Lihat ke Halaman Asli

Teknik Pemicuan Mengatasi Kemiskinan di NTT

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu teknik pemicuan dalam STBM adalah masyakat harus dibuat malu dengan keadaan mereka. Dibuat jijik dengan keadaan di sekitar mereka. Teknik ini ternyata berhasil merubah pola hidup mereka menjadi lebih sehat.

Menimbulkan rasa malu dalam diri seseorang ternyata memang sangat efektif. Seseorang yang merasa malu dengan keadaan yang buruk dalam dirinya akan berusaha untuk menjadi lebih baik di hadapan yang lain. Seorang pencuri akan diarak keliling agar ia merasa malu dan tidak mengulangi perbuatannya. Seorang koruptor diberitakan dgn heboh, dicibir dan dipenjarakan agar malu dgn perbuatannya dan tidak mengulangnya lagi. Seorang mahasiswa yang nyaris DO akan dibuat malu agar termotivasi untuk menyelesaikan kuliahnya.

Rasa malu bisa membuat seseorang depresi, tapi setelah itu ia akan bangkit dengan tekad perubahan menjadi lebih baik.

NTT adalah propinsi penuh gengsi yang mencoba bangkit dari kemiskinan yang memilukan. Hasil perangkingan terbaru masih menempatkan propinsi ini ada di buntut propinsi lainnya dalam persoalan kemiskinan sejak propinsi ini berdiri. Tetapi gengsi propinsi ini sangat tinggi, rasa malu atas kemiskinan yang mendera tidak menyurutkan gengsi untuk menerima keadaan yang ada. Mulai dari pejabat pemerintah sampai klaster paling bawah menolak disebut miskin. Kekayaan alam yang tidak seberapa dipertontonkan sebagai kekayaan yang membanggakan agar tidak disebut miskin. Potensi pariwisata dikembangkan dengan trilyunan rupiah dana untuk menutupi keadaan sebenarnya bahwa yang miskin adalah rakyatnya.

Stigma NTT miskin yang seharusnya menjadi pemicu kebangkitan rakyat untuk melawan ternyata tidak menjadi tindakan perubahan malah stagnan sebatas argumen sampah dengan validitas absurd. Berita dan iklan di media tentang kemiskinan di NTT dianggap sebagai eksploitasi berlebihan yang bertentangan dengan realitas yang ada. Tentunya masih jelas ingatan kita pada iklan Lifebuoy yang menuai kontroversi. Sebelumnya, pernah ada iklan aqua yang tidak kalah hebohnya ketika dengan sengaja mereka mempertontonkan dialek dan kondisi di pedalaman Kabupaten TTS. Dua iklan tersebut mendapat penolakan karena dianggap mengeksploitasi kemiskinan untuk keuntungan perusahaan.

Aneh memang, jika sebuah fakta ditunjukan dengan data akurat saja sudah mendapat penentangan, entah bagaimana jika fakta tersebut berubah menjadi prokem yang terdengar lebih kasar atau kiasan yang menyembunyikan fakta.

Atas nama gengsi, kekayaan NTT dipertahankan dengan argumen dalam hampir semua diskusi atau debat tanpa tindakan konkrit. Tidak ada yang dihasilkan dari diskusi panjang sepanjang dekade kemiskinan ini. Program pengentasan kemiskinan berakhir meninggalkan nama dan kenangan tanpa strategi mempertahankannya agar tetap berjalan. Ratusan koperasi didirikan untuk mendongkrak ekonomi ternyata hanya berupa pinjaman untuk mempertahankan hidup, bukan sebagai modal usaha jangka panjang. Kelompok-kelompok ekonomi kreatif banyak dibentuk oleh pemerintah dan LSM-LSM ternyata juga hanya menjadi program sesaat yang gulung tikar setelah program itu berakhir. Ratusan program pemberdayaan lagi-lagi hanya sebuah simbol pengentasan kemiskinan.

Jika berpijak pada konsep pemberdayaan masyarakat yang digadangkan oleh PBB, maka sesungguhnya kita bukan pada taraf itu. Terjemahan yang salah oleh pelaku program malahan tidak lagi menjadikannya sebagai standar atau pedoman pemberdayaan, sialnya kesalahan menerjemahkan konsep ini dilakukan juga oleh badan-badan PBB dan NGO-NGO Internasional yang saat ini bekerja di Timor Barat. Atas nama quantitas, penerima manfaat tidak dipicu untuk melakukan perubahan tetapi dipicu untuk memenuhi target program. Inilah alasan utama mengapa program-program pemberdayaan selalu kandas ketika masyarakat tidak lagi didampingi.

Saya setuju bahwa NTT adalah propinsi miskin. Ini akan menjadi dorongan bagi siapapun untuk keluar dari zona yang tidak mengenakan ini. Tetapi untuk keluar dari situ bukan hal sepele yang bisa diselesaikan dengan argumen atas nama gengsi. Masyarakat NTT harus menerima kenyataan memalukan ini dengan lapang dada, melepaskan kepentingan pribadi dan kelompok, dan menerima dengan positif pihak luar yang hendak membangun masyarakat tanpa merusak budaya dan alam di sini.

Selama beberapa dasawarsa disebut sebagai propinsi miskin, seharusnya kita bisa melepaskan nilai itu dengan tidak mempertahankan gengsi kita. Sebab ketika kita menolak disebut miskin dengan alasan harga diri, maka saat itu juga kita telah kehilangan harga diri. Kehormatan adalah ketika kita dengan tulus mengakui diri kita apa adanya. Kita memang harus berpikir kritis, tapi kekritisan kita harus memiliki latar belakang dan memperhitungkan masa depan. Jika tanpa ini, maka kita ada di zona kritis, menunggu waktu diterkam krisis. Jika ada orang yang ingin membangun NTT karena prihatin oleh kemiskinan kita tanpa merusak alam dan budaya, maka hilangkan gengsi kita yang tega menghakimi niat baik itu. Sebab mereka datang karena kita tidak bisa menyelesaikan persoalan yang ada. Mereka datang karena kita selama ini hanya banyak bicara tanpa aksi nyata. @dodydoohan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline