Lihat ke Halaman Asli

Dodi Kurniawan

Simplex veri sigillum

Purwokerto, Kota Istimewa bagi Si Sulung

Diperbarui: 13 Agustus 2024   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota Purwokerto (Sumber gambar: KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO)

Saat anak saya yang pertama, Sabeela al-Rahman, berusia tiga bulanan kami sekeluarga berkesempatan mengunjungi kota Purwokerto.

18 tahun kemudian, pada tahun 2023, si sulung lolos diterima di salah satu prodi di Unsoed. Hanya saja, ia urung untuk mengambil prodi tersebut. Ia memilih prodi yang sama hanya di PTN lain.

Tahun ini, 2024, si sulung kembali diterima di Unsoed yang kemudian ia ambil sebagai jalan kelanjutan studinya. Purwokerto seakan ditakdirkan untuk dirinya. 

Kembali, kami sekeluarga mendapat kesempatan lagi untuk berkunjung ke Kota Satria ini. Keadaan kota sudah banyak berubah. Zaman benar-benar telah mengubah wajahnya. Namun, satu hal yang sama: anak, ibu dan bapak kembali bertandang. 

Sementara anak saya yang bungsu, seakan ditakdirkan untuk berhalangan ikut serta sehingga jumlah anggota keluarga yang datang ke Purwokerto pun tetap tiga orang seperti 19 tahun sebelumnya.

Persis seperti kala pertama kalinya. Hanya saja tambahan di luar keluarga inti adalah nenek, uwak dan seorang sepupu yang juga merupakan alumni Unsoed.

Selesai mengurus berbagai persiapan kos, maba dan lainnya, waktu untuk berpisah dengan si sulung tiba. Ia menyalami ibunya, satu per satu dari kami. Saat akan berpisah, sejenak ia melepaskan pandangan ke arah lain. 

Saya tahu persis. Ia menangis. Ia dan adiknya termasuk yang pandai menyembunyikan air mata. Tidak seperti Bapak mereka yang mudah turun tangis.

Kendati demikian, saya mendidik mereka untuk tidak menangis karena derita. "Air mata layak kita teteskan untuk hal-hal yang lebih dari sekedar derita," begitu saya bernasehat.

Tetapi saat rombongan kami bergerak meninggalkan si sulung yang berdiri di depan pintu kosannya, pandangan saya memburam oleh linangan air mata di pelupuk. 

Saya berusaha keras untuk tidak termasuk penganut madzhab do-as I-not-as-I-do-isme. Namun, selalu tidak mudah untuk menahan tangis ternyata. Dan sama sekali tidak bermaksud apologetis, memburamnya pandangan saya tersebut bukan karena derita melainkan lebih kepada ungkapan sayang seorang Bapak - terlebih kepada anak perempuan - yang segera akan ia tinggalkan. Seketika terlintas dalam benak sebuah kisah bersejarah tentang tiga sosok agung. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline