Lihat ke Halaman Asli

Doharman Sitopu

Manajemen dan Motivasi

Merdeka dan Tidur Siang

Diperbarui: 18 Agustus 2021   18:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada apa dengan tidur siang? Mengapa tulisan ini membahas dua hal yang  yang tidak ada sangkut pautnya? Apa hubungan antara Merdeka dengan tidur siang? Gak penting amat ya? Iya kah?

Konon penjajah berusaha meninabobokan bangsa ini dengan berbagai macam cara. Mulai dari politik devideetimpera (pecah belah) hingga pembodohan dengan cara yang sangat halus dan nyaris tak dapat diindera.

Salah satu cara meninabobokan bangsa ini adalah dengan anjuran tidur siang. Saya masih ingat ketika masih duduk di bangku SD selepas makan siang diwajibkan tidur siang oleh orang tua. Pun demikian dengan teman teman saya yang sebaya, semua diharuskan tidur siang. Bahan ketika berada di ladang pun ritual ini tak boleh diabaikan apalagi dilanggar. Konon kata orang tua, dengan cara inilah kita khususnya anak-anak akan cepat bertumbuh dan akan menjadi anak yang sehat lagi pintar.

 Namun ketika saya telisik kembali masa kecil itu, ternyata tak hanya berlaku untuk anak anak saja. Berlaku juga untuk orang dewasa dan orang tua.

Tak sedikit orang malas memanfaatkan budaya ini untuk membuang-buang waktu berleyeh leyeh. Sudah berangkat ke ladangnya terlambat karena nongkrong dulu di kedai kopi, pukul sembilan pagi baru siap siap berangkat ke ladang. Tiba di ladang sudah pukul 10.00 Wib lebih. Lantas bekerja sebentar, kemudian matahari sudah memancarkan sinarnya yang menyengat, lalu dengan alasan kepanasan mencari pohon yang rindang untuk neduh. Kini giliran siap-siap istirahat dan makan siang.

Selanjutnya setelah makan siang, sesuai ritual yang telah membudaya itu bersiap-siap mencari semak yang adem untuk tidur siang. (Ini sangat legitimate, karena seluruh kampung sudah meratifikasinya sebagai undang-undang tak terlulis, namun herannya  dijalankan dengan sukarela).

Selepas dari tidur siang, jam sudah menunjukkan pukul menjelang 3.00 Sore. Buru buru bekerja karena bila ditanya orang tua atau pemilik ladang ada progress yang akan ditunjukkan. Bekerja kira-kira satu setengah jam, langsung bergegas siap-siap pulang ke kampung.

Menjelang perkampungan kedai kopi (bahkan Kedai tuak, di sebagian daerah) telah siap menanti. Apalagi teman-teman sejawat telah pula duluan bercengkerama menikmati suasana sore hari yang temaram.

Bagi orang dewasa dan orang tua tak ayal pasti mampir untuk sekedar melepas penat dan ngobrol dengan teman sekampung di kedai tersebut. Bahkan bila tidak nimbrung , akan dibilang sombong, tidak bergaul. Kondisi ini membuat sang pemilik warung semakin sibuk saja melayani tamu tamu yang konon baru pulang dari ladang itu.

Pembaca sekalian, saya sudah kehabisan kata-kata untuk melanjutkan tulisan ini. Yang pasti, budaya tidur siang ini adalah cara agar masyarakat khususnya pedesaan dididik menjadi orang yang santai dan tidak menghargai waktu. Saya tidak bermaksud menjelekkan budaya yang telah pernah menjadi tradisi pada sebagian besar masyarakat kita itu. Demikianlah ternyata para penjajah menyuntikkan morfin yang membuat kita nyaman, namun tak dinyana telah merusak mental dan budaya kerja bangsa kita.

Tidak ada larangan untuk kita tidur siang. Namun membudayakan tidur siang dengan dalih kesehatan dan bahkan mitos, tak lain adalah pembodohan yang tidak mengedukasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline