maaf repost dari blog yang lama
Ketua Umum Perhimpunan Agronom Indonesia, Ahmad Mangga Barani pesimis swasembada gula 2014 terwujud. Pasalnya, produksi gula nasional turun pada 2013 hanya mencapai 2,5 juta ton, sedangkan kebutuhan gula sebanyak 5,8 juta ton untuk produksi langsung dan industri. "Melihat kenyataan di lapangan turunnya produksi gula nasional, rasanya mustahil swasembada gula 2014 terwujud," kata Ketua Umum Perhimpunan Agronom Indonesia dalam acara Semiloka Gula Nasional 2013 yang digelar di IPB Convention Center, pada Senin (28/10) di Bogor.
Proyeksi Dirjenbun tahun 2013 luas areal tanaman tebu 464.200 ha dengan tebu rakyat seluas 252.166 ha tidak tercapai. Target produktivitas tahun 2013 sebesar 85,25 ton/ha dengan rendemen 7,75 juga berantakan. Perhitungan sementara menunjukan data s.d 30 November 2013 ditambah prognosa Desember 2013 realisasi luas areal tanaman tebu hanya mencapai 420.300 ha dimana penurunan terbesar berada pada areal tebu rakyat yang hanya mencapai 235.450 ha. Realisasi rata-rata produktivitas tahun 2013 hanya mencapai 79 ton/ha dengan rendemen rata-rata hanya 6,35 dari 68 pabrik gula. Kinerja terburuk dalam lima tahun terakhir Tahun 1924, dengan luas lahan hanya 172.300 ha, produktivitas mencapai 135 ton/ha dengan rendemen rata-rata 12,21 dari 179 pabrik gula. Sudah 90 tahun yang lalu kok malah makin goblok.Permasalahannya ternyata banyak.
Gula terbagi dalam dua pasar, gula industri yang menjadi bahan baku untuk industry makanan serta gula konsumsi yang dijual untuk rumah tangga. Kebutuhan gula industry dipasok dari impor dalam bentuk raw sugar, sedangkan gula konsumsi dihasilkan dari dalam negeri. Defisit gula konsumsi diperoleh dari impor juga dalam bentuk raw sugar yang kemudian diolah kembali menjadi GKP (gula Kristal putih). Barangnya sama namun perlakuannya berbeda. Raw sugar untuk konsumsi dikenakan PPn BM 5% sedangkan raw sugar untuk industry bebas PPn BM. Konsesi gula impor diberikan kepada Gunawan Yusuf dkk yang dikenal dengan julukan "seven samurai" dengan Duta Sugar, Java Maniz, Sugar Lampung dan lainnya.
Kenapa? Karena Pemerintahan Neolib saat ini mengutamakan kebebasan pasar. Harga hanya dilihat dari sisi supply dan demand. Harga naik diselesaikan dengan impor. Tuntas? Tidak! Bahkan menimbulkan masalah baru. Petani enggan menanam tebu karena tidak ada insentif menarik. Jaman Suharto, ada kebijakan yang mengharuskan Pemda untuk menyediakan 30% areal pertanian untuk tebu. Oleh Pemerintah Neolib, kebijakan ini dituduh sebagai Culture Stelsel.
Petani dianggap sudah dewasa untuk menentukan sendiri tanaman pertaniannya. Jaman Suharto, di kantor Kepala Desa dipenuhi dengan sejumlah mantri, mulai dari mantri air, mantri pertanian, mantri jalan, mantri suntik, posyandu, jupenri, babinsa dan masih ditambah dengan TKS-BUTSI lainnya. Pemerintah Neolib dengan mengatasnamakan otonomi daerah telah menarik semua aparat pusat dari Daerah. Memang ada proyek bongkar ratoon tahun 2013 senilai 512 milyar untuk menggantikan tebu yang sudah tua dengan bibit baru yang lebih produktif pada lahan perkebunan tebu rakyat seluas 136.152 ha. Namun proyek ini ternyata hanya menjadi bancakan sejumlah pejabat di Kementan.
Cuaca menjadi kambing hitam bagi kegagalan produksi gula tahun 2013. Hujan terus menerus sepanjang tahun menyebabkan kesulitan alat angkut mencapai lokasi. Skedul tebang menjadi berantakan. Akhirnya kematangan tebu menjadi bergeser. Kandungan air tinggi menyebabkan tebu menjadi lebih berat padahal rendemen rendah. Skedul giling juga ikut terpengaruh. Pabrik gula yang umumnya memiliki masa produksi 135 hari naik menjadi 150 hari namun dengan jam putar hanya 5 jam. Fenomena yang amat mengenaskan. Kementerian Perindustrian sebetulnya punya proyek revitalisasi pabrik gula, namun mekanisme reimbursement membuat sejumlah pabrik gula enggan turut dalam proyek revitalisasi.Padahal permasalahan bukan pada peralatan pabrik tetapi kepada pasokan tebu.
Dirjen Pajak ikut memperkeruh suasana. Pola bagi hasil antara Pabrik Gula dengan Kelompok Petani dengan cara petani mempercayakan Tebang-Angkut-Giling (TAG) kepada Pabrik Gula dengan komposisi 70:30, oleh Direktur PPN dengan trampilnya TAG dikenakan PPN Jasa dari nilai GKP yang dihasilkan. PPN Jasa Dengan kacamata kuda, Direktur PPN mengemukakan bahwa Jasa TAG tidak dapat dikreditkan tanpa alasan yang jelas, sementara GKP sendiri sudah dikenakan PPN. Akhirnya harga GKP dari tebu rakyat lebih mahal 10% dibandingkan dengan tebu dari kebun sendiri. Pabrik Gula jadi malas untuk membina Kelompok Tani, bukannya diberikan insentif oleh pemerintah malah dikenakan PPN Jasa TAG.
Ancaman rembesan raw sugar impor dari Gula Industri cukup besar. Raw sugar impor dengan tambahan sedikit proses dirubah menjadi GKP yang memasuki Gula Konsumsi tanpa PPn BM. Akhirnya tetap 'seven samurai' yang mendapat keuntungan dari situasi ini dan petani semakin menderita. Swasembada Gula 2014 cuma mimpi. Pemerintah Neolib cuma pintar bikin slogan.
--by dokday (20/12/2013)