[caption caption="merangkai benang"][/caption]
Sepasang nenek terlihat sedang merangkai benang untuk membentuk suatu pola tenunan. Benang dibentangkan di alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu. Puluhan untai benang itu terlihat membentuk pola garis-garis dengan beberapa warna. Beralaskan lantai bambu, kedua nenek itu menyusun benang tiap untainya dengan telaten agar terbentuk pola yang diinginkan. Seolah terprogram di dalam pikiran, mereka menyusun benang dengan cekatan tanpa panduan. Di usia senja, menenun sepertinya menjadi kegiatan yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang. Di Sumba, menenun biasanya memang dilakukan untuk mengisi waktu di sela aktivitas berkebun. Dibutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk menyelesaikan selembar kain tenun.
Secara umum motif kain tenun Sumba menggambarkan corak binatang yang mengandung makna. Sebagai contoh kain bermotif kuda melambangkan kebanggaan, kekuatan, dan kejantanan. Kain bermotif ayam melambangkan wanita yang telah berumah tangga, sedangkan kain bermotif kakatua melambangkan persatuan. Motif dan warnanya juga menunjukkan strata sosial pemiliknya.
Kain tenun Sumba dibagi dalam dua jenis, “Hinggi dan Lau”.Kain tenun sumba jenis Hinggi biasanya dikenakan oleh pria dalam dalam upacara adat. Hinggi untuk pria dewasa berukuran sekitar 2 meter dan berfungsi sebagai selendang atau kain yang dililitkan di pinggang. Warna dominan kain ini adalah merah kecoklatan yang banyak dipakai kaum bangsawan dan kebiruan lebih banyak dikenakan oleh rakyat biasa. Jenis kain tenun sumba kedua adalah “Lau”, dikenakan sebagai sarung oleh wanita. Kain ini adalah tenun ikat yang kemudian diberi teknik songket lungsi tambah sehingga corak yang terlihat di atas kain mirip dengan corak sulam.
Selain digunakan untuk acara adat, kain tenun juga biasa digunakan dalam keseharian. Di daerah Sumba Barat masih banyak ditemukan orang yang memakai aksesori itu. Dalam keseharian pria dewasa di Sumba, selalu ada kain yang dililitkan di kepala dan pinggang. Aksesori tersebut mereka pakai dalam berbagai kesempatan, mulai dari pergi ke kebun sampai acara pengambilan rapor anaknya di sekolah. Sebuah parang biasanya terselip di kain yang melilit pinggang dan selalu mereka bawa ke manapun, meski tidak sedang berkebun atau mengikuti acara adat. Sepertinya merupakan sebuah kebanggaan bagi pria Sumba untuk mengenakan dua lembar kain tenun dan parang yang terselip di pinggang.
Di Kecamatan Wanukaka, Sumba Barat tempat tinggal kedua nenek penenun itu memang masih banyak didapati alat tenun tradisional di rumah-rumah. Tidak hanya nenek-nenek, ibu-ibu muda pun juga banyak yang memiliki ketrampilan menenun. Dengan alat tenun tradisional, mereka menenun saat suami sedang berkebun untuk mengisi waktu luang. Kebanyakan dari mereka menenun kain hanya untuk kebutuhan pribadi namun ada juga yang menjadikannya sebagai profesi.
[caption caption="alat tenun sederhana milik salah seorang warga Wanukaka"]
[/caption]
Kain tenun Sumba, merupakan hasil karya yang penuh makna. Telah menjadi bagian dari masyarakat dalam keseharian. Menjadi kebanggaan bagi warga Sumba dan para pemakainya. Kain tenun yang kian langka seiring pergantian masa. Masa di mana kepraktisan dan efisiensi menjadi kebutuhan. Kini suara entakan alat tenun sederhana masih terdengar sesekali ditimpali dengan riuhnya ocehan para penenun. Helai demi helai tenunan tercipta dari ketrampilan tangan mereka. Tetap mencipta dan berkarya meski telah berusia senja. Mencoba melanjutkan tradisi agar tetap lestari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H