Lihat ke Halaman Asli

Dodi Putra Tanjung

Penggiat Sosial

Pesta Demokrasi Segera Tiba, Bercermin ke Masa Lalu untuk Masa Depan Lubuk Kilangan

Diperbarui: 16 Juni 2023   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: Galeri Dodi Tanjung

Oleh: Dodi Putra Tanjung

Tak terasa beberapa bulan lagi pesta Demokrasi akan segera digelar, 8 bulan lagi dari hari ini. Pemilihan umum eksekutif dan legislatif yang akan menentukan arah Bangsa ini kedepan.

Dari kota sampai pelosok desa, dari pesisir pantai sampai lereng pegunungan, semua masyarakat punya hak yang sama menentukan hak pilih mereka, mau pejabat atau rakyat, mau kaya atau miskin, semua punya nilai suara yang sama berharga. Walau itu hanya sekali 5 tahun, namun dalam masa itu pula suara rakyat ada harganya.

Melihat ke Lubuk Kilangan pada periode lalu dan sebelumnya, dimana dalam pesta Demokrasi ini Lubuk Kilangan bergabung bersama Lubuk Begalung dan Bungus dalam Daerah Pemilihan (DAPIL) yang sama. Dari 10 kursi yang tersedia, Lubuk Kilangan meraih 4 kursi, cukup baik sebenarnya. Nyaris 3 kursi, namun pada akhir penghitungan masih bisa mendapat 4 kursi. 6 kursi dari Lubeg dan Bungus tidak mendapat kursi sama sekali, walau banyak caleg potensial dari wilayah itu namun kalah oleh "serangan" caleg dari luar wilayah mereka.

Ini juga yang terjadi di Lubuk Kilangan Kota Padang ketika itu, caleg dari luar wilayah Luki yang tidak dikenal di Luki, yang tidak pernah terlibat dengan persoalan Luki, ternyata mendapat suara yang cukup besar d Luki, padahal mereka tak sekalipun menginjak tanah Luki, selain orang-orang mereka yang berkeliaran. Begitupula ketika mereka berhasil duduk di Sawahan, tak ada pula mereka yang mau tahu dengan masyarakat dan persoalaan yang ada di LUKI kecuali untuk "orang-orangnya" bisa saja mereka saling memperhatikan.

Pengalaman penulis, ketika mengikuti penghitungan suara di kecamatan, ada seorang caleg DPRD kota yang terpilih mendapat suara yang cukup banyak di salahsatu kelurahan di LUKI, yang bersangkutan malah bertanya dimana lokasi kelurahan tersebut, kan aneh, dia dapat suara tapi tak tahu dimana daerahnya. Alhasil setelah duduk pun dia tak pernah memperhatikan lagi di tempat dia mendapat suara tadi.

Itulah ironi yang terjadi, mungkin sekali lagi mungkin, ada buah tangan yang dia titip ke orang-orangnya buat masyarakat Luki "ketika itu". Sehingga dia mendapat dukungan walau berasal dari luar Luki. Harusnya  Luki bisa dapat 5 kursi akhirnya hanya 4 kursi.

Begitupun tingkat provinsi, beberapa orang Caleg provinsi saat ini juga mendapat suara yang besar di Luki pada 2019 lalu, namun setelah duduk jangankan memperhatikan Luki dengan programnya, singgah menyapa pun tak ada. Bahkan seperti orang tak kenal dengan Luki, sehingga orang Luki tidak bisa mengadukan masalah Luki yang kompleks ini kepada mereka, istilahnya tak bisa di harok. Bukan salah mereka juga sebenarnya, karena kita yang membawa dan memberi kesempatan pada mereka, sementara ada sosok yang punya kaitan darah dengan Luki pada ketika itu yang paham permasalahan Luki tapi kurang mendapat perhatian dari orang Luki sendiri. Alhasil karena yang terpilih bukan orang Luki, tidak ada kaitan dengan Luki, ya tentu mereka "tidak punya rasa" terhadap Luki. Wajar saja itu.

Sekarang, untuk 2024, Dapil telah berubah, Luki bergabung dengan Pauh, hanya tersedia 6 kursi. Total caleg DPRD Kota Padang dari Dapil Luki-Pauh 108 orang, dengan domisili caleg 81 orang di Pauh, 27 orang di LUKI, dengan total suara pemilih berimbang, Luki 41 ribuan, Pauh 43 ribuan. Tentu ada "ruang suara" yang besar di Luki mengingat caleg Luki yang hanya  27 orang. Pun untuk Caleg DPRD Provinsi, hanya satu orang yang maju dari Luki, putra Luki pula. Melawan ratusan orang Caleg Provinsi Dapil Padang.

Jadi bersiaplah masyarakat Luki untuk "dibombardir". Tapi kalau "mancaliak contoh ka nan sudah, maambiak tuah ka nan manang (Melihat kondisi yang sudah terjadi, mengambil hikmah kepada yang menang)", semua  berpulang ke orang Luki apakah masih mau "mancaliak nan dek urang, samantaro nan dek awak ado pulo (melihat punya orang, sementara kita punya pula yang lebih baik)".

Jika kebiasaan sebagian besar mereka yang tidak dikenal datang membawa buah tangan dan iming-iming,  sepertinya kita selaku Masyarakat Luki (pemilih), juga harus merubah kebiasaan kita ketika menghadapi masa pemilu yang akan datang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline