[caption id="attachment_218002" align="aligncenter" width="648" caption="Gambaran hasil rekam jantung. Image minjam wikipedia"][/caption]
Alat yang sering digunakan dalam bidang kesehatan tetapi sering pula membuat masyarakat bertanya. Baru baru ini peneliti ITB memperkenalkan alat bantu untuk bidang medis, EKG (ECG). Alat tersebut konon mampu mendeteksi Jantung tanpa ahli jantung.
EKG adalah singkatan dari Elektro–Kardio-Gramm. Ketiga suku kata ini berasal dari Yunani kuno. Elektro berasal dari kata electro dan bahasa Indonesia nya adalah elektrik. Kardio berasal dari kata kardio dan bahasa Indonesia nya adalah jantung. Gramm berasal dari kata graph dan bahasa Indonesia nya adalah menulis-kan.
Prinsip dasar alat ini hampir sama dengan Volt meter yang ada di alat multi meter rumahan, yaitu mengukur tegangan listrik. Dengan alat ukur berprinsip seperti ini, maka kita mampu pula mengukur tegangan listrik yang dihasilkan oleh sel otak (ECG), sel jantung (EKG), sel otot (EMG). Saat saya di jam tutorial pada semester pra klinik , kami bergurau dengan mahasiswa lainnya. Kami bertanya “Seharusnya kami bisa ukur seberapa kuat listrik yang dihasilkan saat pria ejakulasi ?” Dan kami semua tertawa, secara teori bisa saja, tetapi siapa yang mau di uji coba ?
Bila saja ada sumber yang menghasilkan listrik dan kita ukur, maka kita menuliskan grafiknya berdasarkan posisi positif dan negatipnya. Sehingga terlihat arah arus listriknya Tentu saja kita bisa periksa EKG dengan satu diagram (satu channel), kemudian kita gonta gantichannelnya sehingga seolah olah kita mempunya banyak channel. Hanya berbeda sistem, bila alatnya bisa langsung menuliskan multi-channel. Hanya beda harga dan beda praktis saja.
Disaat kami kuliah disekitar tahun 1980an awal, ada istilah Intelegensia Buatan (artificial intelligence). Para ahli dunia dalam bidang KOMPUTASI DIGITAL berusaha keras membuat perangkat lunak (Softaware) maupun perangkat keras (Hardware) untuk mewujudkan impian masa depan.
Termasuk apa yang telah kami lihat di Berlin, Fraunhofer Institute, Technische Universitaet Berlin, seperti apa itelegensia buatan pada masa depan. Mereka membuat rangkaian sel otak yang saling memacu dan mengerem satu sama lain. Mencoba untuk mensimulasi otak manusia menjadikan hardware dan software menjadi seperti manusia.
Sampai batas waktunya, dunia memutuskan untuk stop penelitian dibidang intelegensia buatan. Karena biaya penelitian yang luar biasa tetapi pada ahli tidak mampu memberikan kepastian tentang keberhasilannya. Dan yang kita bisa lihat sampai saat ini adalah hanya sistem operasi LINUX, iOS, ANDROID maupun windows phone. Yang menarik adalah pilihan kata ANDROID untuk operasi sistem. Menarik karena para pakar masih terus berusaha membuat intelegensi buatan. Android berasal kata dari Andro + Oid. Kata Andro berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti laki laki. Kata Oid berasal dari bahasa Yunani kuno juga yang berarti menyerupai. Dengan kata lainnya, saya selalu mengatakan bahwa Android adalah robot tanpa kelamin. Dan jelas sudah bahwa manusia terus akan berusaha membuat robot yang bisa membantu manusia dalam segala hal. Pengalaman saya sebagai mahasiswa kedokteran di Jerman. Saat saya sudah menjelang ujian akhir sebagai dokter di Jerman, maka saya harus bertugas diklinik. Berbeda tugas, saat saya bekerja sebagai sebagai mahasiswa yang mencari uang dan membantu para juru rawat melakukan tugasnya dibangsal rumah sakit. Yang berbeda tugas antara rumah sakit di Jerman dan Indonesia adalah sangat kasat mata. Pertanyaan saya, bila saja pembaca kompasiana berada di Unit Gawat Darurat, siapa diantara orang berbaju putih yang menjadi peran dokter dan para mediknya ? Bila kita belum kenal mereka, maka kita tidak jelas mana dokter dan mana pula paramedik nya.
Di Jerman saya ingat sekali, saat saya bekerja sebagai mahasiswa mencari uang,saya tidak boleh meletakan stetoskop di leher saya. Sederharna sekali, itu identitas dokter. Dan saat itu saya adalah paramedic. Lalu bagaimana menurut pembaca kompasiana ? bagaimana saat di UGD? Paramedik saja sering kali kita panggil dokter.
Inilah hal yang sangat sederharna tetapi sangat sensitip dalam pembagian tugas dan tanggung jawab. Baru boleh sama putih, tetapi tugas dan tanggung jawab berbeda.
Kembali kejudul artikel ini EKG, Deteksi Jantung Tanpa Ahli Jantung ? Di jaman era Itelegensia buatan, juga kami sebagai mahasiwa telah membahas alat EKG yang sudah mulai bisa menuliskan kesimpulan secara singkat. Kami mengatakan sama saja seperti horoskop. Tiap Tanggal lahir punya tanda Zodiacnya masing masing dan dikaitan tentang ramalannya. Atas dasar inilah alat modern intelegensi buatan, berhasil di aplikasi di bengkel mobil kelas mewah. Dan memang alat modern ini sangat membantu para tehnisi.
Berbeda dengan manusia bila diterapkan alat modern seperti ini. Tentu saja ada hal yang bisa bermanfaat dengan alat EKG modern ini, tetapi pada dasarnya adalah salah bilang menuliskan judul Deteksi Jantung Tanpa Ahli Jantung.
Didalam perjalanan suatu penyakit jantung, sangat banyak sekali factor yang sangat berperan. Dari peran usia, kondisi tubuh, pola makan, kejiwaan, penyakit, iklim lingkungan dll. Sebagai ahli jantung pun masih ada yang ragu atau memilah milah diagnose pasiennya. Dan masih ada ahli jantung yang mendiagnosa pasien nya dengan SINDROMA X.
Didalam pendidikan yang kami alami di Jerman, bahwa kami ditekankan, bahwa 90 persen diagnose sudah harus ditegakkan oleh naluri dan ilmu seorang dokter. Sedangkan alat canggih sebaiknya dimanfaatkan untuk memastikan 5 persen lebih akurat. Sehingga bukan sebaliknya, menggunakan alat untuk mengantikan naluri dan ilmu para dokter. Demikian artikel ini, supaya jangan pembaca kompasiana terlalu jauh menerawang tentang kemampuan intelegensia buatan pada robot jaman modern
[caption id="attachment_218006" align="aligncenter" width="400" caption="."]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H