Dua hari pertama di bulan Mei adalah hari-hari penting. Harinya sendiri boleh hari apa saja sesuai kesepakatan kita dengan almanak, sebagaimana kita tidak mempersoalkan hari apa Adam terusir dari surga; adakah umat manusia pernah keliru menyebut nama hari; dan hari apa sesungguhnya hari ini. Tapi dua hari pertama di bulan Mei terhitung sebagai tanggal 1 dan tanggal 2. Masing-masing diketahui sebagai Hari Buruh Sedunia dan Hari Pendidikan. Banyak kegiatan dilakukan untuk menandai pentingnya dua tanggal itu. Banyak hal juga perlu dicermati menyangkut orang-orang yang secara kasat mata menggerakkan roda perekonomian, dan terkait dengan upaya mencerdaskan bangsa.
Tentang Buruh
Barangkali kebetulan jika Hari Buruh Sedunia sering disebut May Day; suatu perkataan yang sama dengan teriakan seorang pilot atau nakhoda ketika menghadapi bahaya atau keadaan darurat lainnya. Tapi bukan kebetulan jika kaum buruh selalu meneriakkan nasibnya yang seperti di ujung tanduk dalam hegemoni kekuasaan dan modal. Posisi tawarnya tidak ada, setidaknya lemah terhadap koalisi penguasa dan pengusaha. Ketika pilihan menjadi sama sulitnya, kaum buruh hanya bisa bertahan dalam kegelisahan. Sulit memang kalau nasib buruh diletakkan hanya pada persoalan supply-demand. Catatan-catatan keuangan mestinya cukup mengajarkan betapa keserakahan hanya menyisakan sedikit apresiasi terhadap kaum buruh.
Kenyataan bahwa harga buruh murah, tentu tidak dapat dikaitkan dengan persoalan lain seperti larinya pemodal asing maupun domestik ke luar negeri. Begitu juga panjangnya birokrasi mestinya bukan alasan tutupnya sejumlah pabrik, karena toh jatah untuk kawan penguasa sudah dihitung sebagai cost. Di luar harga bahan baku dan energi, satu-satunya sebab yang paling masuk akal adalah keserakahan. Dalam rangkaian kepentingan seperti itu, buruh menempati posisinya sebagai pihak ketiga. Oleh karena itu, jika dalam masalah perburuhan, debat panjang tentang cara-cara produksi tidak lagi diperlukan, maka persoalan terletak pada bagaimana jerih payah buruh dalam perekonomian diapresiasi.
Apresiasi terhadap buruh bukanlah sekadar kompensasi yang diukur dengan uang. Bandrol (price tag) tidak boleh tergantung di leher manusia, karena harga manusia tidak terukur. Apa yang lahir dari tangan manusia sesungguhnya tidak ternilai. Seniman mengerti betul soal ini. Sebuah master-pieceyang mahal pun bisa digratiskan oleh sang maestro. Ini berarti bahwa ukuran apresiasi tidak semata-mata normatif,tapi juga etik. Bukankah selalu ada orang yang bekerja semata-mata karena suka? Peluang untuk itu perlu terus dibuka lebar, tapi bukan untuk menipu. Dengan begitu issue-nya bukan lagi bahwa buruh bekerja untuk bisa makan – meski inipun susahnya bukan main – tapi buruh bekerja untuk bisa hidup. Peluang bagi terbangunnya kesadaran buruh juga perlu ditunaikan, sehingga buruh bisa bekerja dalam kerangka menjadi manusia. Salah satu contoh terbaik dalam soal ini adalah seperti yang dialami para pekerja di Hungaria. Inilah semacam kompensasi etik dalam memberi apresiasi terhadap buruh.
Bagi buruh sendiri gagasan ideal seperti itu mungkin hanya angan-angan dan tak sempat terpikirkan. Buruh selalu disibukkan dengan hal-hal normatif. Sikap buruh seringkali bersifat reaktif. Maraknya aksi demo buruh terbatas pada tuntutan sekitar standar kebutuhan normatif sesuai aturan. Tuntutan yang lebih strategis menyangkut perundang-undangan dengan melibatkan massa buruh dalam jumlah besar biasanya menjadi agenda tahunan dalam moment Hari Buruh. Inipun sebenarnya reaktif (ceremonial?). Di luar itu, apapun tuntutannya, biasanya sengketa bisa dengan mudah dikompromikan tanpa menyentuh ini persoalan. Ini terjadi baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kesepakatan kerja, lembaga tripartit, serikat buruh, badan penyelesaian sengketa, dan lain-lain seringkali hanya jadi aksesoris. Tidak jarang perangkat-perangkat tersebut malah menjerat buruh tetap lumpuh. Nasib.. oh nasib!
Selain itu memang ada kelemahan prinsip di kalangan buruh. Ini terjadi bukan tanpa sebab. Faktor-faktornya adalah persoalan klasik. Mungkin untuk tujuan eufimisme, hukum positif (undang-undang) hanya mengenal istilah tenaga kerja, bukan lagi buruh. Sementara itu institusi perusahaan membagi pekerjanya ke dalam kelas staff dan karyawan. Oleh karena itu para petugas administrasi (klerk) tidak mau disamakan/disejajarkan dengan buruh. Pertanyaannya, bukankah staff dan karyawan itu adalah tenaga kerja menurut undang-undang? Di hadapan undang-undang, pengangguran pun adalah tenaga kerja. Lalu apa gerangan yang membuat para staff tidak solider dengan ikut gabung dalam unjuk rasa dengan karyawan? Atau setidak-tidaknya menunjukkan simpati dan pembelaan karena lebih punya akses informasi dan komunikasi? Kalau soal uang, upah karyawan bisa lebih besar dari gaji staff. Sepanjang sama menerima bayaran, tentu staff dan karyawan adalah sama sebagai buruh (tenaga kerja), bukan pengusaha. Perbedaan keterampilan teknis mestinya bukan alasan untuk tidak kompak dalam aksi unjuk rasa. Jika sudah menyangkut soal PHK, barulah para pekerja itu jadi solid karena merasa senasib, sama-sama mau ditendang. Hal-hal seperti ini sebenarnya terkait erat dengan mentalitas penjajah yang lama meraja dalam dada para feodal. Kutu kupret!
Tidak itu saja, masih ada faktor usang lainnya yang membuat buruh tidak pernah bisa cukup kuat memperjuangkan hak-hak sewajarnya. Setiap Hari Buruh tiba, seluruh jenjang komando teritorial TNI/Polri kerap mewanti-wanti adanya bahaya laten. Apapun konteks tuntutan buruh, spanduk-spanduk peringatan aparat itu terpajang penuh wibawa. Sebenarnya apa hubungan antara bahaya laten dengan tuntutan penghapusan out-sourcingmisalnya? Apa gerangan bahaya laten itu? Adakah bahaya laten itu terkait dengan pertentangan kelas yang memuakkan? Sedangkan klasifikasi terjadi di mana-mana dan amat disukai? Hal ini tentu sjaa mengganggu soliditas dan solidaritas kaum buruh. Sekalipun tidak mengerti, buruh merasa bayang-bayang trauma lama bangkit kembali dan menghantui. Karena itu buruh tidak akan dapat menyampaikan aspirasinya dengan lugas. Mereka akan dihantui ketakutan dan perasaan bersalah tanpa alasan. Ini mestinya tidak perlu terjadi, karena di dalam kuburnya Karl Heinrich Marx dan kawan-kawan sedang digebukin malaikat. Setiap orang yang mengharap surga tentu akan selalu berseberangan pikir dengan orang-orang yang mendustakan negeri akhirat.
Dokterandes
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H