Lihat ke Halaman Asli

Dodi Putra Tanjung

Penggiat Sosial

Cerpen Remaja: Hilang Ragu

Diperbarui: 24 Desember 2023   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input sumber gambar : Galeri Dodi Putra Tanjung

**

          Jam menunjukkan pukul 11 malam. Sebagian besar orang di kawasan padat penduduk di kota besar itu telah tertidur lelap. Angin sejuk berhembus pelan, membuat siapapun tidak ingin berlama-lama di luar. Malam semakin larut, membuat siapapun tidak ingin keluar malam ini. Awan gelap yang cukup tebal menutupi langit,sepertinya akan turun hujan.

          "Pranggg", suara benda berbahan kaca yang pecah terdengar dari salah satu rumah. Benda itu terdengar seperti dibanting atau dilempar.

          "Aku tidak ingin tinggal bersama kalian lagi", terdengar suara bentakan dari rumah itu.

          "Ibu minta maaf nak, kalau ibu belum bisa membahagiakan kamu, ibu belum bisa memenuhi keinginanmu", suara isak tangis seorang perempuan separuh baya terdengar dari rumah itu, setelah mendengar bentakan dari pemuda yang tidak lain adalah anaknya. Cermin dihadapannya hancur berderai setelah dilempar anaknya.

          "Hei, Ini ibumu nak ! jangan kau bentak dia !", teriak lelaki separuh baya yang juga tinggal di rumah itu pada anaknya.

         "Kalian tahu kenapa aku marah, kesal pada kalian?", tanya anak itu kepada kedua orangtuanya, "Aku selalu diejek, dihina, direndahkan oleh teman-temanku, karena tinggal bersama kalian yang miskin!", hardik anak itu terhadap kedua orangtuanya.

          "Raihan", ucap ayahnya dengan nada tidak setinggi sebelumnya, "jika kamu punya masalah, kita bisa menyelesaikannya baik-baik. Daripada kamu pulang ke rumah larut malam dan meneriaki ibumu.itu benar-benar tidak beradab", ayahnya berbicara pelan, berharap anaknya mengerti.

          "Aku ingin hidup bebas di luar sana, mendapatkan apapun yang kuinginkan dengan mudah,menikmati dunia ini,mencari kehidupan yang baru, dan tidak perlu bersusah payah mengumpulkan sampah seperti kalian", keluh anaknya dengan sedikit kesal.

          "Huh", ayahnya mendesah pelan, "Jika itu maumu, Ayah tidak akan menganggapmu sebagai anak ayah lagi. Pergi dari rumah ini, cari kehidupan yang kamu mau itu, sekarang !", titah Ayahnya yang sudah muak dan kesal sedari tadi melihat tingkah laku anaknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline