Lihat ke Halaman Asli

Dodik Suprayogi

Independen

Cultuurstelsel, di Balik Alasan Belanda Memilih Tebu dan Kopi Bukan Sagu atau Padi

Diperbarui: 6 Maret 2023   11:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembukaan perkebunan di kawasan Priangan sekitar tahun 1907-1937. (National Museum van Wereldculturen (TM 10024157) )

" Van den Bosch mengenalkan gagasan sistem tanam paksa yang kemudian terkenal dengan nama Cultuurstelsel  (Kartodirjo dan Suryo, 1991: 53) "

Motif utama cultuurstelsel atau sistem tanam paksa yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia pada tahun 1830 dilatar belakangi oleh kondisi keuangan khas negara Belanda yang defisit dan menyebabkan hutang negara yang cukup besar.

Hal ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu kekalahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830).

Selain itu kegagalan Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebelumnya yaitu Thomas Stamford Raffles (1811-1816)  untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang gagal lewat kebijakan sistem sewa tanah (landrente). Faktor dalam negeri Belanda adalah terjadinya perang Napoleon serta isolasi ekonomi yang terjadi saat itu.

Sehingga Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal barunya yaitu Van Den Bosch mencetuskan gagasan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di wilayah jajahannya seperti Indonesia untuk mendukung memulihkan keuangan negara Belanda.

Sistem tanam paksa di Indonesia memiliki ciri-ciri yaitu keharusan setiap desa untuk menyisihkan 20% luas tanahnya untuk ditanami komoditi-komiditi ekspor seperti tebu, kopi, kina dan teh.

Hasil panen tanaman tersebut dijual ke Pemerintah Hindia Belanda dengan harga yang telah ditentukan. Jika hasil penjualan panen tersebut melebihi jumlah pajak yang harus dibayarkan desa ke Pemerintah Belanda, maka kelebihan tersebut akan dikembalikan ke desa sebagai khas desa, namun jika kurang dari jumlah pajak yang harus dibayar desa, maka desa wajib membayarnya dari sumber-sumber yang lain.

Tidak hanya itu, bagi warga yang tidak memiliki tanah maka wajib bekerja di 20% kebun-kebun milik Belanda selama 75 hari dalam setahun. Aturan-aturan terkait pelaksanaan sistem tanam paksa termuat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22.

Awalnya, cuulturstalsel secara harfiah dimaknai sebagai kebijakan budidaya tanaman terutama tanaman ekspor untuk diperdagangkan di Eropa. Namun, secara pelaksanaan, cuulturstalsel dimaknai sebagai sistem tanam paksa tidak terbatas pada ekonomi saja, melainkan juga sosial politiknya sehingga sangat menyengsarakan rakyat.

Kewajiban Rakyat Menanam 150 Batang Kopi

Pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia era Kolonialisme Belanda terjadi dalam periode tahun 1830 hingga 1870. Selama itu rakyat Indonesia hidup dalam penderitaan penjajahan hasil pertanian oleh Belanda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline