Lihat ke Halaman Asli

Sebutlah Saja Politik Malaria

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14317738271060375942

[caption id="attachment_366125" align="aligncenter" width="300" caption="dr. Dhanny Elya Tangko pejuang kesehatan yang meninggal ditempat tugas di Kab. Pegunungan Bintang Papua karena malaria. (foto by Dhanny)"][/caption]

Di tanah Papua di Distrik Oksibil Kab. Pengunungan Bintang langkah pejuang kesehatan, dr. Dhanny Elya Tangke, terhenti. Nyamuk-nyamuk penebar horor itu menyemprotkan parasit dalam tubuhnya. Malaria menginfeksi otaknya, melumpuhkan fungsi ginjal dan hatinya (saya dengar hasil laboratorium SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin sangat tinggi). Malaria cerebral. Ah…, Dhanny . Tenanglah engkau di sana, kawan. Masih ada yang hidup dari dirimu. Adalah semangatmu. Itu kami jaga. Semoga sampai mati.

Kabupaten Pegunungan Bintang tempat Dhanny bertugas berbatasan dengan Kabupaten Boven Digul. Nama Boven Digul kemudian menyeret ingatan saya tentang cerita-cerita dari Digoel pada tempo yang doeloe. Tentang Sungai Digul yang buayanya berenang-renang bak ikan hias, tentang Kampung Tanah Merah yang berada di tengah belantara yang terbuat dari pohon lebat dan rapat diselingi rawa-rawa dengan air yang hitam. Rawa dan hutan, tempat nyamuk malaria bersarang membangun kerajaan, berkembang biak menebar parasit. Salah satu spesies nyamuk yang terkenal disini adalah Culex Digoelensis.

Digul membawa ingatan tentang orang-orang buangan di zaman kolonial Belanda. Tentang pejuang-pejuang kemerdekaan yang diasingkan di sarang nyamuk, di Tanah Merah. Juga ingatan tentang Bung Karno dan Bung Hatta yang ingin dihabisi oleh Belanda dengan meminjam tangan nyamuk (eh, mulut nyamuk maksudnya) sebagai senjatanya. Berlebihan? Bisa jadi. Tapi begitulah konspirasi bekerja. Memahami konspirasi memang dibutuhkan pikiran yang berlebihan disertai sedikit prasangka (prasangka tak harus buruk sangka, kan? Bukankah prasangka yang dalam bahasa ilmiah disebut hipotesis merupakan awalan untuk mencari kebenaran? ). Eh, kembali ke Digul…

Di Digul inilah Bung Hatta dibuang. Bulan Januari 1935 waktu itu. Gerakan politiknya dianggap mengancam kekuasaan Belanda. Ia diasingkan di Digul bersama Syahrir. Belanda mungkin berharap Hatta akan habis jiwa dan raga digerogoti oleh nyamuk. Dan itu hampir terjadi. Hatta menjadi stress. Ia gampang marah dan pelupa (ini Mavis Rose yang bilang, penulis biografinya). Ia menyaksikan kawan-kawannya mati karena malaria. Ia tau bila seseorang yang terserang malaria hitam (istilah orang-orang Digul), zwarte waterkoorts (orang Belanda bilang) yaitu warna kencing mulai hitam, maka sebentar lagi ajal akan tiba. Dan Hatta sendiri memang terjangkit malaria. Tapi ia kokoh. Seperti ada kekuatan yang membuatnya bertahan. Ia sadar Indonesia membutuhkannya. Ia tak boleh mati. Begitulah ia menjaga semangatnya, melambung-lambungkan harapannya tentang Indonesia merdeka. Namun selain itu, di sisi hatinya yang tersembunyi, ada rindu yang menyala-nyala kepada seorang gadis yang bernama Rachmi. Ia rindu maka ia hidup. Begitulah Bung Hatta keluar hidup-hidup dari Digul dipindahkan ke Banda Neira (juga daerah endemis malaria). Setelah Indonesia merdeka, Bung Hatta kemudian melamar Rachmi sang kekasih hati dengan mahar sebuah buku yang ia tulis di Digul.

Bung Karno? Bung Karno sama saja. Ia memang tak jadi dibuang ke Digul. Belanda takut Bung Karno membangun kekuatan baru di sana. Bung Karno diasingkan ke Ende tahun 1933. Tigapuluh tiga tahun umurnya saat itu. Ende itu adalah setitik kota kecil di pesisir selatan Pulau Flores. Ende dan Digul adalah tempat yang sama bagi nyamuk-nyamuk malaria itu. Sama-sama tempat yang menyenangkan untuk berkembang biak. Suhu dan kelembaban di Ende merupakan kondisi optimal bagi penetasan telur-telur nyamuk. Jadilah Ende sebagai inkubator raksasa produksi nyamuk dan Soekarno hidup di dalamnya. Malaria itu bersaranglah di tubuh Soekarno. Kerap sekali ia terganggu oleh penyakit ini; sakit kepala, demam dan menggigil. Pun demikian Soekarno tetap hidup keluar dari Ende dan diungsikan ke Bengkulu.

Proklamasi 17 Agustus hampir saja tidak jadi karena malaria ini. Pagi itu sudah banyak yang berkumpul. Bendera pusaka sudah siap. Bung Hatta sudah datang. Bung Karno belum muncul-muncul. Sudah jam 08.00. Dokter Suharto kemudian datang ke kamarnya. Soekarno masih terbaring. “Pating greges,” katanya. Malarianya kambuh. Sigap dr. Suharto memberikan suntikan anti malaria. Bung Karno tertidur sejenak. Jam 09.30. ia bangun. Sudah segar. Jam 10.00 melangkah ke podium membacakan proklamasi.

Begitulah politik malaria gagal menghentikan Sukarno-Hatta. (“Politik malaria”, sebutlah begitu. Daripada Politik Nyamuk!?) Belanda sudah lama pergi. Indonesia sudah merdeka. Tapi malaria masih merajalela. Menyambar satu-satu nyawa penduduk Indonesia. Politik malaria harus kita bangkitkan kembali dengan semangat yang berbeda. Membunuh malarianya, bukan membunuhnya dengan malaria. Kebijakan dan aturan tentang pemberantasan dan eradikasi malaria sudah banyak ditetapkan. Tinggal komitmen dan kemauan politik dari pemerintah. Sekali lagi komitmen… Ah, ini seperti klise dan kedengaran membosankan. Tapi mau diapa lagi, sungguh saya tidak tau dengan cara apa membahasakannya. Cuma mau bilang bahwa aturan tanpa komitmen, tanpa kesungguhan berarti kita membiarkan mereka terbunuh. Membunuhnya dengan malaria. Kalau sudah begitu, apa bedanya kita dengan kolonial Belanda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline