"Apakah dunia mengharapkan kami menjadi korban yang berperilaku sopan sementara kami terbunuh? Agar kami dibantai tanpa bersuara?"
Pertanyaan tajam itu disampaikan pemimpin Hamas Yahya Sinwar ketika diwawancara jurnalis suatu ketika. Lelaki yang memiliki nama lengkap Yahya Ibrahim Al-Sinwar gugur di medan laga Kamis 17 Oktober 2024.. Tak seperti yang digembar-gemborkan rezim Zionis lewat media yang menarasikan Sinwar sembunyi di bawah tanah dan menggunakan tameng manusia untuk melindunginya. Pria kelahiran tahun 1962 itu ikut memanggul senjata dan berada di garis depan pertempuran. Ia gugur sebagai pejuang.
Video terakhir yang disebarkan tentara Israel di media sosial X memperlihatkan perjuangan ayah tiga anak itu. Sambil duduk terluka dan wajah ditutup kain Sinwar melempar kayu mengusir drone yang mengambil gambar dirinya. Alih-alih menjadikannya bahan ejekan video tersebut menjadi inspirasi bukti kegigihan Sinwar hingga hembusan nafas terakhir. Pemilik rumah tempat Siwar gugur pun merasa mendapat kehormatan karena rumahnya menjadi tempat terakhir sang martir.
Sebagai seorang penjuang, kehidupan Yahya Sinwar boleh dikatakan kumplit. Bagaimana tidak sejak usia muda ia menjadi aktivis. Pria yang pernah singgah ke Kuala Lumpur Malaysia tahun 2022 ini adalah pimpinan Majd, unit khusus Hamas yang memburu para pengkhianat. Tahun 1988 Sinwar dijebloskan ke penjara. Usianya masih 26 tahun.
Di penjara penderitaannya luar biasa. Disekap di dalam sel ukuran 15 kali 25 meter persegi dengan toilet di pojok bersama 20 tahanan lainnya. Bahkan tidur pun nyaris mustahil. Makanan yang diberikan minus nutrisi. Para sipir mengawasi ketat para tahanan. Semua tahanan dilarang berbicara. Jika ketahuan tongkat yang berbicara. Situasi menindas ini membuat para tahanan mogok makan. Setelah sekian waktu akhirnya para sipir menyerah. Para sipir takut kematian tahanan akan mengakibatkan tekanan internasional.
Sejak gugurnya Ismail Haniyeh akhir Juli lalu di Iran Yahya Sinwar diangkat sebagai pimpinan Hamas. Rumor menyebutkan suami dari perempuan bernama Samar itu adalah arsitek serangan 7 Oktober. Tak heran dirinya menjadi target pembunuhan rezim Netanyahu.
Meskipun sering disebut misterius Yahya Sinwar adalah penulis novel. Sinwar adalah seorang sarjana sastra arab lulusan Universitas Islam Gaza. Sebuah universitas yang tidak memiliki kampus dan awalnya hanya memiliki 20 mahasiswa. Para mahasiswa kuliah di ruangan SMA.
Novel yang tahun ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul " The Thorn and The Carnation" (Duri dan Anyelir) adalah buah menjadi tahanan selama 22 tahun. Buku ini ia tulis tahun 2004 di penjara Beersheba.
Di novel tersebut laki-laki kelahiran di pengungsian Khan Younis itu mendeskripsikan kekejaman penjara Gaza yang dikuasai Israel itu dengan rinci. Ia menyebut tempat itu sebagai rumah jagal. Para tahanan mengalami penindasan dan penyiksaan yang parah, yang digambarkan dengan rinci dengan jelas: "Satu orang duduk di dada tahanan untuk mencekiknya sambil menuangkan air ke atas karung di wajah. Yang lain berdiri tengkurap, yang ketiga memaksa kakinya terpisah dan duduk di kursi di antara mereka, sementara yang keempat menghancurkan testisnya. Sementara itu, dua lainnya masing-masing memegang salah satu kakinya." Tindakan brutal ini disertai dengan interogasi tanpa henti, pelecehan verbal dan penghinaan. Penyiksaan keji ini dilakukan sebagai sebuah interogasi.
Situs berita Mail & Guardian menilai novel Yahya Sinwar ini mengisahkan pengkhianatan, balas dendam dan perpecahan politik. Kerinduan akan kemerdekaan Gaza disimbolkan oleh bunga Anyelir. Novel ini juga menjadi bukti bahwa rezim Zionis tidak hanya ingin menguasai Palestina namun juga menghancurkan semangat warga Palestina.
Lewat novel The Thorn and The Carnation Sinwar seperti menyamai para legenda dunia yang menghasilkan karya di penjara. Di antara mereka adalah Sayyid Qutb, Abu A'la Maududi dan Anwar Ibrahim. Nelson Mandela selama 27 tahun di penjara menulis "Long Walk to Freedom". Sukarno menulis "Di bawah Bendera Revolusi" ketika menjadi tahanan Belanda. Ada pula Antonio Gramsci. Intelektual Italia dengan karyanya berjudul "Prison Notebook".