Seperti halnya makan, urusan selangkangan pun merupakan kebutuhan. Kalau urusan makanan telah mendorong orang memikirkan cara-cara berproduksi, selangkangan meliputi alat-alat reproduksi. Disebut alat reproduksi, barangkali karena software yang satu itu dapat menghasilkan manusia-manusia pengganti, melahirkan generasi. Kalau orang tidak makan bisa lapar, maka kalau tidak melakukan seks sebagian orang atau pada umumnya orang dewasa bisa jangar (semacam pening kepala karena birahi lagi tinggi). Singkat cerita, seks merupakan satu dari kebutuhan pokok manusia. Dan pembicaraan seputar seks seringkali menarik, apapun motifnya.
Tapi urusannya tidak sesederhana itu. Kita mungkin pernah mendengar istilah straight, hetero, gay, homo, dan lesbian untuk menyebut beberapa macam orientasi seksual. Jumlahnya mungkin lebih dari itu. Orang awam yang orientasi seksnya lurus-lurus saja (straight) mungkin tidak mengerti: bagaimana aktifitas seksual dalam orientasi yang lain bisa terjadi; sensasi seks seperti apa yang muncul ketika misalnya lesbi atau homo bercinta dengan hetero; apa yang terjadi ketika mereka sedang bercumbu; apa arti cemburu; apa definisi selingkuh. Tidak berhenti sampai di situ, jika ada pasangan sejenis kawin dan berumah-tangga, lalu mana suami jelita - mana istri nan tampan; siapa betulin genteng - siapa bikin kue. Orang awam tentu sulit memahaminya. Luar biasa, aneka orientasi seks hadir dari hanya dua macam kelamin: jantan dan betina.
Konon ini pun terjadi di kalangan binatang. Cacing diketahui memiliki sifat hermaphrodite. Bison atau banteng Afrika yang tampak sangar itu dilaporkan banyak yang homreng. Jenis tertentu dari burung hantu katanya juga lines alias lesbong. Contoh-contoh lain masih banyak. Jangan-jangan hal serupa juga berlaku untuk bangsa jin atau iblis.
Dalam pandangan orang kebanyakan, perilaku seks seperti itu tentu saja ganjil. Tapi bagi mereka para penikmat dan praktisinya, hal itu tidak luar biasa. Hanya mereka sendiri-lah yang mengerti misteri itu. Logika orang konvensional tidak bisa connect dengan cara berpikir dan cita rasa mereka terhadap syahwat. Jadi jika selama ini interaksi antara orang umum dengan orang khusus itu tampak lancar-lancar saja, ini bukan karena orang umum sepenuhnya mengerti dan memahami mereka, tapi lebih karena sikap saling menghargai antar sesama. Sikap mereka bahkan lebih humble dan sangat ramah.
Pertanyaannya, apakah mereka bahagia di sekitar kita, sementara di habitat asli bersama kaumnya mereka tampak lebih nyaman dan cheers up? Kecuali kelompok waria yang ekspresif dan terbuka, mereka sering menyembunyikan banyak rahasia dari mata publik. Mereka punya bahasa sandi dan kode etik sendiri. Bayangkan kalau seorang perjaka/gadis dewasa mengangkat seorang anak, kemudian mengubah statusnya menjadi duda/janda, lalu tinggal di rumah ditemani sopir/suster, maka sempurnalah sebuah sandiwara. Bayangkan juga seorang laki-laki/perempuan memerlukan seorang suami/istri untuk dipajang di muka umum. Sepertinya sangat melelahkan untuk menutupi satu kebohongan dengan seribu dusta. Koq bisa ya?
Hal-hal aneh itu ada dan terjadi dengan jelas di masyarakat. Tapi ada juga yang tampak samar-samar atau bahkan tidak kelihatan sama sekali. Berdasarkan pengakuan umum para waria, barangkali perilaku seks aneh itu terjadi karena jiwa seorang perempuan yang terperangkap dalam jasad seorang laki-laki atau sebaliknya. Kalau sudah bicara soal jiwa, spirit, atau ruh, ya wallahu'alam. Tapi barangkali mereka hadir di tengah-tengah masyarakat tanpa bermaksud untuk mengacaukan harmoni kehidupan. Lagi pula para pendakwah dan penganjur moralitas sering mengingatkan bahwa fenomena tersebut sebenarnya tidak mengherankan. Perilaku seks aneh itu mestinya tidak aneh. Itu sudah ada dan terjadi pada jaman Nabi Luth di suatu tempat bernama Sodom dan Gomorah. That's it. Tidak ada penjelasan lebih lanjut kecuali bahwa kaum di jaman Nabi Luth itu binasa ditimpa hujan batu.
***
Selain tentang orientasi seks yang tidak lazim itu, soal emansipasi juga tidak kalah hot. Terlepas apakah dua hal itu ada hubungannya atau tidak, yang jelas soal emansipasi terkait dengan seks dalam arti tentang dua jenis kelamin: pria dan wanita. Soal ini terlalu penting untuk dilewatkan karena di dalamnya terdapat gagasan yang luar biasa hebat. Emansipasi menghendaki persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan, kesamaan peranan dalam masyarakat, kesetaraan gender, dan semacamnya. Gagasan-gagasan itu tentu saja memiliki kebenaran hakiki karena orang baik tidak dilihat dari jenis kelamin.
Benar begitu. Tapi kenapa perjuangan di issue ini sepi dari laki-laki? Kenapa selalu perempuan di garis depan? Tokoh pejuang emansipasi di republik ini adalah seorang perempuan bernama R.A. Kartini yang hari kelahirannya setiap tahun diperingati dimana banyak perempuan tampil seksi dengan sanggul dan kebaya. Atau dalam konteks kekinian, para tokoh terkemuka dalam memperjuangkan kesetaraan gender pun para perempuan. Jadi seolah-olah laki-laki itu anti-emansipasi, kontra kesetaraan gender. Padahal alangkah bodohnya laki-laki jika tidak bersetuju dengan kebenaran gagasan itu.
Sungguh sangat ironis membayangkan suatu situasi yang mendorong R.A. Kartini untuk bergerak menghabisi gelap dengan menerbitkan terang. Apakah keadaannya persis seperti yang dikatakan Titik Puspa: sejak dulu wanita dijajah pria dan dijadikan perhiasan sangkar madu? Jika benar demikian, betapa tidak adilnya Tuhan karena telah menggariskan takdir laki-laki sebagai penindas perempuan. Dalam sejarah peradaban manusia memang pernah ada suatu masa dimana setiap bayi perempuan dibunuh karena dianggap tidak berguna, dan pada kurun yang lain pernah terjadi dimana bayi laki-laki dibunuh karena akan mengundang malapetaka. Dua kejadian besar itu seperti menyiratkan bahwa dunia nan renta ini telah lama bergerak dalam keseimbangan dan harmoni di setiap detiknya.
Jika melihat kenyataan sekarang, tentu cita-cita besar RA Kartini telah berhasil diwujudkan. Dalam beberapa hal bahkan jauh melampaui target. Betapa tidak, seperti halnya laki-laki, perempuan pun tampil menempati aneka peran dan profesi mulai dari kuli angkut pelabuhan sampai kepala pemerintahan. Tidak ada satu profesi pun luput dari jamahan perempuan. Perempuan boleh jadi apa saja. Pokoknya harus setara. Bravo setara! Sedemikian setara sehingga keberadaan laki-laki hidung belang diimbangi kemunculan para perempuan jalang. Entah karena permintaan pasar atau apa, profesi WTS (wanita tuna susila) mulai disejajari PTS. Kedengarannya memang kurang enak, tapi itu nyata terjadi.
Terwujudnya kesetaraan sedemikian itu rupanya belum lagi cukup. Tuntutan kesetaraan gender tidak kunjung reda, malah terdengar semakin nyaring. Aktivis perempuan atau feminist terus berjuang melawan segala bentuk penindasan dan diskriminasi atas perempuan oleh laki-laki maupun sistem. Ini tidak salah sama sekali. Tapi perlu dipertimbangkan jika ternyata penindasan atau diskriminasi itu hanyalah asumsi yang bersifat kodrati. Lalu apa sebenarnya mereka lawan? Boleh jadi perasaan-perasaan seperti itu yang justru harus disingkirkan. Memang tidak gampang mendudukkan persoalan yang pada dasarnya emosional. Selain itu sebutan aktivis perempuan atau feminist pun cukup membingungkan. Istilah itu mungkin akan jelas maksudnya jika diperlawankan dengan sebutan aktivis laki-laki atau maskulinis. Tapi kaum Adam tidak kebelet melansir istilah yang jadi haknya itu. Sepertinya keren juga kalau Nurul Arifin misalnya dikenal sebagai aktivis laki-laki atau maskulinis lantaran giat memperjuangkan hak-hak laki-laki.
Dari sekian banyak prestasi dan pencapaian yang telah diraih perempuan, sepertinya tidak ada sedikit pun kontribusi atau pembelaan laki-laki di dalamnya. Barangkali sekarang perempuan (independen) tidak suka dibela-bela sebagaimana laki-laki (yang straight lho) masih suka dan merasa nyaman dalam dekapan lembut perempuan. Perempuan sekarang lebih senang mengajak laki-laki bersaing secara fair. Banyak contoh membuktikan bahwa perempuan mampu meraih apa yang laki-laki bisa dapat. Majalah Times pernah melansir laporan bahwa keberhasilan perempuan menduduki jabatan tinggi di korporasi adalah karena kekuatan lobby perempuan dalam membuat kontrak-kontrak besar. Laporan itu ada benarnya karena seperti juga kata Titik Puspa, ada kala pria tak berdaya tekuk lutut di sudut kerling wanita.
Kalau mau fair, mestinya perbedaan kondisi fisik-mental antara laki-laki dan perempuan diabaikan sama sekali dalam suatu persaingan. Soal vertilitas seperti haid, hamil, melahirkan, atau menyusui tidak dapat dijadikan excuse untuk minta perlakuan khusus. Affirmative action mestinya tidak perlu. Dalam logika ini, undang-undang politik yang mengatur quota perempuan dalam memperebutkan kursi legislatif sebenarnya sangat melecehkan perempuan. Kemampuan perempuan jelas tidak bisa dipandang sebelah mata, sehingga perempuan mestinya cukup percaya diri untuk compete sebagai politisi tanpa harus minta jatah. Tidak ada alasan bagi perempuan untuk menolak ikut rapat-rapat partai sampai larut malam, berhari-hari, di luar kota, hanya karena ada anak dan suami menunggu di rumah. Jangan lupa, mayoritas pemilih di negeri ini adalah perempuan. Lalu kenapa banyak perempuan lebih menjatuhkan pilihan kepada SBY daripada Ibu Megawati?
Di level bawah, perempuan pun sangatlah produktif. Buktinya perempuan banyak memenuhi pabrik-pabrik. Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa perempuan boleh menghuni pabrik-pabrik karena mereka sangat produktif? Kira-kira bagaimana ini bisa dijelaskan?
Setelah hampir di setiap kancah perempuan minta di-poor satu atau setengah, kemudian apa lagi yang laki-laki bisa tawarkan demi suatu kesetaraan? Bayangkan seandainya Laila Ali bertarung melawan Oscar de La Hoya di atas ring dalam 12 ronde yang direncanakan, barangkali hasilnya bisa menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Kalau itu yang perempuan mau, ya silahkan saja. Ladies first. Laki-laki sih tetap saja cuek. Segigih dan sehebat apapun perjuangan perempuan, laki-laki tetap tidak berselera meladeni. Gengsi dong.., begitu katanya.
Kalau dalam banyak hal perempuan dan laki-laki mempunyai tabiatnya sendiri-sendiri, hal apa yang membuatnya harus setara dan serba sama? Ketika Mars dan Venus beredar dalam orbitnya secara serasi, malapetaka apa yang mungkin terjadi jika keduanya susul-menyusul memperebutkan matahari?
Djadjat Sukmawijaya
September 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H