Lihat ke Halaman Asli

Solusi Radikal untuk Atasi Problem Jakarta

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini semula untuk catatan sendiri (di FB 28 Juli). Topiknya pun tergolong 'klise' dan belakangan banyak dibahas di berbagai forum dengan nara sumber pihak otoritas dan pakar-pakar tata kota. Bahkan tidak kurang mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla tergerak untuk turut menyumbang pemikirannya melalui Kompasiana ini.

Hanya saja ada kepenasaran cukup mendalam. Kecuali beberapa saja, sebagian besar pembahasan dan usulan pemecahan sepertinya muter-muter di tempat. Padahal ancaman kongesti kendaraan di Jakarta (dan beberapa kota besar) bukanlah tergolong gertak sambal.

Dari kacamata yag lebih makro, inti permasalahan sebenarnya lebih terletak pada penyebaran kendaraan yang sangat terpusat di wilayah-wilayah tertentu, khususnya di Jawa bagian Barat, terutama di kawasan Jadetabek yang menjadi pusat  peredaran uang nasional.  Sementara daya dukung lingkungan sudah mentok, kecuali kalau mau menutupii rapat  Jakarta dengan hamparan jalan beton.

Secara nasional, mobil yang terjual di paruh pertama 2010 mencapai 369.300 unit, melonjak hingga 76% dari periode sama tahun lalu. Sementara penjualan sepeda  motor naik sekitar 44% menjadi 3,6 juta Unit. Apa pun alasannya adalah naïf kalau industri otomotif  kemudian dihambat.  Apalagi melarang orang untuk membeli atau memilikinya.  Terlepas itu adalah produk/ merek asing, faktanya permintaan pasar ada. Industri otomotif merupakan penyumbang pajak terbesar keempat.

Pasar kendaraan bermotor di Indonesia tergolong masih haus.  Sebagai gambaran, rasio mobil dan penduduk relatif masih rendah, baru di kisaran 30 per 1000. Malaysia sudah mendekati 100. Sementara di Amerika Serikat,  misal, berada di level 800. Untuk sepeda motor, Indonesia adalah  pasar terbesar ketiga dunia setelah China dan India. Pasar sepeda motor tumbuh subur di negara berkembang.

Di kawasan Jakarta, populasi mobil  terus bertambah, begitu  juga sepeda motor.  Paralel dengan itu tekanan pendatang masih  juga kuat, yang menumbuhkan kawasan-kawasan urban dan suburban. Kesemrawutan social menjadi permasalahan tersendiri, bahkan kerap memicu konflik-konflik horisontal.  Belum lagi banjir besar  yang hampir rutin setiap tahun belum terpecahkan.

Ada lagi fenomena unik, yang mungkin hanya terjadi di Indonesia, yaitu arus mudik-balik yang kolosal di saat liburan panjang, terutama lebaran. Episentrum dari hiruk-pikuk tahunan dengan berbagai ekses yang kompleks ini adalah kawasan Jadetabek.

Pendek kata, secara umum daya dukung lingkungan, baik fisik maupun sosial kawasan Jakarta  sdh overload!  Pembenahan infrastruktur dan manajemen jalan raya secara parsial hanya efektif sesaat, baik itu  flyover/underpass, tree in one, busway, atau pun rencana monorel/subway. Bahkan menurut  Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ganjar Pranowo seperti dikutip detikNews (31/7), monorel hanya mengevakuasi orang seputar Kuningan, Blok M, dan Senayan.

Jadi yang diperlukan adalah solusi ’radikal' dan komprehensif. Pindahkan pusat pemerintahan dan seluruh kantor kementrian ke Lampung, misal, atau sekalian ke Kalimantan, ... Jangan ke Jonggol! Ini ‘pil pahit’ yang mahal memang, tapi bisa lebih signifikan memecahkan permasalahan kronis secara jangka panjang.  Soekarno dulu pernah mengusulkan Palangkaraya, Kalimantan Barat, sebagai lokasi Ibu Kota.

Di lahan baru, rancang tata kota dan infrastruktur yang antisipatif: bangunan sistem blok, jalan lebar. Ada subway untuk MRT. Ada hutan kota, taman bermain, lapangan olah raga. Kanal-kanal bawah tanah dibuat besar untuk drainase sekaligus jalur pipa ledeng, kabel listrik, telepon, gas. Tidak perlu lagi gali-tutup lubang.  Trotoar untuk pejalan kaki juga dibuat lebar. Secara keseluruhan suasana kota dibuat nyaman dan bersahabat.

Buat regulasi yang implementatif di bidang kependudukan berbasis kedisiplinan warga kota, termasuk untuk menghindarkan tumbuhnya pemukiman liar atau penyerobotan lahan publik oleh pedagang kaki-lima. Siapkan juga kawasan-kawasan kota satelitnya

Persiapan konstruksi mega proyek kawasan kota baru harus dimulai segera, karena membutuhkan waktu panjang, mungkin sedikitnya perlu 10 tahun -- saat itu kondisi lingkungan Jakarta mungkin saja sudah semakin carut-marut, dengan tingkat polusi dari emisi beragam kendaraan bermotor yang sangat berbahaya bagi kesehatan.

Pemindahan Ibu Kota ke luar Jawa selain untuk mendapatkan lokasi yang kondusif bagi aparat pemerintahan sehingga dapat bekerja lebih fokus dan efektif serta mengurangi tekanan terhadap Jakarta, juga pada gilirannya dapat merangsang pemerataan pertumbuhan ekonomi.

Beberapa hari lalu Presiden SBY menyatakan, usulan pemindahan Ibukota memerlukan pertimbangan matang. Itu pasti benar adanya.  Namun satu hal, kiranya yang sangat diperlukan terutama komitmen dan integritas yang kuat dari semua pihak.  Eksekutif maupun legislatif  jangan terjebak kepentingan-kepentingan [politik] sepihak yang dangkal, atau  berpanjang-panjang menghabiskan waktu hanya untuk berwacana. Dana? Konon kerugian akibat kemacetan di kawasan Jedetabek saja secara kumulatif Rp 17 triliun per tahun!

Jadi ...?

[Ah, mimpi dulu lagi  aja 'kali ya, meski itu semua sebenarnya konsep 'jadul' kota2 besar negara maju! Tapi Malaysia, Thailand, China bisa ya mengambil langkah-langkah terobosan?]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline