Pada bulan Rajab, 36 H (Januari 657), Khalifah Ali bin Abi Thalib ra memutuskan untuk memindahkan ibu kota pemeritahan Islam dari Medinah di Hijaz ke Kufah di Iraq. Peristiwa ini terjadi sekitar tujuh bulan pertama masa kekhalifahan beliau. Sayyid Ali Asghar Razwy dalam bukunya A Restatement of the History of Islam and Muslims menuliskan sebab-sebab pemindahan ibu kota tersebut.
Pertama, Ketika Ali bin Abi Thalib ra menjadi khalifah, pusat kota penting Islam adalah Damaskus di Suriah, Makkah dan Madinah di Hijaz, serta Basra dan Kufah di Irak.
Kedua, Madinah adalah tempat lahir budaya dan peradaban Islam. Cara hidup yang benar-benar Islami hanya dapat dilihat di Madinah. Peperangan dan penaklukan asing telah membawa orang-orang dari berbagai budaya dalam kekuasaan Islam. Jika Medinah juga tetap menjadi ibu kota politik dan administratif pemerintahan, karena itu adalah ibu kota spiritual, maka orang-orang asing, dengan budaya asing dan latar belakang yang tidak Islami, akan datang untuk tinggal di dalamnya.
Mereka akan membawa adat istiadat, kebiasaan, tata krama, tradisi, dan praktik keagamaan mereka sendiri. Dengan melakukan itu, mereka akan mendominasi budaya Islam murni atau mereka akan melunturkannya. Bagaimanapun, Islam yang murni akan selalu terpapar pengaruh asing.
Kedua alasan ini, Razwy menyebut alasan pertama sebagai pragmatis dan yang kedua, idealis.
Persia dan Tsurayya
Saya, bukan sejarawan hanya saja berdasarkan kepada intuisi atas bacaan hadits-hadits tentang kondisi akhir zaman, saat umat Islam terpuruk dalam keimanannya, hadits mengisyarahkan juru selamat dari kalangan Persia. Seperti misalnya, hadits Muslim berikut ini:
Redaksi dalam tanda kutip berarti: "Apabila iman [sudah terbang] ke [bintang] Tsurayya, maka akan dikembalikan oleh beberapa orang dari [kalangan] mereka." (Sahih Muslim 2546b)
Dari hadits di atas diketahui bahwa yang Rasulullah saw maksudkan adalah dari kalangan bangsa Persia sebab sahabat Salman ra berasal dari Persia.