Sebagai bagian integral dari sistem demokrasi, pers memegang peran penting dalam menyediakan informasi yang akurat dan menyelidiki isu-isu yang relevan. Di tahun politik ini pers Indonesia juga diharapkan mampu memfasilitasi diskusi yang sehat dan terbuka antara kandidat dan pemilih.
Namun, dalam era komunikasi modern yang penuh dengan informasi yang berlimpah dan berbagai platform media sosial, peran pers tidak lagi terbatas pada sekadar menyediakan berita.
Di sisi lain munculnya tren global pemimpin populis di berbagai belahan dunia tak urung memunculkan kekhawatiran munculnya kekuatan antidemokrasi (Kompas, 01/02/24). Indonesia pun tak lepas dari gejala populisme.
Gejala ini makin terlihat di pemilihan presiden dan calon legislatif. Berbagai slogan tertera di alat peraga kampanye dan program-program meski terkesan di luar nalar begitu gencar ditawarkan kepada masyarakat. Inilah sebagian contoh ide-ide populis. Dalam situasi seperti ini bagaimana seharusnya pers berperan?
Sebelum menjawab bagaimana pers dapat berperan di era populisme maka harus digaris bawahi pengertian populisme itu sendiri. Paul D. Kenny dalam bukunya Populism in Southeast Asia (2019) mengatakan bahwa ada kekeliruan pendefinisan populisme. Meskipun populisme adalah gejala global namun menurutnya pendefinisan seharusnya bersifat regional.
Kenny menawarkan definisi populisme di Asia Tenggara dengan istilah the charismatic mobilization of a mass movement in pursuit of political power.
Menurutnya, pemimpin populis memiliki kebebasan struktur organisasi dan memiliki otoritas penuh dalam mengambil keputusan strategis dan mengelola anggota di dalam organisasi. Mereka memanfaatkan pengikut mereka, seperti kader, partai, anggota, dan relawan, untuk mendapatkan dukungan, tetapi loyalitas pengikut-pengikut tersebut lebih kepada pemimpin daripada kepada partai.
Hal ini membuat populisme berbeda dari politik partai tradisional, di mana aturan mengenai distribusi kekuasaan sangat penting. Hal ini juga berbeda dari politik independen atau personalistik, di mana pemimpin memiliki kendali yang lebih terbatas atas gerakan massa atau partai.
Selain itu, populisme melibatkan mobilisasi massa untuk mencapai tujuan politik. Perhatian utamanya bukan pada ideologi populisme, melainkan pada cara rakyat terlibat secara politik, tanpa memperhatikan keyakinan mereka atau pemimpin mereka.
Untuk menghadapi populisme tersebut Stephen J. Ward (2018) memberikan solusi yang ia beri nama jurnalisme yang terlibat secara demokratis (democratically engaged journalism). Tesis tentang jurnalisme yang terlibat secara demokratis menyoroti pentingnya menggantikan konsep jurnalisme yang hanya berfokus pada fakta dengan gagasan jurnalisme yang lebih interpretatif dan melampaui fakta. Ward memandang jurnalis merupakan aktivis sosial demokrasi liberal pluralistik. Peran jurnalis sangat penting dalam konteks ini karena masa depan jurnalisme demokratis tergantung pada masa depan demokrasi pluralistik. Terlibat dimaknai sebagai komitmen ketika melakukan suatu tindakan serius atau mengejar suatu tujuan yang kompleks atau sulit untuk dicapai.
Agar dapat terlibat secara demokratis maka jurnalis wajib menerapkan metode objektivitas pragmatis. Menurut Ward, objektivitas pragmatis, sebagai prinsip panduan bagi jurnalisme yang terlibat secara demokratis, menunjukkan bahwa jurnalis memiliki potensi untuk tetap terlibat dalam isu-isu yang mereka laporkan sambil tetap menjaga objektivitas mereka.