Letkol Hulman Sipahutar SH, dilahirkan tanggal 22 Februari 1927 di Huta Banuadji, Tarutung, Sumatera Utara belum banyak dikenal jasanya sebagai pahlawan kemerdekaan yang turut berjuang mempertahankan Republik Indonesia di Sumatera Utara. Turut dalam beberapa pertempuran membuat beliau memperoleh beberapa penghargaan dari Pemerintah RI, salah satunya adalah Bintang Gerilya dan dimakamkan di TMP Kalibata pada tanggal 8 Agustus 1998.
Kisahnya dimulai tahun 1935, ketika Hulman Sipahutar yang baru berusia 8 tahun didaftarkan masuk Sekolah Rakyat oleh ayahnya, Ompung Bonifacius Sipahutar, saudagar kemenyan (haminjon) terkenal di Tarutung. Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda baru membuka Sekolah Rakyat Zending di Huta Banuadji, namun hanya sampai kelas 3 saja. Murid angkatan pertama kelas 1 SR tersebut hanya berjumlah 9 orang saja diantaranya adalah adiknya sendiri Laudon, bapaudanya Aminton yang kebetulan sebaya dengannya. Sekolah dimulai jam 9 pagi dan berakhir jam 1 siang selama 5 hari dari Senin sampai dengan Jumat.
Pagi hari Hulman sudah harus bangun untuk menyelesaikan tugasnya membersihkan kandang pinahan dan memberi makan pinahan. Adiknya Laudon mendapat tugas menyapu dan membersihkan rumah. Setelah itu mereka berdua mandi dipancuran. Pulang ke rumah sambil membawa air bersih dari pancur untuk diisikan ke guci tempat air minum. Sepulang sekolah, biasanya Hulman kecil dan adiknya Laudon ikut membantu ibunya ompung boru Sinaga ke sawah. Ada saja yang harus dikerjakan di sawah. Mulai dari mencabuti rumput, memperbaiki saluran air, merapikan pematang, memecah kayu untuk kayu bakar yang dipergunakan untuk memasak, sampai mengumpulkan daun singkong dan mencabuti ubi untuk dimasak sebagai sayur sebagai hidangan makan malam. Terkadang disawah, Hulman dan Laudon menangkap ikan lele atau belut yang dimasak untuk tambahan lauk makan malam.
Hari Jumat sore, Hulman kecil dan adiknya Laudon selalu ikut ayahnya ke tombak (hutan) untuk mendiris (menyadap) kemenyan. Di hutan terdapat beberapa sopo (gubuk) tempat tinggal pekerja dari ayahnya. Biasanya mereka keliling dari satu sopo ke sopo berikutnya untuk melakukan inspeksi hasil penyadapan kemenyan yang dilakukan para pekerja. Mereka bermalam di sopo dan membuka bekal yang sudah dibawa dari rumah. Keesokan harinya, kemenyan yang sudah diperiksa tersebut kemudian diangkut ke huta untuk disimpan. Kemenyan tersebut digelar di loteng rumah agar kering dan mengurangi kadar air. Sabtu sore, selesai merapikan jemuran kemenyan bukan berarti Hulman dan Laudon dapat bersantai. Gabah padi (eme) di lumbung harus ditumbuk untuk persediaan beras selama seminggu.
Setiap minggu pagi, bersama dengan kedua orangtuanya, mereka bergereja di HKBP Pagar Dolok tidak jauh dari rumah mereka. Minggu sore mereka masih mendapat tugas untuk memasukan kemenyan yang sudah kering ke dalam karung siap untuk dibawa Ompung Bonifacius ke Tarutung keesokan harinya.
Tidak terasa 3 tahun sudah berlalu. Hulman , Laudon dan Aminton sudah menamatkan Sekolah Rakjat di Huta Banuadji. Ompung Bonifacius yang memiliki pandangan maju berniat menyekolahkan ketiganya di Vervelgschool Tarutung. Di kota Tarutung, yang berjarak hanya 8 kilometer dari Banuadji terdapat rumah makan dan warung kelontong milik Ompung M Sipahutar. Letaknya persis di perempatan jalan menuju ke kantor Keresidenan Tapanuli. Sebenarnya pertautan darah dengannya jauh, tetapi Ompung Bonifacius biasa mampir ke situ untuk makan siang bila telah selesai melakukan pengiriman kemenyan di pasar Tarutung. Ditempat Ompung M Sipahutar, ketiganya dititipkan untuk bersekolah.
Setiap hari Senin pagi, mereka berangkat dari Huta Banuadji dengan berjalan kaki, masing-masing membawa 1 kaleng gabah kering sebagai pembayaran uang kost ke Ompung M Sipahutar selama seminggu. Setelah menyetorkan pembayaran uang kost dan mengambil buku pelajaran di kamar, mereka bertiga berangkat ke sekolah yang ada di kompleks perkantoran Keresidenan Tapanuli.
Sepulang sekolah, Laudon dan Aminton biasanya langsung mengerjakan tugas dan PR sekolah, sedangkan Hulman malah ke pasar Tarutung. Ada saja yang dikerjakan di pasar Tarutung terutama pada hari pasar (hari onan). Meskipun bukan hari pasar, ada juga warung kelontong yang tetap buka. Biasanya Hulman membantu mengangkat barang belanjaan ibu-ibu di pasar. Upahnya lumayan, selain untuk menambah uang jajan, sisanya ditabung. Bahkan Hulman mampu membeli sepeda jengki merk Phoenix yang terkenal saat itu. Sepeda tersebut menambah mobilitasnya dalam memberikan jasa pengangkutan. Disitu, Hulman bersahabat dengan Cornel Panggabean, anak pejabat tinggi di kantor keresidenan Tarutung,
Motto Hulman adalah belajar tetap nomor satu. Malam hari, PR yang sudah dikerjakan adiknya dan bapaudanya disalin ulang. Dasar otaknya yang encer, bukannya ketinggalan pelajaran, nilainya bahkan lebih baik dari adiknya dan bapaudanya. Akhirnya dikelas VI, Hulman diperbolehkan untuk loncat kelas ke kelas VII. Karena sudah tidak sekelas lagi, akhirnya Hulman terpaksa harus belajar sendiri, tidak boleh lagi mengandalkan adik dan bapaudanya. Terlebih ujian akhir HIS sudah dekat. Bisnis pengangkutan belanjaan untuk sementara ditinggalkan agar lebih focus pada persiapan ujian. Puji Tuhan, Hulman mampu lulus ujian HIS dengan baik. Pada tahun ajaran berikutnya, dengan rekomendasi dari ayahnya Cornel Panggabean, Hulman diperbolehkan masuk ke Mulo di Tarutung. Cornel Panggabean sendiri sudah duduk di kelas II Mulo di Tarutung. Berdua mereka menjadi sahabat baik.
Setelah libur panjang kenaikan kelas, ternyata situasi berubah akibat perang. Pertengahan tahun 1942, Belanda kalah. Jepang kemudian masuk ke Tarutung. Pejabat Pemerintahan Hindia Belanda ditawan dan dibawa ke Medan. Ayah Cornell Panggabean malah diangkat menjadi wakil Residen Tapanuli, orang kedua di Tapanuli dibawah si Jepang. Pada awal pendudukan Jepang, sekolah masih berjalan seperti biasa, namun tahun berikutnya sekolah akhirnya tutup. Disamping kekurangan guru, muridnya juga banyak yang tidak kembali ke kota karena takut pada kekejaman Jepang. Laudon dan Aminton juga tidak kembali ke Tarutung.
Kebetulan di sebelah tempat Hulman kost, terdapat sebuah rumah peninggalan Belanda yang ditempati oleh seorang Perwira Angkatan Darat Jepang. Letnan Kolonel Sato adalah Kepala Transportasi Angkatan Darat Jepang. Suatu sore, sepulang dari pasar Tarutung, Hulman dengan membonceng Cornell, melintas di depan rumah Letnan Kolonel Sato. Mereka berdua mengendarai sepeda dengan santai. Melihat mereka, Letkol Sato memanggil mereka berdua dan menyuruh masuk ke rumahnya. Di teras rumah mereka ditanyai tentang banyak hal. Letkol Sato suka kepada kecerdasan Hulman. Hulman diminta untuk menjadi pembantu di rumah itu. Tugasnya selain membersihkan rumah, mencuci baju, menyemir sepatu, juga diminta untuk mencuci mobil dinas Letkol Sato. Untuk itu, Hulman diberi sebuah kamar kecil di bagian belakang rumah.