"Telah Terjadi gempa bumi dengan kekuatan: 6.5 SR, 116 km Barat Daya GARUT-JABAR, waktu gempa: 27-Apr-24 23:29:47 WIB, Gempa ini tidak berpotensi TSUNAMI." Rilis BMKG Indonesia beberapa saat pasca gempa tengah malam tadi.
Seisi rumah berhamburan ke luar. Insting penyelamatan diri secara sistemik dalam otak mengusir kantuk. Saya sendiri yang sejak sore hari didera sakit perut, agak sedikit lebih beruntung. Derita sakit perut membuat tidur tidak terlalu lelap sehingga memudahkan untuk terjaga. Gempa dengan kekuatan 6.5 SR tadi malam yang berlangsung kurang lebih 15 detik diikuti pemadaman listrik. Suasana pun semakin dramatis.
Gempa identik dengan nama Richtrer yang dijadikan skala magnitudo atau besar kecilnya gempa. Adalah Charles Francis Richter (1900-1985) seorang ahli seismologi dari Amerika Serikat yang darinya skala ini diambil. Menurut Wiki, Richter mengembangkan skala untuk mengukur kekuatan gempa bumi pada tahun 1935. Sebenarnya ia bukanlah yang pertama melakukan itu. De Rossi sudah melakukannya pada tahun 1880-an dan Giuseppe Mercalli pada tahun 1902. Hanya saja kedua pendahulunya tersebut masih menggunakan skala kualitatif berdasarkan tingkat kerusakan bangunan setelah terjadi gempa bumi. Sementara Richter menekankan pada besar atau kecilnya kekuatan gempa. Pada tahun 1954 Richter dan Gutenberg mengarang satu buku acuan dalam bidang seismologi berjudul, Seismicity of the Earth (Kegempaan di Bumi).
Sebagai orang Sunda, saya mengenal gempa dengan sebutan lini atau lindu. Nampaknya lini merupakan bentuk perubahan dari kata lindu. Kata lindu dapat kita temukan pada ungkapan Sunda moal unggut kalinduan moal gedag kaanginan (tidak akan goyah karena gempa, tidak akan bergerak karena angin). Sebuah ungkapan yang menggambarkan keteguhan tekad. Dan tentang gempa ini, samar-samar saya mengingat sebuah dongeng tentang asal mula terjadinya gempa. Saat SD dulu, kalau tidak keliru ingat, saya membaca dongeng ini dalam salah satu jilid buku Taman Pamekar - sebuah buku bacaan berbahasa Sunda yang berisi etika dan budaya.
Konon, bola Bumi berada di atas tanduk seekor sapi raksasa yang berdiri di atas punggung seekor ikan paus. Kalau ikan paus atau sapi itu bergerak, Bumi pun berguncang. Kadang sapi itu sengaja bergoyang untuk mengetahui apakah bumi masih ada penghuninya ataukah tidak. Untuk itu, menurut dongeng tersebut, bila terjadi gempa maka kita harus berteriak: "Aya, aya, aya - ada, ada, ada!" Maksudnya agar sapi tahu bahwa di atas Bumi yang berada di ujung tanduknya masih ada (banyak) manusia.
Gambaran filmis dari adegan sapi 'ngobrol' dengan ikan paus saat mereka merasa bosan menanggung Bumi di atas tanduk dan punggungnya begitu menggoda imajinasi. Pada fase usia tersebut, kosmologi belumlah saya akrabi. Hanya saja waktu itu sebuah simpulan sederhana berbau naif terbetik bahwa manusia dan hewan berbicara dalam satu bahasa. Buktinya sapi dan ikan paus dapat saling berkomunikasi. Bukan itu saja, sapi pun memahami saat manusia berteriak 'ada, ada, ada'. Hehehe
Kisah-Kisah Israiliyyat
Saya yang masih kecil saat itu tidaklah sendirian dalam kenaifan. Nenek-nenek yang dikisahkan oleh Stephen Hawking dalam A Brief History of Time juga meyakini bila bumi berada di punggung seekor kura-kura raksasa. Kutipan lengkapnya sebagai berikut:
"A well-known scientist (some say it was Bertrand Russell) once gave a public lecture on astronomy. He described how the earth orbits around the sun and how the sun, in turn, orbits around the center of a vast collection of stars called our galaxy. At the end of the lecture, a little old lady at the back of the room got up and said: 'What you have told us is rubbish. The world is really a flat plate supported on the back of a giant tortoise.' The scientist gave a superior smile before replying, 'What is the tortoise standing on.' 'You're very clever, young man, very clever,' said the old lady. 'But it's turtles all the way down!'"
Bila saya (agak mendingan) saat membaca bahwa sapi berada di punggung ikan paus -- yang nampaknya berenang di atas samudera, maka nenek yang dengan gagahnya berdebat dengan Bertrand Russell lebih ekstrem lagi: Bumi berada tepat di atas puncak menara kura-kura.