maaf ini repost dari blog ku disebelah, tapi masih valid untuk dibahas saat ini...
Heboh keledai belakangan ini mengguncang perekonomian Indonesia. Pengusaha tahu tempe menyatakan mogok berproduksi bila harga kedelai tidak dikerek turun. Pengusaha Warteg jadi punya alasan untuk menaikan harga nasi campurnya. Buruh ikut rebut minta kenaikan upah. Tokoh yang mengaku ahli juga ikutan berisik. Padahal mereka tidak mengerti mengenai pasar kedelai.
Dilihat dari sisi produksi, kedelai dihasilkan dari ladang terbuka yang dimiliki oleh petani atau dari sawah basah saat Musim Kemarau. Pada saat musim tanam I periode November-Februari, petani biasa menanam padi karena curah hujan tinggi. Curah hujan yang tinggi pada beberapa tahun terakhir ini membuat petani lebih tertarik untuk menanam padi pada musim tanam II periode Maret-Juni. Hal ini disebabkan harga beras yang tinggi dan menguntungkan petani. Bahkan di beberapa tempat yang memiliki irigasi teknis, petani lebih memilih menanam padi pada musim tanam III periode Juli-Oktober. Akhirnya petani lupa untuk menanam kedelai. Hanya petani di sawah tadah hujan yang menggantikan padi dengan kedelai pada musim tanam III.
Produktivitas padi IR64 dengan pola intensifikasi yang ada sekarang memberi keuntungan memadai bagi petani. Dengan hasil produksi mencapai 7 ton gabah per hektar dapat dijual dengan harga Rp.4.200,- per kg. Sebaliknya dengan kedelai. Bibit kedelai yang ditawarkan Sang Hyang Sri dan Perum Pertani tidak mampu memiliki produktivitas yang setara dibandingkan dengan padi.
Produksi hanya 4 ton per hektar dijual dengan harga tahun 2012 sebesar Rp.2.000,- per kg. Kedelai yang dihasilkan memiliki kulit merah dan tebal dan tidak dapat dipakai sebagai bahan baku susu kedelai dan tahu Jepang yang lembut. Di Amerika Serikat, kedelai kita hanya dipergunakan untuk pakan ternak. Sebaliknya dengan kedelai KW1 yang berkulit coklat muda dan tipis tidak dapat dipakai sebagai bahan baku tempe karena terlalu lembut dan lenyet.
Permasalahan lain, Pemerintah kita yang beraliran neo-lib tidak membuat mekanisme penyangga harga kedelai bila harga turun akibat produksi meningkat. Hal ini berbeda dengan beras dimana terdapat Perum BULOG yang siap menampung gabah bila harga turun akibat produksi meningkat. Beginilah kalau keledai ngurus kedelai. Akhirnya, produksi kedelai terus menurun. Produksi kedelai tahun 2009 yang semula mencapai 2,5 juta ton merosot hanya sebesar 1,5 juta ton pada tahun 2012.
Di sisi lain, kebutuhan akan kedelai yang pada tahun 2009 hanya 3,5 juta ton meningkat menjadi 4 juta ton pada tahun 2012. Meningkatnya permintaan kedelai disebabkan meningkatnya kebutuhan bahan baku pengusaha tahu tempe. Sektor peternakan juga meningkatkan produksinya yang berakibat pada peningkatan permintaan kedelai sebagai bahan baku pakan ternak. Disamping itu, produsen minuman juga mulai memproduksi susu kedelai sebagai varian produksinya.
Untuk menutup defisit antara produksi dengan konsumsi yang mencapai 2,5 juta ton pada tahun 2012 dilakukan impor dari Amerika Serikat. Saat ini, importer kedelai dilakukan oleh 4 naga yang berinisial ABCD. Impor 2,5 juta ton tersebut hanya merupakan nilai yang kecil dibandingkan surplus kedelai Amerika Serikat yang untuk tahun 2010 saja sudah mencapai 300 juta ton. Salah satu naga tersebut, yakni PT Cargil Indonesia mengimpor 1,5 juta ton dari 50 juta ton pergerakan kedelai Cargil International di seluruh dunia.
Untuk mengatasi hal tersebut maka dari sisi produsen, Perum BULOG harus diberi empowerment menjadi penyangga harga kedelai. Harga Pengadaan Kedelai yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pertanian. Harga tersebut merupakan harga patokan bagi Perum BULOG untuk menyerap pasar dalam rangka stabilisasi harga di sisi produsen.
Selanjutnya dari sisi Konsumen, Perum BULOG diberi kewenangan untuk menyalurkan ke Kopti (Koperasi Tahu Tempe Indonesia) dengan harga yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selisih antara harga yang dibayarkan oleh Kopti dengan harga yang ditetapkan oleh Pemerintah diganti dengan dana APBN. Mekanisme penggantian yang akan diterapkan sama seperti yang dilakukan terhadap penyaluran raskin. Hal ini dapat digambarkan berikut ini.
Bila Perum BULOG diberi kekuatan untuk menyalurkan kedelai kepada Kopti, setidaknya Perum BULOG dapat menyerap pasar kedelai di tingkat produsen sampai 10% dari produksi kedelai nasional atau sekitar 150.000 ton per tahun. Penyaluran kepada produsen tahu tempe melalui Kopti ini dapat diberikan insentif penyaluran, misalnya Rp2,- per kg. Penyaluran kepada produsen tahu tempe diberikan jatah melalui kuota untuk mendekatkan diri dengan harga pasar.