Ribut-Ribut Asap Pembakaran Tebu Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), bulan Oktober di Indonesia khususnya di Pulau Jawa masih memasuki musim kemarau, sehingga cuaca panas dan terasa kering akan terus terjadi setidaknya sampai akhir bulan, padahal seharusnya Oktober sudah mulai turun hujan .
Meski fenomena kemarau yang tak lazim ini sudah disuarakan, tetap saja ada oknum-oknum yang menganggu kesyahduan musim kemarau seperti oknum petani tebu. Oknum-oknum petani tebu yang ngeyel mencoba mengganggu kesyahduan musim kemarau dengan membakar panen tebu tanpa memperdulikan orang lain yang mencoba mendramatisir penderitaannya di musim kemarau.
Memang pembakaran tebunya tidak dilakukan disiang hari bolong, melainkan sore hari menjelang maghrib tiba hingga larut malam. Bagi anak senja momen ini mungkin sakral karena mengkolaborasikan warna jingga mentari dan warna merah api yang membara. Cocok sebagai tempat nongkrong dan ngopi senja.
Tetap saja, pembakaran tebu tidak bisa dinormalisasi sebagai kegiatan yang biasa-biasa saja, meski tiap tahunnya terjadi. Entah, sudah berapa banyak keributan yang terjadi sebagai dampak pembakaran tebu yang kian tak terkendali.
Di Jombang, fenomena ini sering terjadi saat musim panen tebu di bulan Juli hingga Oktober di setiap tahunnya, jika ingin menyaksikan aurora jingga di malam hari, datang saja ke Jombang di bulan-bulan itu pasti mengasyikkan. Ketahuilah, dampak dari pembakaran tebu, tak semanis air tebu.
Bayi Sesak Nafas Hingga Hampir Menjemput Ajal
Ini bukan cerita drama atau sinetron azab, ini memang cerita sesungguhnya dari dampak pembakaran tebu. Di suatu desa di Jombang, yang dihimpit oleh perkebunan tebu yang luas, tinggallah keluarga kecil yang sedang bahagia-bahagianya dikaruniai buah hati.
Namun, kebahagiaan itu seketika menjadi tangisan histeris, si buah hati mengalami sesak nafas dan hampir saja meninggal. Menurut penuturan warga, malam itu di kampungnya memang sedang dikepung asap pembakaran tebu. Di langit kobaran api cukup besar terlihat seperti aurora jingga yang ada di antartika.
" Apinya berkobar-kobar, asapnya buat sesak nafas, saya saja yang dewasa gak kuat apalagi yang masih bayi" ujar Pak Haji Jono, salah satu tokoh masyarakat di kampungnya.
Pembakaran tebu selalu terjadi disetiap tahunnya, masyarakat tidak dapat berbuat banyak, karena konon katanya pembakaran tebu dilakukan oleh oknum-oknum petani tebu yang bermodal gede selain itu petani tebu disinyalir tidak memiliki alternatif cara lain untuk memanen tebunya agar cepat dan murah selain dibakar.
Padahal pembakaran tebu, tidak cukup baik untuk kesehatan, dapat menyebabkan gangguan Inspeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) semacam asma bagi golongan-golongan sensitif seperti Balita dan Lansia.
Asap Pembakaran Tebu Nyaris Membakar Rumah-Rumah Warga
Tak seperti aurora di Antartika yang justru mengundang detak kagum karena keindahannya, disini jingganya asap pembakaran tebu justru mengundang bentrokan antar kampung.