"Suara Publik Diabaikan" adalah Headline harian Kompas hari ini (22/9/20). Surat kabar yang belum lama ditinggal pendirinya itu menarasikan bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) khususnya komisi 2 bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memutuskan pemilihan kepala daerah (pilkada ) tetap dilaksanakan 9 Desember 2020. Keputusan ini sebetulnya tidak mengejutkan karena sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menegaskan bahwa Pilkada serentak 2020 tetap diadakan demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih (cnnindonesia.com).
Fakta yang ada menunjukkan jumlah mereka yang positif Covid-19 tetap bertambah. Senin 21/9/20 memecahkan rekor baru dengan pertambahan sehari 4176 orang. Menteri Agama Fachrul Razi adalah salah satunya. Kondisi pertambahan kasus baru Covid-19 ini membuat organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk menunda penyelenggaraan pilkada 2020.
Suara mendesak penundaan pilkada 202 kembali mencuat dari Jusuf Kalla. Wakil Presiden RI 2014-2019 menulis di kolom opini Kompas Senin 22/9/20 . Dengan judul tulisan "Pilihan Menyelamatkan Rakyat" JK, begitu ia akrab disapa, mengingatkan penyelenggara pemerintahan bahwa pemilihan kepada daerah adalah agar rakyat menentukan siapa yang menjadi pemimpin mereka dan pemimpin itulah yang membuat program dan kebijakan agar rakyat bisa hidup aman, sejahtera, adil, kesehatan terjaga, mengurangi resiko kematian, mengenyam pendidikan yang baik, dan sebagainya.
Tujuan pemilihan kepala daerah ini perlu diingatkan kembali kepada pihak eksekutif dan legislatif saat ini. Keputusan untuk tetap melaksanakan pilkada 2020 dengan alasan menjaga hak konstitusi rakyat mengindikasikan bahwa penyelenggara pemerintah lebih mengutamakan kepentingan politik daripada keselamatan rakyatnya. Padahal seharusnya politik hanyalah alat untuk mencapai tujuan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila.
Memang penundaan pilkada mengakibatkan kerugian yang tak sedikit. Para kontestan yang sudah bersiap dengan tim sukses dan program kampanye akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Upaya persuasif mengajak pemilik suara memberikan pilihan kepada jagonya menjadi tak berguna karena waktu untuk memberikan suara menjadi panjang. Jarak antara kampanye dan hari pencoblosan menjadi jauh.Di sini kita juga harus ingat bahwa keluarga presiden dalam pilkada ikut sebagai kontenstan pilkada. Jadi sedikit banyak akan mempengaruhi keputusan menunda atau tetap terus pilkada.
Di tulisan tersebut JK juga mengingatkan bahwa dirinyalah yang mengusulkan pilkada serentak sehingga pemerintah tidak terganggu karena adanya pilkada. Pilkada menjadi persoalan jika tidak disatukan mengingat Indonesia memiliki 500 kabupaten/kota dan 34 propinsi sehingga sepanjang tahun terjadi pilkada jika tidak disatukan. Artinya JK sebagai penggagas pilkada saja meminta agar pilkada ditunda dan itulah yang seharusnya menjadi pilihan pemerintah.
Desakan menunda pilkada terus bermunculan dan posisi pemerintah untuk memutuskan akan menjadi krusial. Jika penundaan akhirnya terjadi juga maka bersyukurlah rakyat negara ini karena memiliki pemerintah yang mendahulukan keselamatan rakyatnya dari bahaya Covid-19 sebagai modal utama berkehidupan bernegara. Jika desakan penundaan menjumpai tembok kekonsistenan dengan dalih menjaga hak konstitusi rakyat maka sejarah akan mencatat bagaimana ada eksekutif dan legislatif bekerjasama tidak peduli dengan keselamatan bangsanya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H