Lihat ke Halaman Asli

Sang Dokterandes

Advokat/Pengacara yang suka seni

Air Mata Emas

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada mulanya adalah kebutuhan. Dari situ kemudian komoditi lahir dan mempunyai nilai untuk dipertukarkan. Nilai itu sering disebut harga. Harga suatu komoditi berbanding lurus dengan seberapa besar kebutuhan terhadap komoditi, dan berbanding terbalik dengan seberapa banyak ketersediaannya. Prinsipnya begitu. Tapi di "dunia pasar" dewasa ini, harga bukan lagi semata-mata persoalan kebutuhan berhadapan dengan ketersediaan komoditi. Masalahnya jadi lain ketika komoditi hadir dalam ragam-corak yang beraneka. Pilihan jadi melimpah (model sepatu cepat sekali berubah, sementara bentuk kaki manusia begitu-begitu saja). Akhirnya komoditi baru melahirkan kebutuhan baru. Supply creates its own demand. Dalam dunia di mana setiap relasi nyaris selalu berformat "dagang", segala sesuatu berarti komoditi. Menjadi manusia atau bukan, tidak begitu penting. Punya, jauh lebih penting. Tidak punya, berarti celaka, rendah, dan tidak di-reken. Menyakitkan memang. Tapi jangan khawatir, kesedihan tetap bisa menghasilkan. Air mata bisa jadi berharga. Banyak orang rela bayar mahal hanya untuk bisa menangis dalam satu sesi pelatihan management. Ceramah agama sering berisi acara isak tangis sekumpulan orang. Semakin seorang penceramah mampu membangun suasana haru-biru yang meliputi perasaan umat, semakin sering dia diundang TV dan ngetop. Kalau semua bisa dikomoditikan, kemiskinan pun bisa diperdagangkan sebagai tontonan dan laku. Banyak reality show dibuat dengan mengangkat tema kemiskinan. Kita bisa menyaksikan bagaimana orang miskin di pinggiran kota diberi sejumlah uang yang mungkin belum pernah dia pegang sepanjang hidupnya, untuk dibelanjakan-habis dalam waktu yang telah ditentukan. Tentu saja orang itu akan shopping secara tunggang¬langgang. Ada juga pertolongan (dengan syarat sedikit pekerjaan supaya tidak ada kesan memanjakan) kepada seorang ayah yang terdampar di kota dan tidak bisa pulang ke keluarganya karena belum punya cukup uang. Atau juga bantuan kepada sepasang muda-mudi yang kepengen kawin; atau kepada sebuah keluarga yang rumahnya nyaris roboh. Masih ada beberapa lagi program serupa itu, lengkap dengan sentuhan dramatisasinya. Ada kenikmatan tertentu menyaksikan kemiskinan dan derai air mata mereka saat mendapat 'karunia' Tuhan. Ada keasyikan tertentu melihat tingkah lucu mereka ketika berkesempatan merasakan sesaat jadi orang kaya, tidur di hotel mewah, atau makan di restoran mahal. Tapi sering luput dari perhatian betapa bantuan-bantuan itu sesungguhnya tidak tanpa pamrih. Mereka mungkin tidak tahu bahwa mereka memberi keuntungan lebih banyak dari yang mereka terima. Banyak merk dagang terlibat dalam program tersebut. Belum lagi kalau program itu masuk kontrak-tayang di TV. Rasanya susah untuk mengkategorikan bantuan seperti itu sebagai: "tangan kanan memberi, tangan kiri tidak boleh tahu". Kenyataannya tangan kiri itu bukan saja tahu, tapi mengambil lebih banyak sambil tetap merasa dermawan. Ada istilah dalam bahasa Sunda yang pas dalam hal ini: "nulung bari mentung, mere bari neke". Artinya kurang lebih, menolong sambil memukul, memberi sambil menjitak. Tentu saja program bantuan seperti itu diharapkan dapat memberi inspirasi dan kesadaran bahwa banyak orang di luar sana yang perlu dibantu. Tapi layak dipertimbangkan kira-kira siapa yang kuasa memberi sekian juta rupiah kepada orang miskin di jalanan secara sambil lalu. Dipastikan orang itu adalah orang yang benar-benar berlebih (high class), karena kelas menengah baru sampai pada titik pas dengan kebutuhan life-stylenya. Lalu, berapa banyak orang dari golongan high class yang mengisi waktu senggangnya dengan menonton TV? Sejauh ini pasti sudah banyak kaum high class yang menolong orang miskin tanpa pernah tahu ada acara seperti itu di TV. Katakanlah, yang hendak diinspirasikan itu bukan soal besaran (jumlah), tapi soal kerelaan dan ketulusan. Dalam soal ini, tolong menolong telah lama berlangsung dengan lancar di kalangan orang-orang susah jauh sebelum ada acara itu di TV. Dan bicara tentang ketulusan, tayangan seperti itu jelas bukan contoh yang baik. Kalau begitu, sepertinya tidak ada yang menginspirasi dari acara seperti itu, atau setidak-tidaknya gagal mengilhami. Satu hal yang pasti, acara itu menunjukkan bahwa kemiskinan dapat dikomoditikan. Penerimaan (pengakuan) seseorang bahwa dirinya miskin adalah satu hal, tapi pengetahuan banyak orang bahwa orang itu miskin (karena kemiskinannya dipertontonkan) menjadi harga dalam sebentuk perniagaan.

Djadjat Sukmawijaya Februari 2005

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline