Cahaya matahari pagi mulai menyinari salah satu kota besar di tepi barat pulau Sumatra.Masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan baru pulang dari melaut pagi itu. Para petani mulai berjalan di pematang sawah, berbekal cangkul di pundak dan semangat untuk mendapatkan hasil panen yang melimpah beberapa bulan kedepan. Para pedagang mulai menggelar daganannya. Jalanan kota mulai dipadati kendaraan besar maupun kecil, yang dibawa oleh mereka yang memiliki tujuan masing-masing, yang memiliki harapan untuk mendapatkan rezeki yang baik hari ini.
Di salah satu sudut kota, seorang anak muda telah bangun sejak shubuh tadi. Dia harus mempersiapkan banyak barang sebelum berangkat untuk mengembara ke tempat yang jauh dari rumahnya, untuk menuntut ilmu di sebuah sekolah agama yang berada di sekitar wilayah utara provinsi.
"Ibu, kapan kita berangkat?",tanya anak tadi kepada ibunya.
"Sebentar lagi, Nak. Barang-barangnya sudah dikemas semua,Nak?", ibu anak tadi bertanya balik.
"Sudah, Bu", jawab anak tersebut dengan mantap.
"Ini, lauknya dimasukin ke dalam plastik.Jangan sampai tumpah. Ibu telah membuatnya sejak shubuh tadi".
"Wah, enak nih. Terimakasih, Ibu", ucap si anak yang dijawab dengan senyuman oleh ibunya.
Siang hari, mereka sekeluarga berangkat menuju pesantren tempat anak muda tadi akan menuntut ilmu. Perjalanan ini menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam. Setelah sampai di ibukota kabupaten, mereka mencari sebuah penginapan untuk bermalam. Cukup sulit menemukan penginapan yang sepi tapi nyaman disini, mengingat ketika itu adalah libur panjang, juga kota tersebut merupakan tujuan destinasi wisata terkenal. Akhirnya, mereka menemukan sebuah penginapan tak jauh dari pesantren, sepi tapi nyaman.
Esoknya, sebelum menuju tujuan utama, mereka pergi ke salah satu tempat wisata di timur kabupaten.Tempat itu terkenal dengan perbukitan yang terbelah, membentuk tebing-tebing tinggi yang berwarna-warni,juga ada air terjun dan lokasi wisata yang cocok untuk keluarga. Setelah berwisata, mereka akhirnya pergi ke tujuan awal. Semua barang yang diperlukan untuk si anak dibawa menuju asrama barunya yang terletak di lantai satu.
"Jaga diri baik-baik ya, Fatih. Hidup kamu disini hanya berdua, kamu dengan Tuhan. Orang lain tidak akan terlalu peduli kepadamu.", ayah dari anak tadi memberi nasihat sebelum pergi meninggalkan anaknya.
"Baik,Yah", anak tadi mengiyakan kalimat ayahnya dengan perasaan campur aduk, antara sedih, bahagia, dan cemas atas pilihannya untuk bersekolah di pesantren.
Hari itu, dia memulai perjalanan baru dalam hidupnya, yang tidak dia sangka akan mengalaminya dalam hidup ini. Kehidupannya di pesantren akan membawa perubahan besar dalam hidupnya, merubah pola pikir dalam menjalani kehidupan. Semoga dirinya bisa bertahan di pesantren, harapnya.
Waktu melesat bagai kereta cepat. Setahun kurang Fatih menjalani kehidupan di pesantren, telah membuat dirinya banyak berubah, bisa membenahi diri sendiri, dan menjadi lebih dewasa. Kamarnya juga sudah lama dipindahkan dari lantai satu ke lantai tiga setelah dua bulan masuk pesantren. Lantai tiga itu dikhususkan untuk pengadaan program tahfizh. Pengalaman yang dimilikinya bertambah. Kehidupan di pesantren tidak seperti yang dia kira. Kalau biasanya pesantren itu identik dengan kitab kuning, berpakaian jubah dan serban, dan hidup hanya bermodalkan kemauan, tapi disini tidak. Setiap paginya harus bangun cepat, kalau tidak segera pergi ke masjid akan dihukum. Dimanapun dan kapanpun selalu dihitung, seperti pendidikan militer. Jika ingin keluar pesantren harus dapat izin terlebih dahulu. jika tidak, akan dianggap cabut dan dihukum.
"Ali, itu si Zaki kenapa, sih? Pakai peci setiap hari, kemarin juga dijemur dilapangan", Fatih bertanya kepada temannya ketika melihat temannya yang lain sering memgenakan kopiah haji berwarna putih, ketika masih menjadi "anak baru" di pesantren itu.
"Aku juga tidak tahu. Coba kau tanyakan saja langsung ke dia", jawab Ali.
"Eh, Zaki, kok pakai peci tiap hari, sih? Gak kepanasan?". tanya Fatih.
"Aku dibotak, karena keluar pesantren tanpa izin. Aku dihukum sama ustadz yang sering duduk di kantor itu", jawab Zaki dengan rasa malu dan sedih.
"Oooh...".
Sejak saat itu, pemandangan seperti ini sudah sangat lumrah terlihat di antara teman-temannya.
Pernah suatu hari, Fatih melanggar peraturan bagian bahasa, salah satu bagian yang cukup ditakuti di pesantren.
"Berapa kali kamu masuk bagian bahasa ? "Kenapa kamu memakai bahasa Indonesia?"Apa yang kamu katakan?", tanya salah seorang anggota bagian tersebut saat 'persidangan' Fatih.
"Baru sekali,Kak", jawab Fatih dengan sedikit cemas. Karena persidangan dilakukan pada jam makan malam, dia takut jika nasi dan lauk malam itu habis.
"Hukuman apa yang kamu mau?", tanya kakak itu kembali. Eh? Ternyata bisa memilih hukuman, pikir Fatih. Dia memilih untuk menulis kosakata bahasa Arab,karena hari itu adalah pekan untuk berbahasa Arab.
"Baiklah.Tulis 1000 kosakata yang telah kamu pelajari, kumpul ke Kakak sore besok", ucap Kakak tersebut sambil menutup persidangan.
Huh, Fatih menyesal, memilih hukuman itu.