Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa memiliki keistimewaan yakni eksistensi Kerajaan (Kesultanan) yang masih berdiri hingga hari ini. Terletak di pusat kota Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat sebuah istana megah yang menjadi salah satu simbol kota Yogyakarta, yaitu Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Keraton Yogyakarta. Tidak hanya sekedar sebagai sebuah simbol, dengan tradisi dan budayanya Keraton Kesultanan Yogyakarta terus memberikan ruh pada kota serta kehidupan masyarakatnya hingga hari ini.
Melintasi abad, Keraton Kesultanan Yogyakarta masih berdiri kokoh hingga hari ini yang seiring dengan perjalanan waktu dan kisah pasang surutnya telah menunjukkan jati dirinya dalam menentang dan melawan penjajahan kolonial. Keraton Yogyakarta yang megah tidak hanya sekedar bangunan fisik saja, namun banyak mosaik sejarah, termasuk sejarah bangsa ini yang bisa dirangkai dari tempat ini.
Keraton Yogyakarta merupakan kediaman resmi Sultan dan juga merupakan situs cagar budaya . Beberapa bagiannya dibuka untuk wisatawan, pada masa-masa liburan kawasan Keraton Yogyakarta selalu dipadati oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Saat ini Sri Sultan Hamengku Buwono X (catatan dari situs resmi kratonjogja.id : saat ini ada perubahan nama penyebutan untuk Sultan saat ini menjadi: Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10) bertakhta sebagai Raja di Keraton Yogyakarta. Beliau juga menjabat sebagai Kepala Daerah atau Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berikut adalah 5 Hal Tentang Keraton Kesultanan Yogyakarta & Kisah Sejarah Besarnya:
1. Kesultanan Yogyakarta adalah salah satu pewaris dan penerus Kerajaan Mataram Islam
Sejarah panjang Kesultanan Yogyakarta tidak dapat dipisahkan dari salah satu kerajaan besar di Tanah Jawa yakni: Kerajaan Mataram Islam yang telah berdiri pada sekitar abad ke-16 dan berpusat di Kota Gede sebelum pindah ke beberapa lokasi. Sumber sejarah menceritakan, Kerajaan Mataram Islam mencapai masa kejayaannya ketika Raden Mas Rangsang yang kelak akan bergelar sebagai Sultan Agung naik takhta menjadi Raja Mataram pada tahun 1613. Selama periode kekuasaannya dari tahun 1613 hingga tahun 1645, Sultan Agung berhasil membawa Kerajaan Mataram kepada masa keemasannya dan menjadikannya sebagai salah satu kerajaan terbesar dan terkuat di Tanah Jawa dan juga bumi Nusantara.
Sultan Agung dikenal sebagai Raja yang tidak suka dengan pihak VOC yang dianggapnya sebagai penjajah yang sangat licik dan penuh kecurangan. Sebagaimana dituliskan dalam buku Tempat-tempat bersejarah di Jakarta karya A. Heuken SJ ( 1997:38-39), ketidaksukaannya kepada penjajah kolonial tersebut diperlihatkan Sultan Agung dengan dua kali menyerang VOC di Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Kedua serangan tersebut belum berhasil mengusir penjajah asing karena kurangnya logistik pasukan dan jauhnya jarak Jawa Tengah dan Batavia yang menguras tenaga pasukan Mataram. Sultan Agung dari Kerajaan Mataram dianugerahi gelar Pahlawan Nasional karena kegigihannya dalam melawan penjajah kolonial.
Ketika Sultan Agung menyerang Batavia, Gubernur Jenderal Hindia Belanda dijabat oleh Jan Pieterszoon Coen, sang pendiri Batavia sendiri. Pada tahun 1629 Jan Pieterszoon Coen meninggal di Batavia karena terkena wabah kolera yang menurut beberapa sumber disebabkan karena pencemaran Sungai Ciliwung yang dilakukan oleh para tentara Mataram.
Meski kedua serangan tersebut belum berhasil mengusir penjajah asing namun hal tersebut menjadi inspirasi bagi generasi penerusnya untuk menentang penjajahan kolonial, salah satunya adalah perlawanan yang dilakukan Pangeran Mangkubumi yang kelak akan mendirikan Kesultanan Yogyakarta setelah ditandatanganinya perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi 2 bagian. Pangeran Mangkubumi bergelar sebagai Sultan Hamengku Buwono I ketika menjadi raja pertama di Kesultanan Yogyakarta. Perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap Kumpeni Belanda menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi pihak Kumpeni Belanda.