cenderung dimulai dari paparan berlebihan terhadap konten pornografi, dikarenakan mereka yang terbawa fantasi dan tidak dapat terkendali lagi.
Sudah saatnya bagi kita semua, baik itu pemerintah ataupun keluarga untuk menyadari bahwa pornografi bukanlah sesuatu yang wajar bagi umat manusia. Menurut saya, kegiatan pemerintah hanyalah fokus di bagian preventif, dan itupun belum sepenuhnya diterapkan. Dibutuhkan tindakan pengobatan dan rehabilitasi, terutama bagi para pecandu, berupa dukungan moral dan sosial sama seperti yang diterapkan bagi para pecandu narkoba.
Karena, tidak seperti saya yang berani mengungkapkan di forum ini, masih banyak orang yang malu untuk mengakui bahwa dirinya sudah menjadi pecandu konten pornografi, dikarenakan pandangan negatif yang akan diperoleh seperti cibiran atau ejekan. Saya sendiri juga pernah mengalami hal tersebut ketika saya berani membukanya ke teman saya.