Jurnalisme sebagai praktek bisnis produksi dan distribusi informasi terkini tentang kepentingan publik dan yang menarik untuk publik (Schudson,2003) kini sangat mengutamakan kecepatan. Peristiwa yang sedang terjadi disegerakan untuk disampaikan kepada publik. Akibatnya jurnalisme lebih mengutamakan kecepatan daripada ketepatan, kesegeraan dibandingkan kedalaman. Tak heran ralat atas suatu berita menjadi hal yang lumrah. Walau hal ini tentu mempengaruhi kredibilitas.
Di sisi lain informasi kini muncul sebagai kekuatan baru yang setara dengan senjata. Siapa yang memiliki informasi maka ia menguasai dunia adalah jargon yang terkenal dan dipercaya. Kondisi ini membuat media pemberitaan berlomba-lomba menyegerakan informasi. Akibatnya informasi sebagai berita sering tak sesuai dengan pakem penulisan jurnalistik seperti akurat, cek dan ricek, dalam dan seimbang.
Jurnalis meliput berita dan menulis berita tak hanya bersegera namun juga harus siap bekerja 24 jam. Kondisi ini melahirkan produk berita 24/7. Selama sehari semalam tujuh hari seminggu masyarakat dijejali berita. Jurnalisme cepat atau Fast Journalism ini mungkin boleh kita sebut jurnalisme kemrungsung. Kemrungsung dalam bahasa Jawa dapat diartikan cepat namun dekat dengan kecerobohan dan dilakukan dengan kondisi fisik yang terbebani (nafas tersengal-sengal, keringat mengalir deras misalnya)
Dunia yang serba cepat ini memang menggejala di hampir semua sektor kehidupan. Simak saja bagaimana restoran cepat saji alias fast food menjadi bagian tak terpisahkan masyarakat kini. Fast food hingga kini menjadi gaya hidup banyak orang khususnya anak muda. Walaupun kritik dengan alasan kesehatan tak pernah berhenti. Para pengkritik fast food lebih menyebutnya sebagai junk food alias makanan sampah.
Kondisi yang serba cepat dan kemrungsung ini mendapat perlawanan dari sebagian masyarakat. Tahun 1989 para demonstran duduk di depan sebuah restoran McD di Roma. Mereka mempublikaskan slow food sebagai tandingan fast food.
Menurut Carlo Petrini, President Slow Food kegiatan ini bukan saja melawan fast food sebagai budaya namun juga menilai perlawanan ini sebagai reaksi kritis atas globalisasi kesegeraan. "Marilah kita lindungi diri dari kegilaan semesta hidup cepat dengan kenikmatan atas ketentraman," katanya. Bagus, bersih dan seimbang jadi moto gerakan ini.
Adalah Susan Greenbeg (2007) yang mempopulerkan istilah slow journalism . Menurutnya slow journalism adalah jurnalisme yang mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Slow jurnalism atau saya terjemahkan bebas sebagai jurnalisme alon-alon mengutamakan riset dan tulisan panjang lebar.
Jurnalisme alon-alon punya daya tarik tersendiri ditengah suasana melimpahnya informasi, hoax, yang dibungkus dengan kecepatan. Jurnalisme alon-alon membudayakan keakuratan dan kedalaman informasi. Contoh yang bisa disimak adalah majalah Delayed Gratification yang bisa diklik di sini www.slow-journalism.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H