Lihat ke Halaman Asli

Doharman Sitopu

Manajemen dan Motivasi

Manusia Level # 5

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Karena perbedaan pendapat dengan seseorang dalam organisasi, seorang sahabat saya merasa patah arang. Semenjak peristiwa adu argumen yang melelahkan dan membuat otot leher menjadi tegang itu, ia tak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya di setiap pertemuan. Ia sakit hati. Menghilang.

Sebagai seorang teman yang baik, saya merasa iba dengan kondidi teman saya ini. Bukan hanya saya, kami semua merasa kehilangan. Tapi bagaimana sikap yang sepantasnya saya ambil? Karena saya tahu sejatinya yang terjadi di antara mereka hanyalah salah paham belaka. Mereka sama-sama loyal pada organisasi. Mereka memberikan hatinya dengan tulus pada setiap kegiatan yang kami gelar. Namun kembali lagi, miscommunication sering kali membuat orang berselisih paham.

Wah, saya jadi kalut, dan bingung harus berbuat apa.

Namun saya tidak boleh membiarkan situasi statusquo ini berlama-lama. Akhirnya saya putuskan mengirimkan email padanya. Begini isinya:

Selamat sore kawan. Maaf kalau saya mengganggu. Saya hanya mengingatkan, agar jangan larut dalam permasalahan. Setelah kepergian kamu, kami semua merasa kehilangan. Putuskanlah untuk menghadapi permasalahan ini. Karena orang pemberani adalah orang yang tetap bertindak kendati dalam ketakutan. Kendati merasa tersakiti.

Oya, ternyata kita perlu ‘diuji’ dalam meyelesaikan setiap permasalahan. Jika tidak ujian tak mungkin toh kita naik kelas? Kemudian, level manusia diukur oleh masalah yang sanggup diembannya. Bila manusia itu adalah level #1, maka permasalahan yang pantas diembannya, ya level #1! Selanjutnya jika Dia manusia level #5, maka permasalahan yang cocok untuknya adalah level #5. Jika kamu merasa permasalahan ini terlalu berat, maka berbanggalah, karena level kamu semakin tinggi sesuai dengan bobot permasalahan yang datang.”

Sekian dulu ya sobat, kami tunggu kehadirannya minggu depan. Semoga kita dapat memaknai peristiwa ini dengan arif dan bijaksana. Ingat sobat, kecerdasan kita bukan diukur dengan IQ yang kita miliki, melainkan kecerdasan kita mengelola emosi kita. Mengelola permasalahan kita. Jangan biarkan emosi yang mengengendalikan diri. Tapi sebaliknya, kitalah yang mengendalikan emosi.

Kembali lagi sobat, jika kita adalah manusia level #5, maka kita tak butuh lagi dihormati, tak pelu lagi dipuji. Namun yang kita butuhkan adalah aktualisasi diri. Sebagaimana ditandaskan oleh Maslow bukan?

Maaf sobat, bukan bermaksud menggurui namun kewajiban sayalah untuk mengingatkan kamu sebagai teman sejatimut. Itulah maknanya persahabatan kita selama ini.Saya berhak untuk ini. Demikian juga kamu berhak untuk menerimanya atau tidak.

Seminggu kemudian, pada pertemuan yang telah direncanakan, sahabat itu muncul kembali dengan wajah yang berseri-seri. Aktif kembali dalam organisasi. Kami semua jadi bertambah semangat. Sementara Hari H sudah di depan mata. Tinggal beberapa hari lagi.

Usai pertemuan, ia menarik tangan saya.

“Kamu jangan pulang dulu ya” mohonnya seolah memelas pada saya.

Dengan berkaca-kaca ia mengucapkan terima kasih pada saya, atas email yang telah membangunkan kembali semangatnya. Sehingga dapat memaafkan perkataan seseorang yang telah menyakitinya. Sekarang semangatnya telah pulih untuk melanjutkan kegiatan dalam organisasi.

“Selamat kawan, anda ternyata manusia level #5.”

Salam Inspirasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline