Pesawat baling-baling yang kami tumpangi baru saja mendarat di sebuah bandara kecil yang berada di tengah padang rumput luas dengan hutan hujan sebagai batasnya. Bandara ini dulunya digunakan sebagai lapangan udara militer saat perang dunia kedua. Saat ini bandara Babo diambil alih sebuah perusahaan gas yang biasanya digunakan untuk memfasilitasi karyawannya namun dapat dipakai juga oleh pesawat komersial umum. Babo adalah persinggahan pertama sebelum melanjutkan perjalanan ke beberapa tempat lain di kawasan Teluk Bintuni. Sebuah kota kecil yang menjadi salah satu pusat perekonomian di kawasan Teluk Bintuni. Dibanding beberapa distrik/kecamatan lain di Teluk Bintuni, distrik Babo terbilang modern dan memiliki fasilitas umum relatif lengkap.
[caption id="attachment_347740" align="aligncenter" width="448" caption="mendarat di bandara Babo"][/caption]
Tak sampai lima menit menggunakan mobil sampailah kami di kantor distrik, yang juga merupakan pusat distrik Babo. Dari sini kita dapat dengan mudah mengakses berbagai fasilitas umum seperti puskesmas, sekolah, dan masjid. Untuk mencapai masjid hanya perlu berjalan kaki selama 10 menit dari kantor distrik. Masjid Miftahul Jannah adalah masjid terbesar di Babo. Masjid yang mampu menampung sekitar 200 jamaah ini memiliki serambi yang luas. Serambi masjid dibatasi oleh pagar setinggi sekitar setengah meter. Sebuah bedug ukuran cukup besar diletakkan di serambi masjid bagian depan. Ruangan dalam dan serambi masjid dilapisi lantai keramik. Empat buah tiang beton yang terletak di bagian dalam menjadi penopang utama atap masjid yang berbentuk tumpang.
[caption id="attachment_347741" align="aligncenter" width="336" caption="masjid Miftahul Jannah Babo"]
[/caption]
Ada tiga masjid/mushola di Babo, namun masjid Miftahul Jannah lah yang paling sering mengadakan berbagai kegiatan di luar sholat berjamaah. Saat saya ke sana pada Oktober 2013, setiap ba’da Maghrib diadakan latihan untuk mempersiapkan diri menjelang seleksi MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat provinsi. Beberapa tahun terakhir Babo berhasil mengirimkan putra-putri terbaik mereka ke kejuaraan MTQ Papua Barat mewakili kabupaten Teluk Bintuni. Saat itu mereka tengah berjuang untuk dapat kembali maju ke MTQ tingkat provinsi yang tahun depan (2014) digelar di Raja Ampat.
[caption id="attachment_347742" align="aligncenter" width="448" caption="serambi tempat anak-anak mengaji"]
[/caption]
Warga Babo terbilang multietnis karena terdiri dari beragam suku seperti Jawa, Buton, Toraja, dan Irarutu sebagai suku asli. Suku Irarutu yang tinggal di Babo kebanyakan beragama Islam. Beberapa suku asli di Papua Barat memang sudah memeluk Islam sejak lama. Banyak sumber yang menjelaskan sejarah dakwah Islam di Papua, salah satunya adalah pengaruh kesultanan Tidore yang memiliki wilayah kekuasaan di sebagian Papua Barat. Pengaruh tersebut berdampak pada adat dan budaya warga Babo cukup kental dengan nilai keislaman. Prosesi pernikahan, adalah salah satu tradisi lokal yang sarat nilai keislaman. Dalam tradisi tersebut pengantin akan diarak keliling kampung diiringi tabuhan rebana dan sholawatan. Di sore hari seringkali dijumpai mace-mace yang jalan berombongan ke rumah tetangganya untuk mengikuti pengajian. Tradisi dan kebiasaan itu masih lestari hingga kini.
Beranjak dari Babo, kita menuju ke kampung Sidomakmur. Ketinting menjadi satu-satunya transportasi umum dari Babo ke Sidomakmur. Dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke kampung Sidomakmur. Sidomakmur, sebuah nama yang sangat berbau Jawa. Dan memang kampung ini banyak dihuni oleh perantau asal Jawa sebagai konsekuensi dari upaya pemerintah membangun sebuah area transmigrasi di era 90-an. Kampung ini sangat kecil dan hanya dihuni oleh 100 KK. Tidak begitu luas, hanya dihubungkan oleh rangkaian papan kayu yang mengelilingi kampung. Semua rumah dan fasilitas di Sidomakmur terbuat dari kayu karena itu kampung ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Kayu Indonesia (RKI).
[caption id="attachment_347743" align="aligncenter" width="448" caption="salah satu sudut kampung Sidomakmur"]
[/caption]
Sidomakmur hanya memiliki sebuah masjid yang terletak di tengah kampung. Masjid itu hampir seluruhnya terbuat dari kayu, hanya atapnya saja yang dari seng. Di serambi masjid terdapat bedug ukuran sedang yang diletakkan di salah satu sudut bagian depan. Ruangan dalam masjid begitu bersih dengan keramik yang menutupi seluruh lantainya. Warna dominan biru memberikan kesejukan saat memasuki masjid. Ditopang oleh empat kayu utama, semakin memperkokoh masjid ini. Meski tidak ada pasokan listrik dari PLN, masjid tetap terang saat malam dan bisa mengumandangkan adzan melalui pengeras suara. Itu semua berkat listrik hasil swadaya masyarakat dengan menggunakan genset kampung.
[caption id="attachment_347744" align="aligncenter" width="448" caption="tetap terang saat malam"]
[/caption]
[caption id="attachment_347747" align="aligncenter" width="448" caption="ruangan utama masjid"]
[/caption]
Selalu ada sholat jamaah di awal waktu. Kebanyakan warga yang ikut sholat jamaah adalah warga di sekitar masjid, wajah-wajah mereka tidak asing lagi. Ya.. mereka adalah orang Jawa yang menjadi mayoritas di kampung ini. Penggunaan bahasa Jawa sebagai percakapan sehari-hari sangat lumrah di sini. Orang Madura yang di tempat asalnya kesulitan berbahasa Jawa, di sini dapat diajak ngobrol menggunakan bahasa Jawa. Bahkan orang non Jawa seperti orang Maluku, Buton, dan Papua sendiri sesekali terdengar menggunakan bahasa Jawa saat berbelanja di kios milik orang Jawa. Bisa dibilang, Sidomakmur adalah Papua rasa Jawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H