Oleh : Dodi Faedlulloh
Avant Propos
Konstitusi negara telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Adalah suatu keniscayaan bila negara harus bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan bagi rakyatnya. Namun ternyata apa yang telah menjadi amanah tersebut kini seakan dilupakan. Berbagai macam permasalahan pendidikan terus bertumpuk, semakin hari semakin membesar dan menjadi sulit untuk diselesaikan.
Membincangkan masalah pendidikan di Indonesia memang sangat complicated. Bak benang kusut, butuh kesabaran dan kejelian untuk kembali meluruskannya. Dari hal kualitas, fasilitas, akses sampai bentuk komersialisasi pendidikan menjadi menu utama yang disajikan dalam daftar rincian masalah. Pendidikan telah menjelma menjadi komoditas, diperjualbelikan yang terpampang di etalase ekslusif ‘mall pendidikan’ bernama sekolah ataupun perguruan tinggi.
Pendidikan sejatinya bersifat egaliter yang membuka ruang seluas-luasnya bagi semua orang. Tapi kini filosofi pendidikan sudah terdistorsi, berubah menjadi elitis. Tengokt saja, hari ini sekolah-sekolah terfragmentasi, cendrung deskriminatif, semacam ada kelas-kelas tertentu. Ada ‘kelas ekonomi’ untuk orang-orang yang tidak mampu, kemudian ‘kelas VIP’ khusus bagi orang-orang yang memiliki duit lebih. Keadaan demikian pun berlaku di perguruan tinggi, bahkan lebih ganas, karena pasca BHP ditolak, pemerintah masih terus memperlihatkan geliat-geliatnya untuk kembali berlaku sama : lepas dari tanggung jawab. Sebuah kelucuan yang sama sekali tidak bisa ditertawakan.
Bertahun-tahun pendidikan di Indonesia terselenggara, tambal-sulam pun terjadi untuk memperbaiki mutu pelayanan pendidikan, akan tetapi sama sekali langkah yang diperbuat oleh pemerintah tidak sampai merubah substansi yang ada. Pendidikan masih begitu-begitu saja, begitu pula permasalahan-permasalahannya.
Problematika
Wajah pendidikan di Indonesia terlalu suram untuk diceritakan. Pendidikan tak ubahnya komoditas menarik yang diperjual-belikan oleh segelintir pihak. Hanya mereka yang mampu yang bisa mendapat akses pendidikan. Bila menyebut akar permasalahannya adalah neoliberal, penulis 100 persen sepakat. Negara sudah benar-benar alfa, negara tidak mau lagi menyelenggarakan pendidikan secara terencana. Mekanisme pasar menjadi jalan satu-satunya dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Pendidikan yang diasuh secara neoliberal ini berdampak luas, selain memarjinalkan kaum miskin, secara tidak langsung malah semakin mendistorsi makna pendidikan secara filosofis. Karena pendidikan sudah dianggap sebagai barang dagangan semata, akhirnya orang-orang mulai melupakan secara perlahan tentang esensi dari pendidikan itu sendiri.
Presiden pertama, Soekarno pernah berkomentar tentang gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara. Esensi dari pendidikan ala Ki Hajar Dewantara adalah membangkitkan semangat perjuangan dan meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pendidikan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi mendatang.
Melihat situasi riil, harapan Ki Hajar Dewantara bak jauh panggang dari api. Orientasi pendidikan nasional telah melenceng jauh dari garis perjuangan. Pendidikan tidak lagi bersifat membebaskan, malah menjadi penyubur lahan neoliberalisasi. Generasi yang progresifi yang diharapakan Ki Hajar Dewantara malah menjadi tumpul karena pendidikan memang diproyeksikan untuk menjadikan para siswa untuk sekedar menjadi robot-robot yang tunduk terhadap hegemoni kapitalisme, sekedar mampu melayani akumulasi profit dan penyedia tenaga kerja murah untuk industri kapitalis. Ironis.
Sistem pendidikan Indonesia semakin salah kaprah saja. Misal kurikulum yang terus menurus berganti namun tanpa arah yang jelas, serta sistem yang mengutamakan efisiensi dan pemadatan materi malah semakin menyiksa para siswa. Tidak ada kesempatan bagi para siswa untuk mengembangkan nalar, berkarya, dan berimajinasi. Siswa harus tunduk, A ya A, tidak ada pilihan lain.