(Masih) Tentang Ramadan Ini
Sebulan lalu, Rabu ini adalah hari keempat Ramadan 1443 H. Demi mengenang tamu agung yang hari ini telah meninggalkan kita tiga hari lalu, sebagian dari kita berpuasa selama 6 hari di bulan Syawwal. Menurut sebuah sabda Nabi saw, hal itu setara dengan berpuasa selama satu tahun lamanya. Ramadan tahun ini hanya 29 hari. Kebanyakan Ramadan konon sebanyak itu hari-harinya.
Saat Ramadan akan menjelang, saya berniat untuk membuat catatan---dan umumnya bersifat naratif-diarial---tentang apa yang terbetik dalam benak saat menjalani hari-hari Ramadan. Satu hari satu catatan. Sangat boleh jadi tulisan-tulisan itu nanti ternyata tidak berkontribusi banyak dalam dunia literasi. Tetapi mengapa pula saya harus merasa sepenting itu?
Saya menulis. Itu saja. Dari satu hari sebelum dan sesudah Ramadan lalu ditambah sebanyak hari yang dijalani di dalamnya maka terkumpullah 31 buah catatan.
Sebuah Resonansi
Saya berusaha mengapresiasi diri sebagai langkah awal untuk bisa mengapresiasi diri-diri yang lainnya. Bagaimana saya bisa berkoeksistensi dengan yang lainnya bila bahkan eksistensi diri saja tidak disadari. Kita hanya bisa memberikan apa yang kita punyai. Adalah kemustahilan untuk berbagi kebahagiaan, misalnya, sementara kita tidak memilikinya. Apa yang bisa dibagikan?
Ini sama sekali bukan tentang egosentris atau narsisme diri. Ini tentang memaknai 'ada' untuk 'berada' dalam 'keberadaan'. Semua catatan yang saya buat merupakan resonansi gagasan dan pemikiran sebagai buah dari keberadaan yang lainnya. Saya mengambilnya dari Palette fo Being (Palet Keberadaan) di semesta ini. Tidak ada yang betul-betul baru dalam semesta kehidupan kita. Kita terhubung satu sama lainnya. Demikian saya beresonansi dalam gagasan pemikiran seorang Tom Chi.
Apakah saya puas dengan apa yang saya tuliskan? Beberapa ya, beberapa tidak. Kutipkan kata-kata Tommy Emmanuel berikut terasa sangat pas mewakili jawaban atas pertanyaan ini.
"One day you pick up the guitar and you feel like a great master, and the next day you feel like a fool. It's because we're different every day, but the guitar is always the same...beautiful."
Saat itu Tommy berfilsafat tentang keindahan guitar sebagai salah satu instrumen yang membuatnya menjadi salah satu syaikh dalam dunia perguitaran. Saya coba ambil sarinya selaras dengan apa yang menjadi materi tulisan ini, "[Adakalanya] satu hari kita punya ide untuk dituliskan dan kita merasa seperti halnya seorang pujangga, sementara hari berikutnya kita merasa layaknya seorang pandir. Itu semua karena kita berbeda setiap harinya, sementara ide (baca: bahan tulisan) itu selalu sama....indah."