Rasisme tidak tetap diam; ia berubah bentuk, ukuran, kontur, tujuan, fungsi -- seiring dengan perubahan dalam ekonomi, struktur sosial, sistem, dan, yang terpenting, tantangan serta perlawanan terhadap sistem tersebut.(Ambalavaner Sivanandan, Communities of Resistance,2019)
Hampir seribu perusuh sayap kanan diringkus kepolisian menyusul keonaran di berbagai kota di Inggris sejak akhir Juli lalu. Kerusuhan mulai mereda dan pemerintah membangun lagi wilayah yang rusak. Perdana Menteri Keir Starmer bahkan mengintervensi lebih jauh dengan merencanakan literasi media sosial ke dalam kurikulum nasional (Kompas.id 13/8/24).
Indonesia sendiri pernah mengalami berbagai peristiwa rasial yang berujung kerusuhan masal bahkan tindak kekerasan. Peristiwa Sanggau Ledo, kerusuhan Mei 1998 dan yang mutakhir kasus penistaan agama di Jakarta tahun 2017. Warisan orde baru mendefinisikan masalah seperti tersebut sebagai masalah SARA: Suku, Agama, Ras dan Antargolongan. Seperti juga di Inggris, SARA adalah masalah laten. Di era banjir informasi melalui media sosial mungkinkah persoalan laten ini diatasi?
Tiga puluh tahun lalu di hadapan civitas akademi universitas Harvard dedengkot kajian budaya Stuart Hall mengingatkan bahwa "ras" adalah salah satu konsep besar atau konsep utama yang mengorganisir sistem klasifikasi besar perbedaan yang beroperasi dalam masyarakat manusia. Ras, dalam pengertian ini, adalah pusat dari sistem hierarkis yang menghasilkan perbedaan (2017).
Sederhananya Hall mengartikan ras sebagai sebuah ideologi, seperangkat nilai-nilai yang memberikan pembenaran (justifikasi) praktik diskriminasi dan penindasan berdasarkan ras. Ideologi ini mengkonstruksi cara berpikir tentang ras sekaligus melegitimasi dan mempertahankan struktur kekuasaan yang ada. Ideologi ini tidak bekerja individu melainkan masuk ke dalam kebijakan, norma-norma sosial yang berlaku bahkan media sekalipun.
Kehadiran teknologi digital menambah rumit persoalan rasial. Safiya Umoja Noble dalam bukunya Algorithms of Oppresion : How Search Engines Reinforce Racism (2018) menegaskan bahwa lingkup digital memperkuat hubungan sosial yang menindas dan menciptakan bentuk-bentuk pengukuran baru rasial. Noble menyebutnya sebagai technological redlining. Penelitian Noble menunjukkan mesin pencari cenderung memperkuat stereotip rasial sekaligus seksis. Pencarian wanita kulit hitam menggiring kepada konten yang merendahkan dan negatif. Pencarian yang terkonstruksi penuh bias ini jelas mempengaruhi identitas dan persepsi kelompok marginal. Di Inggris kelompok pendatang menjadi sasarannya. Di Indonesia kelompok minoritas menjadi korbannya.
Makin maraknya penggunaan internet dalam kehidupan sehari-hari maka literasi media ( media literacy), khususnya literasi digital, menjadi pilihan yang mau tak mau harus dilakukan. Hal ini disebabkan penyebaran informasi melalui media internet, khususnya media sosial sangat mudah dilakukan. Setidaknya ada dua kategori penyebaran informasi di dunia digital yang patut diwaspadai. Misinformasi dan disinformasi. Misinformasi merujuk kepada informasi yang tidak akurat atau mengandung kesalahan. Namun penyebar informasi tidak memiliki niat untuk menyesatkan atau membohongi atau menipu penerima informasi. Sedangkan disinformasi adalah informasi yang disebarkan dengan tujuan menyesatkan, menipu atau membohongi penerimanya.
Sejak 2018 Uni Eropa mewajibkan literasi media ke semua negara anggota dan melaporkan perkembangan implementasinya setiap tiga tahun. Uni Eropa juga menerbitkan Directive for Audiovisual Media Services sebagai panduan memerangi disinformasi sekaligus mendukung proyek-proyek literasi media (Frau-Meigs dkk, 2024).
Dalam panduan tersebut literasi media mengacu pada keterampilan, pengetahuan, dan pemahaman yang memungkinkan warga untuk menggunakan media secara efektif dan aman. Literasi media tidak boleh terbatas pada pembelajaran tentang alat dan teknologi, tetapi harus bertujuan untuk membekali warga dengan keterampilan berpikir kritis yang diperlukan untuk melakukan penilaian, menganalisis realitas yang kompleks, dan mengenali perbedaan antara opini dan fakta (EU,2018).
Oleh karena itu, baik penyedia layanan media maupun penyedia platform berbagi video, bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan terkait, perlu mempromosikan pengembangan literasi media di semua kelompok masyarakat, segala usia, dan untuk semua media.
Literasi media sendiri harus menyesuaikan dengan cepat karena disinformasi dimainkan sebagai proses konfigurasi lapangan. Ditingkat makro menyelusup ke organisasi dan program. Sedangkan tingkat mikro menyelinap ke individu dan kelompok (Frau-Meigs,2022).