Lihat ke Halaman Asli

Memanusiakan Manusia dengan Gangguan Jiwa

Diperbarui: 10 Oktober 2015   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ingatan saya melayang ketika saya masih SD. Saya ingat, saya sangat dekat dengan Mbak Dina (bukan nama sebenarnya). Mbak Dina adalah pegawai di kantor orang tuaku di Surabaya. Namun karena ia dari Klaten, maka ia tinggal di rumahku, dan setiap malam ia tidur denganku. Setiap malam ia membacakan dongeng untukku dan adikku.

Saat itu, bagiku Mbak Dina adalah idolaku. Parasnya yang cantik, tutur katanya yang lembut, mengukir kenanganku akan dia. Ia adalah pegawai yang sabar , cerdas dan cekatan sehingga ia menjadi orang kepercayaan orang tuaku.

Suatu hari, ia pamit berhenti bekerja dan berkata bahwa ia hendak dinikahkan. Kami pun mengizinkannya pulang untuk menikah. Kami berharap bahwa ia tentunya akan bahagia. Kami mendengar beberapa kabar (saat itu belum zamannya telepon genggam, dan di rumah Mbak Dina di Klaten juga tak tersedia telepon), bahwa Mbak Dina jatuh sakit. Namun kami tak mengetahui ia sakit apa.

Beberapa kali ia menelpon keluarga kami dari sebuah wartel di Klaten dan berkata "Mee, Mbak Din sakit flu tulang. Mbak Din mau mati. Kamu nggak kesini ta, ngunjungin Mbak Din." Saat itu, hatiku senang karena mendengar suaranya, dan tentunya berharap bisa mengunjunginya, meski saya masih anak-anak dan tak tahu kapan orang tuaku bisa mengajakku mengunjungi Mbak Din. Kukira ia sakit flu tulang biasa.

Hingga suatu hari, ada famili yang menikah di Solo, maka saya dan ibuku berkunjung ke Solo dan berencana mampir di Klaten untuk mengunjungi Mbak Din. Hari yang kunanti akhirnya pun tiba, aku senang karena aku bisa bertemu dengannya. Setelah melalui perjalanan yang panjang, kami berhasil menemukan rumahnya di sebuah desa di Klaten. Aku mencari Mbak Dina. Mbak Dina yang kukenal dengan senyumnya yang mengembang dan tutur sapanya yang lembut. Namun tak kutemui gambaran kenanganku itu.

Aku kaget, terhenyak, dan terpaku melihat Mbak Dina. Mbak Dina yang manis, kakinya dirantai di pilar gubug rumah orang tuanya. Rambutnya awut-awutan. Bau pesing berhembus merasuki hidungku. Kulihat ia sedang makan nasi yang mengering, nasi yang mungkin anjing peliharaanku pun tak mau memakannya. Ia makan nasi di atas piring seng yang jelek dan kotor. Bajunya kumal dan kusam, tak diganti berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Ia tak pernah lagi merasakan segarnya air mandi. Bahkan buang air besar pun, ia melakukannya di tempat yang sama.

Bagaimana mungkin ? Bagaimana mungkin Mbak Dina, idolaku, menjadi seperti ini? Begitu pikirku saat itu. Ia masih mengenali aku dan ibuku saat kami mengunjunginya. Namun ketika kami mengajaknya bicara, ia mulai bicara tidak relevan dengan pembicaraan kami. Ia berbicara ngalor ngidul yang kami pun tak paham maksudnya. Saat itulah, kami baru menyadari, bahwa Mbak Dina sebenarnya bukan sakit flu tulang seperti yang ia katakan, melainkan ia sakit gangguan jiwa, yang kini baru kupahami bahwa itu adalah gejala gangguan psikotik.

Pertemuan itu mengharu biru. Aku dan ibuku menangis dan berpikir "Kok bisa, Mbak Din jadi seperti ini?". Keluarganya bercerita bahwa Mbak Din sakit jiwa, ia sempat telanjang jalan di desa. Sehingga keluarga merasa malu, dan memutuskan untuk merantai Mbak Dina. Oh Mbak Dina yang manis, dirantai bagaikan hewan peliharaan saja, begitu pikirku. Ibuku berkata kepada keluarga Mbak Dina untuk melepas rantainya. Namun keluarga bersikukuh tidak mau melepasnya. Setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keluarga mau membuka rantai. Mbak Dina kami ajak berjalan sebentar keluar rumah dengan digandeng oleh ibuku. Lalu kami kembalikan Mbak Dina ke rumah, dan kami pamit pulang.

Beberapa bulan kemudian, tak disangka, ibuku menerima surat dari keluarga Mbak Dina. Kami terharu membaca surat tersebut. Keluarga menuliskan dalam surat tersebut, bahwa sepulang kami dari rumah Mbak Dina, Mbak Dina mau diajak mandi. Ia kemudian mau diajak tidur sekamar dengan saudaranya. Kami begitu bahagia mendengarnya. Ayah Mbak Dina menuliskan dalam surat tersebut, apakah kiranya keluarga kami masih bersedia menerima Mbak Dina kembali bekerja? Oh, tentu saja iya ! Ya, Mbak Dina kembali bekerja untuk usaha ayah dan ibuku, hingga saat ini, setelah berpuluh tahun kejadian itu, ia kembali menjadi sosok Mbak Dina yang manis, sabar, dan cekatan. Peristiwa itu begitu membekas dalam ingatanku. Mungkin juga, ini adalah salah satu pengalaman penting yang melatarbelakangi keinginanku menjadi psikiater dan terjun dalam dunia kesehatan jiwa.

Hari Kesehatan Jiwa Sedunia diperingati setiap tanggal 10 Oktober setiap tahunnya. Tahun ini, WHO mencanangkan tema 'Dignity in Mental Health' atau 'Bermartabat dalam Kesehatan Jiwa'. Mengapa tema ini yang diambil ? Seperti yang kita ketahui, banyak orang dengan gangguan jiwa yang diabaikan hak asasinya. Didiskriminasi dan tidak dimanusiakan oleh bahkan keluarganya sendiri.

Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke Bali dan bertemu dengan dokter Alexandre Wettstein. Ia adalah seorang dokter anestesi dari Swiss dan mendirikan Yayasan Fair Future Foundation yang bergerak untuk kesehatan masyarakat Bali yang tidak mampu. Ia memiliki sebuah restoran di Ubud, yang mana dari setiap makanan yang kita beli dapat membiayai kesehatan 2 orang penduduk Bali yang tidak mampu. Kami berkenalan, dan ia mengetahui bahwa saya adalah seorang dokter yang bergerak dalam bidang kejiwaan (psikiater). Ia berkata bahwa ia juga ingin mengembangkan yayasannya untuk mengatasi orang dengan gangguan jiwa. Ia mengamati bahwa di Bali, ketika ada anjing yang kelaparan, maka ada orang yang kasihan dan memberi makan anjing tersebut. Namun ketika melihat seseorang dengan gangguan jiwa berat, menggelandang, tanpa pakaian, dan kelaparan, maka banyak yang mengabaikan orang tersebut seolah-olah orang tersebut tak pernah ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline