"..kau tahu.. ke mana arah perginya perahu Nelayan tadi, Rien?", tanya Ayah buyarkan lamunanku.. di sela semilir hembusan lembut sang Bayu, di bibir pantai MAAF Nabire-ku.. saat sedang selonjoran.. bersantai di salah satu sembulan akar Pohon Ketapang tepiannya.. menikmati indahnya Sunset seperti rutinnya kami hampir setiap sore, saat Ayah sedang senggang, 30-an tahun silam.
"Berlayar ke arah Matahari terbenam, Pa..", jawabku cepat. "Iya. Tampakkah olehmu, sekarang?".. "Tidak lagi, Pa".. " Tahukah kau, mengapa tidak lagi tampak, Rien?" .. "Entahlah, Pa.." .. "Itulah mengapa, para Ahli di masa lampau bisa ajukan hipotesis awalnya, bahwa Bumi kita ini bulat, dengan cara sederhana. Indah, khan Rien?" .. "..iya, Pa. Indah. Irien suka. Suatu hari kelak Irien juga bisa berkeliling Bumi, khan Pa? Irien bisa melayani Sesama hingga pelosok manapun, Pa?" .. "Sangat bisa, Nak.. Tetaplah rajin belajar, yea.. Wujudkan semua mimpimu. Papa akan biayai hingga semua cita-citamu terwujud..!", Ayah menguatkan aku... si gadis mungil ..puteri bungsu penuh impian Beliau ini.. yang lahir & dibesarkan jauh di pedalaman Bumi Papua yang indah, juga sunyi itu. Wujud sang Bumi memang bulat. Kurang lebih begitu. Ia, bagian dari Semesta, Sang Jagad Raya nan luas. Baru saja sang Nelayan beberes di samping kami menyiapkan segala perlengkapan menjala ikan ..sambil berbincang dengan kami tentang cuaca yang sedang kurang bersahabat.. tentang berkurangnya hasil menjalanya.. tentang Putera bungsunya yang baru sembuh dari Malaria.. tentang mimpinya atas Nabire, Irian Jaya... . . . tentang segalanya. [Seperti biasa, seraya berbincang ringan, Ayah bagikan beberapa permen.. hmm..] . . . . . . ..tiada terasa, dalam waktu sekejap Nelayan telah lenyap dipeluk sang Mega, jauhi bibir Pantai MAAF.. dekati sang Mentari yang tengah melenggang ranum ke peraduannya.. di Horizon ufuk Barat sang Laut lepas. Bagian Bumi lain bergantian mendekap sang Nelayan di setiap depa pergerakannya.. . . . . . . ..demikian pula raga-sukma diamku, dan setiap diri.. hakekat setiap "sel bergetar" di muka Bumi ini. Tiada satu pun yang sungguh berdiri sendiri. Independensi menjadi sekedar identitas pembeda sesaat. Karena yang abadi tetaplah dependensi. Lalu mengapa begitu banyak yang lupa atasnya? Bertindak semaunya.. mendepak sekitar semaunya.. merusak semaunya.. berkilah semaunya..??? . . . . . . "........tiba-tiba seseorang (yang tidak dikenal warga) kibarkan bendera....etc ....datang aparat bersenjata....etc ....Aktifis HAM setempat tewas seketika. Anehnya, aparat memburu Ketua Dewan Adat untuk mempertanggungjawabkan insiden berdarah di Wamena tersebut. .....etc. ...suasana menjadi tidak lagi aman. juga bagi para Rohaniawan-Rohaniawati, pendamping & pengayom Masyarakat di sana." [..berlanjut.....] "....tentu, itu jumlah yang terlampau berlebihan untuk sekedar menjaga keamanan area perbatasan antar Negara di Bumi Papua, oleh kekhawatiran soal separatisme yang sejatinya tidak ada dalam keseharian nyata masyarakat di sana. ......etc. .....hanyalah bentukan Pemerintah.....etc. Yang paling memungkinkan adalah: sebagai upaya menjaga kepentingan perusahaan-perusahaan tertentu yang sedang mengeruk habis kekayaan alam Bumi Papua.. juga yang sedang menargetkan ekspansi perluas hingga (sekian) ribu hektare kebun kelapa Sawitnya di Bumi Papua, yang sebelumnya sempat ditentang masyarakat. Sangat ironis, karena keberadaannya bukan untuk mengayomi Masyarakat setempat. tetapi..................etc" . . . . . . . ..O, GOD..........!!! ..untuk ke sekian ratus kali ..rasa dada ini tercekat, atas isi berita tentang Bumi Papua ..yang kemarin petang kembali kudengar dari salah satu nara sumber berita terpercaya. Juga, atas semua memori "abu-abu" yang juga kualami sendiri selama masih domisili di Papua. Lagi-lagi soal ulah manusia terhadap Sesamanya. Juga, terhadap kesucian sang Bumi. Sampai kapan semua itu khan berakhir? . . . . . . ..pada titik kapan Saudara-Saudari tercinta-ku di kantong-kantong keprihatinan di seluruh pelosok Papua (..dan di bagian Bumi lain mana pun yang sedang sama "teteskan air matanya") boleh sebentar saja lepaskan senyum dari lubuknya atas sedikit rasa bahagia & syukur karena dihargai sebagai Insan yang juga ber-hak atas HIDUP & Kehidupan di Bumi warisan Leluhur tercintanya, lepas dari intimidasi pihak-pihak tertentu.. . . ?? . . . . sampai kapan..?? . . . . . . . . . . . . . . . . . Sang Bumi nyatanya bulat. Agak bulat, pastinya. Setiap yang ada di dalamnya tiada pernah saling berdiri sendiri. Semuanya saling berhubungan sebagai wujud kepedulian hakiki.. demi harmonisasi energi esensi HIDUP di Kehidupan muka Bumi ini.. Harmonisasi tercipta dengan keseimbangan yang tulus ikhlas dari setiap sel yang ada di dalam dan sekitarnya. Ketidakseimbangan pada satu bagian akan munculkan "upaya" penyeimbang berujud: prosesi kesetimbangan di bagian lain.. dalam wujud yang beragam. Bahkan, berkebalikan darinya. Manusia lazim menamainya: "Bencana Alam".. "People Power".. . . . . apa pun itu. . . . . . ..prosesi 2008 kian dekati detik akhirnya. (..seperti lazimnya) begitu panjang deret catatan kaki setiap dari diri, atas segala yang (sudah) terjadi, di sektor apa pun. Retrospeksi.. Introspeksi.. menjadi salah satu cara bijak sikapinya. Menatap hari depan dengan kepala tegak.. paling mungkin, jelang hari baru..prosesi 2009. . . . . . . . . . . [Benakku bawa-ku pergi ke setiap detik hari lalu-ku .............................................................] . . . . . . . . . . . . . . . . . ["..segera usap derai dari kedua pelupukmu, Nak.. dongakkan kepalamu, Puteri-ku.. Tataplah hari depanmu.. dengan senyummu. Engkau INDAH.. Hidupmu INDAH, Rien.." kuterhenyak. Kembali kumendengar suara tegas Alm.Ayahanda, persis di telingan kiri ini. "Iya, Pa.. Irien mendengarnya" ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H