"Ini dari Pak Habibie siapa?"
"Presiden B.J. Habibie, Bu Profesor".
Percakapan via telepon itu terjadi Rabu pagi 15 Juli 1998. Sang penanya yang bergelar profesor adalah Saparinah Sadli, Ketua Program Studi Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia. Sementara lawan bicaranya adalah staf Presiden Habibie. Ia mengundang Saparinah ke Bina Graha jam dua siang untuk bertemu presiden.
Kisah ini diungkap Dewi Anggraeni dalam buku Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan (2014). Buku setebal 214 halaman itu mengungkap benang merah dibalik rentetan peristiwa kerusuhan Mei 1998 seperti kelahiran Komnas Perempuan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998 dan surat yang merupakan pernyatan resmi Presiden BJ Habibie sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang mengutuk aksi kekerasan pada peristiwa kerusuhan termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Istilah kekerasan terhadap perempuan adalah istilah menggantikan kata perkosaan. Suatu tindakan keji yang mengancurkan harkat dan martabat seorang perempuan.Laporan TGPF menyatakan kekerasan seksual dalam kerusuha Mei 1998 terjadi di dalam rumah, di jalan dan ditempat usaha.
Sebagian besar adalah perkosaan yang dilakukan beramai-ramai dan kebanyakan dilakukan dihadapan orang lain. Korban kekerasan seksual tersebut tidak hanya perempuan etnis Tionghoa, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual korbannya memang berasal dari etnis Tionghoa dengan latar belakang sosial berbeda-beda.
Menurut Dewi Anggraeni (hlm 6) saat bertemu Presiden Habibie hari itu Saparinah Sadli tidaklah sendirian. Sejumlah aktivis perempuan ikut menemani di antaranya Carla Bianpoen, Mayling Oey-Gardiner, Kuraesin Sumhadi, Hartini Hartarto, Rita Kalibonso, Herawati Diah, Mely Tan,Smita Notosusanto, Kamala Chandrakirana, Myra Diarsi, Sinta Nuriyah Wahid, dan Chusnul Mariyah.
Mereka semua tergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang membuat surat pernyataan mengecam keras perkosaan dan penyerangan seksual yang bersifat sistematis terhadap perempuan pada kerusuhan Mei 1998.
Surat pernyatan yang dikeluarkan 16 Juni1998 itu mendapat dukungan lebih dari 4000 orang. Surat pernyatan ini menjadi penting karena memuat tuntutan kepada pemerintah mengusut tuntas kerusuhan Mei 1998 dengan membentuk tim penyelidik independen.
Tim penyelidik independen tersebut akhirnya terbentuk dengan sebutan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998. Dari kisah yang dijabarkan Dewi Anggraini ini dapat disimpulkan bahwa TGPF dibentuk untuk mengungkap kasus kekerasan seksual secara masal yang terjadi antara tanggal 13 Mei 1998 hingga 15 Mei 1998.
Persoalan perkosaan masal ini memang menjadi perdebatan karena mungkinkah peristiwa itu terjadi. Media massa khususnya surat kabar ketika memberitakan kerusuhan13-15 Mei 1998 sama sekali tidak menyinggung apalagi menyebut peristiwa keji tersebut.