Lihat ke Halaman Asli

Dayan Hakim

persistance endurance perseverance

Ketika Keledai Mengurus Kedelai

Diperbarui: 29 September 2017   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

maaf ini repost dari blog ku disebelah, tapi masih valid untuk dibahas saat ini... 

Heboh keledai belakangan ini  mengguncang perekonomian Indonesia. Pengusaha tahu tempe menyatakan  mogok berproduksi bila harga kedelai tidak dikerek turun. Pengusaha  Warteg jadi punya alasan untuk menaikan harga nasi campurnya. Buruh ikut  rebut minta kenaikan upah. Tokoh yang mengaku ahli juga ikutan berisik. Padahal mereka tidak mengerti mengenai pasar kedelai.

Dilihat dari  sisi produksi, kedelai dihasilkan dari ladang terbuka yang dimiliki oleh  petani atau dari sawah basah saat Musim Kemarau. Pada saat musim tanam I  periode November-Februari, petani biasa menanam padi karena curah hujan  tinggi. Curah hujan yang tinggi pada beberapa tahun terakhir ini  membuat petani lebih tertarik untuk menanam padi pada musim tanam II  periode Maret-Juni. Hal ini disebabkan harga beras yang tinggi dan  menguntungkan petani. Bahkan di beberapa tempat yang memiliki irigasi  teknis, petani lebih memilih menanam padi pada musim tanam III periode  Juli-Oktober. Akhirnya petani lupa untuk menanam kedelai. Hanya petani  di sawah tadah hujan yang menggantikan padi dengan kedelai pada musim  tanam III.

Produktivitas padi IR64 dengan pola intensifikasi yang ada sekarang  memberi keuntungan memadai bagi petani. Dengan hasil produksi mencapai 7  ton gabah per hektar dapat dijual dengan harga Rp.4.200,- per kg.  Sebaliknya dengan kedelai. Bibit kedelai yang ditawarkan Sang Hyang Sri  dan Perum Pertani tidak mampu memiliki produktivitas yang setara  dibandingkan dengan padi. 

Produksi hanya 4 ton per hektar dijual dengan  harga tahun 2012 sebesar Rp.2.000,- per kg. Kedelai yang dihasilkan  memiliki kulit merah dan tebal dan tidak dapat dipakai sebagai bahan  baku susu kedelai dan tahu Jepang yang lembut. Di Amerika Serikat,  kedelai kita hanya dipergunakan untuk pakan ternak. Sebaliknya dengan  kedelai KW1 yang berkulit coklat muda dan tipis tidak dapat dipakai  sebagai bahan baku tempe karena terlalu lembut dan lenyet.

Permasalahan lain, Pemerintah kita yang beraliran neo-lib tidak  membuat mekanisme penyangga harga kedelai bila harga turun akibat  produksi meningkat. Hal ini berbeda dengan beras dimana terdapat Perum  BULOG yang siap menampung gabah bila harga turun akibat produksi  meningkat. Beginilah kalau keledai ngurus kedelai. Akhirnya, produksi  kedelai terus menurun. Produksi kedelai tahun 2009 yang semula mencapai  2,5 juta ton merosot hanya sebesar 1,5 juta ton pada tahun 2012.

Di sisi lain, kebutuhan akan kedelai yang pada tahun 2009 hanya 3,5  juta ton meningkat menjadi 4 juta ton pada tahun 2012. Meningkatnya  permintaan kedelai disebabkan meningkatnya kebutuhan bahan baku  pengusaha tahu tempe. Sektor peternakan juga meningkatkan produksinya  yang berakibat pada peningkatan permintaan kedelai sebagai bahan baku  pakan ternak. Disamping itu, produsen minuman juga mulai memproduksi  susu kedelai sebagai varian produksinya.

Untuk menutup defisit antara  produksi dengan konsumsi yang mencapai 2,5 juta ton pada tahun 2012  dilakukan impor dari Amerika Serikat. Saat ini, importer kedelai  dilakukan oleh 4 naga yang berinisial ABCD. Impor 2,5 juta ton tersebut  hanya merupakan nilai yang kecil dibandingkan surplus kedelai Amerika  Serikat yang untuk tahun 2010 saja sudah mencapai 300 juta ton. Salah  satu naga tersebut, yakni PT Cargil Indonesia mengimpor 1,5 juta ton  dari 50 juta ton pergerakan kedelai Cargil International di seluruh  dunia.

Untuk mengatasi hal tersebut maka dari sisi produsen, Perum BULOG  harus diberi empowerment menjadi penyangga harga kedelai. Harga  Pengadaan Kedelai yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pertanian.  Harga tersebut merupakan harga patokan bagi Perum BULOG untuk menyerap  pasar dalam rangka stabilisasi harga di sisi produsen.

Selanjutnya dari sisi Konsumen, Perum BULOG diberi kewenangan untuk  menyalurkan ke Kopti (Koperasi Tahu Tempe Indonesia) dengan harga yang  ditetapkan oleh Pemerintah. Selisih antara harga yang dibayarkan oleh  Kopti dengan harga yang ditetapkan oleh Pemerintah diganti dengan dana  APBN. Mekanisme penggantian yang akan diterapkan sama seperti yang  dilakukan terhadap penyaluran raskin. Hal ini dapat digambarkan berikut  ini.

Bila Perum BULOG diberi kekuatan untuk menyalurkan kedelai  kepada Kopti, setidaknya Perum BULOG dapat menyerap pasar kedelai di  tingkat produsen sampai 10% dari produksi kedelai nasional atau sekitar  150.000 ton per tahun. Penyaluran kepada produsen tahu tempe melalui  Kopti ini dapat diberikan insentif penyaluran, misalnya Rp2,- per kg.  Penyaluran kepada produsen tahu tempe diberikan jatah melalui kuota  untuk mendekatkan diri dengan harga pasar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline