Sudah hampir satu tahun lamanya saya bertugas di Indramayu. Kabupaten yang dikenal sebagai salah satu lumbung padi nasional.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi gabah kering giling (GKG) Kabupaten Indramayu pada tahun 2022 mencapai 1,499 juta ton, menjadikannya sebagai penghasil gabah kering giling (GKG) tertinggi nomor 1 di Indonesia.
Prestasi tersebut memang layak disandang, karena Indramayu didukung oleh sumber daya-sumber daya pertanian yang handal. Selain faktor cuaca dan sarana produksi pertanian yang memadai.
Salah satu komunitas swadaya yang berperan dalam memajukan pertanian Indramayu adalah Perkumpulan Petani Tanggap Perubahan Iklim (P2TPI).
Perkumpulan petani pengukur curah hujan yang sudah berdiri sejak tahun 2009 dengan pendampingan dari Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Prof. Dr. Yunita Triwardani Winarto atau akrab dipanggil Prof Yunita.
Meski usia tak lagi muda dan pendidikan rata-rata setara dengan sekolah menengah atas, bukan berarti petani-petani tersebut enggan untuk belajar dan berpikir ilmiah. Semangat untuk belajar dan mempraktikkan agroklimatologi cukup tinggi yang patut untuk terus dicontoh.
Bagi mereka aktivitas mengukur curah hujan menggunakan alat penakar hujan Observatorium (OBS) atau lebih dikenal sebagai ombrometer sudah tidak asing lagi.
Melakukan pengamatan cuaca setiap hari dan mencatatnya kemudian melakukan penarikan kesimpulan dari data-data tersebut untuk digunakan sebagai evaluasi bulanan dampak cuaca terutama curah hujan terhadap tanaman kususnya padi.
Meski dunia sudah semakin canggih, BMKG pun sudah membuat semacam ramalan cuaca, namun mereka berpedoman bahwa cuaca adalah hasil pengamatan ilmiah yang dilakukan setiap hari.