Lihat ke Halaman Asli

Agraria

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RINGKASAN EKSEKUTIF PENELITIAN HUKUM AGRARIA[1]

Sistem Perekonomian Nasional sebuah bangsa sudah selayaknya mampu memberikan jaminan yang sama bagi setiap warga negaranya untuk memperoleh kesejahteraan melalui ketersediaan akses terhadap bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (yang merupakan pengertian agraria). UUD 1945telah meletakkan dasar yang kokoh untuk memantapkan cita-cita bangsa Indonesiadalam memajukan kesejahteraan umum, melalui pengaturan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yangmenegaskan bahwasanya Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengaturan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 kemudian menjiwai lahirnya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).UUPA Tahun 1960 lahir dalam suasana nasionalisme yang makin menguat di tengah masyarakat Indonesia, setelah lama berada dalam suasana penindasan oleh penjajah. Politik Agraria Indonesia yang diwakili oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA 1960 telah menjadi koreksi kritis atas asas Domein Verklaring yang selama masa penjajahan dijalankan oleh pemerintah Belanda sekaligus menghapus asas Domein Verklaring dalam hukum pertanahan di Indonesia.[2] Konsep “Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 untuk selanjutnya dikenal dengan konsepsi Hak Menguasai Negara.

Konsepsi Hak Menguasai Negara kemudian mulai menemukan bentuknya dalam Pasal 2 UUPA. Pasal 2 UUPA merumuskan secara formal untuk pertama kalinya mengenai Hak Menguasai Negara, yaitu memberi wewenang kepada Negara untuk: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Selain sebagai aturan pelaksana bagi hak menguasai negara, UUPA juga dicita-citakan menjadi unifikasi hukum dalam bidang agraria. Halini sekaligus mengakhiri keanekaragaman hukum agraria yang sebelumnya berlaku di Indonesia. Itulahsebabnya sejarah mencatat UUPA dinyatakan sebagai salah satu produk hukum terbaik yang berhasil dirumuskan oleh bangsa Indonesia dimana hukum adat dijadikan sebagai dasar hukum agraria nasional Indonesia (Patrick Mc.Ausland (1986: 29), Abdurrahman, 1994).Pembentuk UUPA saat itu telah berhasil memasukkan nilai-nilai asli dan prinsip-prinsip kehidupan bangsa Indonesia yang selalu hidup dalam kebersamaan sebagaikonsepsi yang mendasari hukum agraria nasional dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA.[3] Konsepsi yang dimaksud ialah konsepsi hukum adat yang bersifat komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaanindividualdengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Bahkan, dalam konstitusi yaitu Pasal 18 UUD 1945, masyarakat adat telah diberikan posisi konstitusional dalam hubungannya dengan negara serta mejadi landasan konstitusional bagi penyelenggara negara, bagaimana seharusnya komunitas diperlakukan.

Atas keberhasilan para pembentuk undang-undang, Prof. Herman Slaats, seorang antropolog dan ahli hukum adat menyatakan bahwasanya UUPA adalah undang-undang hibrida yang secara cerdik menggabungkan prinsip-prinsip hukum adat (asli milik Indonesia) dengan komponen-komponen yang dapat ditemukan dalam hukum Belanda (Slaats, 2001). Hasil hibrid itu sama sekali tidak menunjukkan itikad para penyusun UUPA untuk menggadaikan kembali bumi, air dan ruang angkasa serta segenap isinya yang menjadi kekayaan bangsa kepada kepentingan asing. Sebaliknya, semangat nasionalisme, anti asing, anti monopoli oleh perusahaan, populisme dan keberpihakannya yang jelas terhadap petani kecil, buruh tani, dan petani tak bertanah serta mandat untuk menjalankan land reform (: bukan semangat untuk menggusur) yang dihasilkan dari pergulatan pikir dan perdebatan yang terjadi sepanjang 12 tahun itulah yang menunjukkan keseriusan dan kemampuan putra-putra terbaik bangsa ini melahirkan UUPA 1960 sebagai karya hukum yang monumental.[4]

Sekalipun konsepsi hukum adat dimasukkan dalam UUPA, namun kesadaran akan hukum adattetap dimaknai dengan keterbatasan. Konsepsi hak masyarakat adat atas tanah hanya dapat didefinisikan sebagai hak ulayat[5] dan hak-hak lain sejenisnya. Dalam praktek penyelenggaran negara, negara atas dasar Hak Menguasai Negara dapat mengambil alih hak masyarakat adat atas tanah, dan menyatakan “pelaksanaan” Hak Menguasai Negara bisa didelegasikan kepada masyarakat adat sejauh dipandang perlu. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dalam berbagai peraturan perundang undangan,[6] mengambang dalam rumusan kalimat “sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Salah satu implikasinya saat ini berkembang konflik antara hukum nasional dengan hukum adat. Pluralisme hukum adat yang de facto ada di dalam masyarakat harus berhadapan dengan hukum nasional. Bila melihat pada pikiran pembuat undang-undang bahwa:

“ ... oleh karena suku-suku bangsa dan masyarakat-masyarakat hukum adat tidak mandiri lagi, tetapi sudah merupakan bagian dari suatu banga Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka wewenang berdasarkan hak ulayat yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah, yang dahulu mutlak berada di tangan kepala suku/masyarakat hukum adat/desa sebagai penguasa tertinggi dalam wilayahnya ... dengan sendirinya beralih kepada pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi, pemegang hak menguasai/ulayat seluruh wilayah negara.[7]

maka dapat dikatakan, bahwa Hak Menguasai Negara merupakan satu konsepsi politik hukum yang mencabut kekuasaan masyarakat adat.

Sehingga, tak mengherankan bila dalam berbagai bidang kehidupan, masyarakat adat mulai kehilangan akses akan sumber-sumber agraria yang dilegitimasi oleh peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, UU No. 5 tahun 1967 telah menempatkan hak ulayat kedalam posisi yang lemah dengan menempatkan hutan adat dalam kategori hutan negara. Dalam pembangunan di bidang ekonomi yang mengandalkan hasil hutan dan alih fungsi hutan, hak masyarakat hukum adat atas hutan (kekayaan alam yang terdapat di atas tanah) menjadi teranulir.

Disamping itu, dalam eksploitasi hasil hutan, hubungan hukum antara masyarakat (termasuk masyarakat hukum adat) dalam pengambilan bahan galianpun keberadaan dirasakan dikesampingkan. Fenomena ini menimbulkan tuntutan masyarakat untuk diakui dan diberikan haknya. Pada masa reformasi, fenomena ini kemudian menjadi faktor pendorong (pemicu) timbulnya praktik Penambangan Tanpa Izin (PETI) dengan berbagai alasan.

Kondisi ini lahir karena dalam proses penyusunan UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang telah dimulai sebelum tahun 1950 oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro, angket agraria yang direncanakan dilakukan di seluruh Indonesia hanya dapat diselesaikan di dua Propinsi yaitu di Propinsi Jawa Timur dan Jawa akibat adanya beberapa kesulita teknis dan keuangan.[8] Kekuranginformasian berdasarkan fakta di lapangan pada saat menyusun UUPA ini menyebabkan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat terkesan “mendua”. Di satu sisi pengakuan Negara terhadap hak ulayat diakui, tetapi disisi lain pengakuan tersebut dibatasi dengan berbagai ketentuan seperti tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, persatuan bangsa dan peraturan yang tercantum dalam undang-undang.[9] Sikap mendua terhadap hak ulayat ini menyebabkan:[10]


  1. Pada Pasal 16 UUPA tidak dimasukkannya bentuk hak ulayat sebagai salah satu bentuk hak atas tanah, sehingga tidak termasuk ke dalam kelompok hak atas tanah yang wajib didaftar.
  2. Pada ketentuan konversi tidak ditemukan ketentuan yang mengatur tentang konversi hak atas tanah ulayat tersebut di dalam UUPA
  3. Untuk menghindari terjadinya kesalahan, maka sikap mendua ini diikuti dengan penyerahan permasalahan hak atas tanah tersebut agar diatur dengan hukum adat sepanjang belum diatur dengan undang-undang hak yang berlaku nasional (lihat Pasal 56 UUPA.
  4. Ketentuan konversi Pasal IV tentang konversi consessi dan sewa menjadi hak guna usaha atau menjadi tanah di bawah penguasaan negara. Ketentuan ini sepertinya tidak memahami atau tidak mengakui bahwa consessi atau sewa timbul karena perjanjian antara masyarakat (dalam hal ini adalah tokoh adat ) dengan pemerintah atau pengusaha swasta Belanda, seperti yang terjadi pada beberapa HGU untuk perkebunan di Sumatera Barat yang berasal dari consessi atau sewa yang dikonversi.

Ketiadaan pengaturan mengenai bentuk hak ulayat dalam UUPA, mengakibatkan dalam pendaftaran tanah, karakter hak ulayat tidak lagi diperhatikan. Hak ulayat yang semula oleh masyarakat hukum adat dinyatakan sebagai hak atas agraria, hak masyarakat tersebut juga tidak lagi diakui dalam peraturan perundang-undangan sektoral,seperti Pertambangan, Kehutanan, Perkebunan dan lain-lain.

Dalam ketentuan konversi hak atas tanah ulayat dalam praktiknya terjadi penyimpangan seperti di Bali, tanah druwe desa, dikonversi menjadi hak milik, dalam penelitian ini ditemukan pendaftaran tanah druwe malah menimbulkan bentuk subyek, dan obyek hak yang baru, yaitu, adanya pura sebagai subyek hak milik atas tanah di Bali. Sementara di Sumatera Barat, tanah ganggam bauntuek, dikonversi menjadi hak pakai, namun dalam praktiknya semua tanah ganggam bauntuek didaftarkan sebagai hak milik bukan hak pakai.

Selain hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya yang melahirkan hak ulayat, sejak awal, UUPA dicita-citakan sebagai undang-undang organik dan induk di bidang agraria, yang mencakup pengaturan tentang semua hubungan hukum antara negara dengan agraria yang melahirkan hak menguasai tanah oleh negara, hubungan antara masyarakat adat dengan tanah ulayatnyamelahirkan hak ulayat.

Dalam perjalanannya, dengan menggunakan konsepsi Hak Menguasai Negara politik agraria rejim orde baru mengembangkan proses marginalisasi posisi UUPA 1960 sebagai undang-undang induk, disatu sisi dengan mengembangkan berbagai undang-undang pokok lainnya, seperti Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Undang Nomor 5 Tahun 1967), Ketentuan-ketenuan Pokok Pertambangan (Undang-undang No.11 Tahun 1967), Ketentuan-ketentuan Pokok Pemerintahan Desa (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979), dan Undang-undang Penataan Ruang (Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992). Disisi lain, sebagai konsekuensinya, munculah “sektoralisme” kekuasaan dan administrasi Negara dalam wujud departemen-departemen sektoral yang menjadi agen langsung dari pelaksanaan HMN tersebut.[11]

Munculnya berbagai undang-undang sektoral menjadikan konflik agraria berkembang melebar tak lagi antara negara dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, namun juga antar sektor pemerintahan, terutama setelah keran otonomi daerah terbuka.Salah satu yang selalu memunculkan konflik ialah pengadaan tanah untuk pembangunan. Dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan konsentrasi penguasaan tanah terbesar adalah pada pengusahaan hutan, yang alas haknya diberikan pemerintah melalui Hak Pengusahaan Hutan bagi perusahan-perusahaan swasta dan penetapan kawasan hutan produksi berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dikuasai oleh Inhutani/Perhutani. Hingga tahun 2000, jumlah HPH di Indonesia mencapai 600 unit dengan areal hutan produksi seluas 64 juta ha. Jumlah HPH tersebut setelah dikelompokkan ternyata hanya dimiliki oleh sekitar 20 konglomerat kehutanan. Artinya, setiap konglomerat menguasai sumberdaya hutan untuk dieksploitasi lebih dari 1 juta hektar.Dengan semakin banyaknya jumlah unit HPH yang beroperasi di Indonesia, maka jumlah kayu yang ditebang juga semakin meningkat. Pada periode tahun 1960-1965 saja sebanyak 2,5 juta m3 log ditebang, tahun 1970 sebanyak 10 juta m3 log, dan tahun 1987 sebanyak 26 juta m3 log ditebang. Sementara, pada tahun 2007 penebangan kayu yang diperbolehkan dari hutan tropis sekitar 9 juta m3.[12]

Akibat kegiatan eksploitasi oleh HPH tersebut pada tahun 1985 terjadi laju kerusakan hutan (deforestasi) sebesar 600.000 ha - 1.2 juta ha per tahun. Disebutkannya periode 1985-1997, tingkat deforestasi di Indonesia mencapai 1,7 juta ha per tahun. Dengan kondisi seperti ini diramalkan pada tahun 20010 hutan dataran rendah non rawa di Kalimantan akan hilang di Sumatra, dan di Kalimantan akan hilang.[13] Menurut data dari Departemen Kehutanan, laju deforestasi nasional dalam 10 tahun terakhir mencapai rata-rata 1,6 juta ha per tahun. Penyebabnya, selain melanjutkan kerja-kerja eksploitasi HPH seperti pada rezim Orde Baru, juga ditambah maraknya penebangan haram (illegal logging) sejak tahun 1999, kebakaran hutan, dan perebutan kekuasaan atas lahan hutan antara perusahaan HPH dengan masyarakat adat. Pemerintah Orde Baru dinilai banyak pihak paling besar dan paling serius terhadap terjadinya deforestasi, ia telah gagal melaksanakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.[14]

Di bidang pertambangan melalui UU No. 11 tahun 1967, Hak Menguasai Negara yang diatur di dalam UU diimplementasikan dalam kebijakan penggolongan bahan galian dan pengusahaannya, serta eksploitasinya melalui PP No. 27 tahun 1980. Kebijakan ini berimplikasi kepada kewenangan pemberian ijin usaha pertambangan yang saat ini jumlahnya tak terbendung. Data yang diperoleh dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan bahwa di Kalimantan Selatan terdapat lebih dari 400 Kuasa pertambangan (KP) legal, dan diperkirakan 800 lainnya ilegal.Di Kalimantan Timur, tahun 2007 ada 509 KP, dan sedang antri 200 lainnya. Di Sulawesi Tenggara ada 127 perijinan Kontrak karya dan KP, Kalimatan Tengah yangjumlahnya lebih 200an  perijinan.

Permasalahan serupa juga terjadi pada tanah perkebunan. Pemerintah memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menentukan hak penguasaan dan penggarapan tanah perkebunan. Secara nasional, berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional, pada tahun 1999 luas perkebunan rakyat dan perkebunan skalabesar di Indonesia sekitar 14,45 juta hektar atau sekitar 7,58 % luas wilayah Indonesia.Dari luas perkebunan itu, sekitar 4,56 juta hektar (31,53 %) adalah HGU dan lainnya adalah perkebunan rakyat (68,47 %). Penyebaran HGU yang terluas adalah di Sumatera, yaitu 2,38 juta hektar (24,42 % luas perkebunan). Di Jawa, walaupun luasnya hanya sekitar 0,60 juta hektar, namun sebagian besar (87 %) merupakan perkebunan skala besar dengan 1 108 HGU (45 % total perusahaan HGU).

Konsentrasi tanah juga terjadi lewat transformasi dari lahan pertanian (subur) ke lahan industri. Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian (Deptan), telah terjadi konversi lahan seluas 110.000 ha selama periode 1999-2002. Jumlah konversi lahan sawah beririgasi mencapai 40.000 ha rata-rata per tahun, atau mencapai 423.857 selama periode tersebut. [15]Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa daerah perkotaan mengalami penyusutan lahan pertanian diperkirakan mencapai 102.780 hektar setiap tahun. Penyusutan ini sebagian besar terjadi karena alih fungi tanah pertanian ke sektor non pertanian, terutama ekspansi sektor industri ke lahan-lahan subur pada areal pertanian, pembangunan jalan, dan perumahan terutama di daerah yang memiliki kepadatan penduduk dan aktivitas perekonomian yang tinggi, seperti Pulau Jawa.Hal ini akan mempengaruhi terpenuhinya kebutuhan akan pangan di wilayah Indonesia, mengingat alih fungsi lahan pertanian yang cenderung meningkat di pulau Jawa, yang selama ini menyumbang lebih dari 50% kebutuhan pangan di Indonesia untuk kebutuhan pembangunan.

Besarnya tingkat alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di beberapa daerah salah satunya disebabkan oleh adanya permasalahan kepemilikan lahan yang dampaknyabesar.Masalah ini terkait dengan tata ruang, di Jawa timur dari data tahun 2003 masing-masing petani rata-rata hanya memiliki 0,36 ha.[16] Berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) tahun 2003 (BPS) di Indonesia terdapat sekitar 13,7 juta rumah tangga (selanjutnya disebut RT) yang masuk kategori petani gurem dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,37 ha. Sedangkan, data Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa sekitar 55,11% dari jumlah RT petani secara individu menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, sementara di Jawa rata-rata petani memiliki lahan kurang dari 0,2 ha. Sementara itu yang menguasai lahan sawah di atas 1 ha hanya 9,3% dari jumlah petani 1,2 juta. Secara ekonomi hasil dari 0,37 ha itu tidak dapat memenuhi satu kepala keluarga (suami, istri dan dua orang anak) artinya petani kita harus menambah penghasilannya lagi. Sehingga hal ini akan mengakibatkan tingginya potensi kemiskinan.[17]

Permasalahan lain yang juga terjadi di bidang pertanian ialah belum adanya ketentuan yang membatasi perubahan peruntukan lahan pertanian milik pribadi menjadi peruntukan lainnya. Kondisi yang seringkali terjadi ialah perubahan peruntukkan lahan dari sebelumnya berupa lahan pertanian menjadi bangunan rumah oleh pemiliknya. Pengalihan peruntukan terhadap setiap lahan pertanian perlu diatur dengan persyaratan ijin, sebab selama ini dalam sertifikat atas tanah di Indonesia pun tidak pernah dicantumkan status peruntukkan tanah.

Meningkatnya kebutuhan lahan untuk perumahan juga menjadi penyebab tingginya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian di Indonesia, seiring meningkatnya jumlah penduduk. Di Jabotabek khususnya, dimana tekanan penduduk terhadap tanah sangat kuat, masyarakat harus bersaing dengan badan-badan usaha besar yang memanfaatkan lahan untuk perumahan real estate dan tujuan konsumtif. Kebutuhan lahan untuk perumahan di Indonesia saat ini ialah minimum 2.400.000 m dengan asumsi satu rumah memiliki luas 60m2. Dalam repelita VI kebutuhan untuk perumahan direncanakan 500 unit rumah yang terbangun dan itu dikelompokkan 400.000 unit untuk rumah sangat sederhana (RSS) dan 100.000 unit untuk rumah sederhana (RS). Rencana pengadaannya 250.000 unit oleh perumnas, 200.000 unit oleh REI, dan 50.000 unit untuk koperasi. Kebutuhan akan lahan jugajuga terkait dengan pemekaran wilayah di beberapa daerah yang membutuhkan areal perkantoran, jalan, perumahan, fasilitas sosial (rumah sakit, sekolah).

Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Indonesia tidak dapat dipungkiri merupakan akibat dari pengaturan dan penyusunan tata ruang yang dilakukan secara sektoral. Kewenangan hak menguasai negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa yang diatur dalam Pasal 14 UUPA, selayaknya tidak diterjemahkan dalam kepentingan sektoral.Fenomena yang muncul selama ini ialah penataan ruang di Indonesia tidak dilakukan secara terintegrasi. Setiap sektor yang terkait dengan penataan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mempunyai tata ruang sendiri, seperti sektor kehutanan. Tata Ruang antara satu sektor dengan sektor lain tidak menunjukkan adanya sinkronisasi antara satu dengan yang lainnya.

Kondisi tersebut tidak jarang menimbulkan adanya kebijakan pengambilalihan tanah, seperti dalam pelaksanaan pembangunan untukkepentingan umum. Pengambilalihan tanah untuk kegiatan pembangunan, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta sering kali menjadi salah satu penyebab sengketa atas tanah. Hal ini karena penataan ruang seringkali diterjemahkan dalam kebijakan yang cenderung berorientasi pada pemenuhan fungsi atas tanah seperti peruntukan jalan, jembatan, dan bangunan. Sementara ketidakjelasan status kepemilikan hak atas tanah menjadi persoalan yang seringkali berujung pada konflik kepemilikan atas tanah di masyarakat.

Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa orientasi pengadaan tanah skala besar, telah berakibat terjadinya konsentrasi penguasaan tanah di satu pihak; dan di lain pihak, absennya fungsi hukum agraria untuk melindungi masyarakat pemilik tanah, sehingga akses terhadap tanah-tanah strategis didominasi oleh kalangan yang terbatas, untuk industri, kehutanan, pertambangan, perkebunan, manufaktur, perumahan dan hiburan. Tanah yang berfungsi sosial tidak sepenuhnya terimplementasi di lapangan, sebaliknya komersialisasi tanah terjadi, yang berakibat tertinggalnya akses masyarkat luas terhadap tanah, dan pada gilirannya secara makro semakin tertinggalnya sektor agraria dibanding sektor industri. Sehingga, pada satu sisi, masyarakat banyak kehilangan aksesnya terhadap tanah; dan disisi lain, alokasi pemanfaatan tanah untuk kalangan atas sangat besar terutama untuk konsumsi hiburan.[18]

Negara dengan Hak Menguasai Negara yang dimilikinya menjelma seolah-olah sebagai pemilik dari demikian beragamnya sumber agraria yang ada di wilayah Indonesia. Padahal secara definitif, Hak Menguasai Negaradibatasi oleh keharusan etis “sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat adil dan makmur.

Kewenangan Hak Milik Negara dalam yang disebutkan Pasal 2 seharusnya dipahami dalam kerangka hubungan antara Negara dengan bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti di Negara Barat maupun di Negara-negara komunis. Negara dalam hal ini sebagai Badan Penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka Negara harus mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa.[19] Dengan ini, AP. Parlindungan menyebutnya sebagai hak rakyat pada tingkat Negara.[20]

Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan Negara ini harus dibatasi dua hal: pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh Negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang melepaskan haknya harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut. Kedua, pembatasan yang bersifat substanstif dalam arti peraturan yang dibuat oleh Negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.

Memperhatikan berbagai permasalahan yang ditimbulkan dengan penerapanberbagai UU sektoral dan berbagai konflik serta ketidakadilan yang dirasakan dalam pengelolaan agraria yang telah, sedang bahkan terus akan terjadi, sebagaimana yang tergambar dari hasil penelitian ini, maka dipandang perlu dilakukan penyempurnaan terhadap UUPA dan mengembalikan kembali UUPA sebagai UU payung bagi pengaturan mengenai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Penyempurnaan UUPA harus memuat konsep-konsep dasar, prinsip-prinsip dasar, asas, politik hukum yang berkaitan dengan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pengaturan yang jelas mengenai hak-hak masyarakat adat atas agraria, mengingat sampai saat ini keberadaan masyarakat adat di Indonesia baru sebatas pengakuan. Dalam Pasal 16 UUPA belum diatur mengenai jenis hak yang dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat atas tanah adat mereka. Ketentuan konversi sebagai satu-satunya perangkat dalam UUPA yang mengakomodasi hak-hak masyarakat adat pun ternyata dalam prakteknya tidak sesuai dengan nilai-nilai dan pola-pola penguasaan tanah yang terjadi di masyarakat, seperti tanah druwe desa (dikonversi menjadi hak milik), tanah ganggam bauntuek (dikonversi menjadi hak pakai),

Untuk mendukung penyempurnaan UUPA, beberapa UU perlu dibentuk sesuai dengan amanat UUPA, diantaranya ialah UU Pertanahan, UU Hak Milik, UU Pemanfaatan Tanah, UU Hak Bersama. Dan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang agraria yang sifatnya sektoral perlu disinkronkan baik secara vertikal maupun horizontal agar tidak menghambat usaha mewujudkan kepastian hukum di bidang agraria bagi masyarakat Indonesia.

Untuk mencegah munculnya kebijakan agraria yang berwajah sektoral, maka pelaksanaan hak menguasai negara di bidang agraria perlu diintegrasikan dan dikoordinasikan dalam satu Departemen tersendiri, sehingga urusan agraria tidak parsial diidentikkan hanya terkait dengan urusan kepemilikan tanah, namun juga hal-hal yang terdapat di atas tanah, termasuk ruang angkasa dan sumber daya yang terdapat di bawah tanah.

Penyempurnaan UUPA agraria perlu didukung dengan evaluasi tersendiri atas pelaksanaan kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam bidang agraria, mengingat otonomi daerah menjadi persoalan baru bagi usaha pengelolaan agraria yang sering tarik menarik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu bersama-sama melakukan review atas pemberian ijin-ijin usaha di bidang pertambangan, kehutanan, perkebunan yang saling tumpang tindih.

[1]PENELITIAN DILAKUKAN OLEH KOMISI HUKUM NASIONAL R.I., DARI BULAN JANUARI SAMPAI OKTOBER 2008.

[2]Domein verklaring diatur dalam Agrarische Besluit (Stb. No.118) yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Agrarische Wet (Stb.1870 No.55). Dalam Pasal 1 Agrarische Besluit, berbunyi:“Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijf het beginsel gehandhaaaftd, dat alle grond, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van den staat is”. Pada prinsip dasarnya menyatakan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) Negara. Azas ini diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam upaya memberikan kesempatan bagi investor untuk melakukan investasi, diutamakan untuk perkebunan. Kebijakan ini berdampak pada beralihnya kepemilikan tanah adat menjadi tanah domein negara.

[3] Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa hukum agraia yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.

Pasal 3 UUPA menyebutkan hak ulayat / hak-hak yang serupa dengan hak ulayat dari masyarakat hukum adat diakui eksistensinya sepanjang menurut kenyataan masih ada, namun pelaksanaannya harus sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi.

[4] Dianto Bachriadi, “ Para Penyusun UUPA Tidak Pernah Menangis, Renungan di tengah kesuntukan di tahun ke-48 Kelahiran UUPA 1960”, http://pergerakan.org/id/index.php?option=com_content&task= view&id=78&Itemid=71, diakses tanggal 23 Maret 2008.

[5] Hak ulayat adalah Hak masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan kolektif terhadap segala sumberdaya di wilayahnya

[6] UU No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2); UU No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan dalam Pasal 3 ayat (3); UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan dalam Pasal 17;Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Keanekaragaman Hayatidalam Pasal 15 ayat (4);UU No.22 Tahun 1999 dalam Pasal 93 ayat (1); UU No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dalam Pasal 8c, Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 26;PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi dalam Pasal 27 ayat (1); Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 dalam Bagian IV angka 20; Keputusan Presiden No.48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan Dalam Rangka Pelaksanaan Landreform; Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 251/Kpts-II/1993 dalam Pasal 1; Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 242 Tahun 1993 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Lestari; Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 47/Kpts-II/1998; Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II 1998; Peraturan Mendagri No.3 Tahun 1997; Peraturan Mendagri No.9 Tahun 1998 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang di daerah; Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999tentang PedomanPenyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

[7] Lihat Iman Soetiknyo, Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia dengan tanah yang Berdasarkan Pancasila. Jogjakarta: Penerbit UGM, 1990, hal. 49-50.

[8]Iman Soetiknjo, Proses Terjadinya UUPA (Peran Serta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada), Cet. I, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987, hal.2.

[9]Sjahmunir, “Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan” dalam Himpunan Makalah dan Rumusan Workshop Tanah Ulayat di Sumatera Barat, cet.I, 2000.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline