Selasa, pekan kedua Juni ini, hujan membasahi bumi Wanasigra---sebuah kampung di desa Tenjowaringin yang berada tepat di perbatasan Tasikmalaya-Garut. Suhu di pagi hari pun turun drastis. Lebih dingin dari biasanya.
Menurut beberapa sumber, Wanasigra berarti hutan yang sigrong (besar atau agung dalam bahasa Sunda). Sebuah sebutan yang bersifat propethic (uga) bahwa kampung ini akan bertumbuh dengan semarak. Berdirinya SMA Al-Wahid di kampung Wanasigra pada tahun 2000 merupakan salah satu dari semarak yang diugakan tadi.
Hujan yang turun nyaris selama tiga hari, meskipun tidak sederas hujan bulan Desember, selain membuat Wanasigra lebih dingin juga menghilangkan panorama indah penampakan gunung Cikuray yang menjulang tinggi di arah Baratnya. Sudut pandang membarat ke arah gunung Cikuray dari kampung ini diabadikan menjadi nama satu tempat di gerbang kampung, Cikuray. Panorama inilah yang hilang. Setidaknya dalam tiga hari terakhir.
Ada suasana sendu setiap hujan turun. Puisi karya Sapardi Djoko Damono, Hujan di Bulan Juni langsung terngiang kembali dalam ingatan.
"Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan di bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu."
Sapardi Djoko Damono, tulis Lutfy Mairizal Putra dalam Merenungi Hujan di Bulan Juni, mungkin tak pernah mengira salah satu puisinya akan menjadi nyata. Suatu hari pada 1989, akademisi cum sastrawan itu menulis puisi sendu berjudul Hujan Bulan Juni. Sapardi menggunakan metafora "hujan bulan Juni" untuk menggambarkan cinta yang tak sampai, persembahan, pengorbanan, dan penantian dalam diam menghayati rindu yang malu-malu.
Sembari menantikan anak-anak didik yang sedang berkutat dengan soal Penilaian Sumatif Akhir Tahun (PSAT), saya mencoba untuk menuangkan apa dalam benak berkenaan dengan bulan yang turun bukan pada musimnya. "Jika dibandingkan terhadap normal (periode 1991-2020), Awal Musim Kemarau 2023 di sebagian besar daerah yaitu 289 ZOM (41,34%) diprakirakan maju, sedangkan wilayah lainnya diprakirakan sama terhadap normal yaitu sebanyak 200 ZOM (28,61%) dan mundur terhadap normal yaitu sebanyak 95 ZOM (13,59%)," papar Kukuh Prasetyaningtyas dari BMKG.
Puncak Musim Kemarau 2023, menurut Kukuh Prasetyaningtyas, di sebagian besar wilayah diprakirakan terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2023 sebanyak 507 ZOM (72,53%). Jika dibandingkan terhadap normal, Puncak Musim Kemarau 2023 di sebagian besar daerah yaitu 402 ZOM (57,51%) diprakirakan sama, sedangkan wilayah lainnya diprakirakan maju terhadap normal yaitu sebanyak 185 ZOM (26,47%) dan mundur terhadap normal yaitu sebanyak 112 ZOM (16,02%). Jadi seharusnya Juni ini tak berhujan bila merujuk kepada penjelasan Kukuh.