Lihat ke Halaman Asli

Doddy Salman

pembaca yang masih belajar menulis

Mengevaluasi Debat

Diperbarui: 9 Februari 2017   22:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Survei Litbang Harian Kompas jelang debat ketiga atau terakhir pilkada Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta menegaskan bahwa debat signifikan dalam mempengaruhi elektabilitas calon gubernur DKI.Kesimpulan Litbang Kompas diambil setelah melakukan survey yang dilakukan setelah dua kali debat disaksikan di layar kaca.Tulisan ini mencoba mengevaluasi debat pemilihan pemimpin jelang debat pilkada DKI terakhir yang dilaksanakan Jumat malam 10 Febuari 2017. Saya mengawalinya dengan perspektif sejarah debat di Amerika.

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak  2017 kini memasuki masa krusial. Setelah masa kampanye  dengan alat peraga dan perkumpulan massa serta pertemuan, para kandidat di 101 daerah pemilihan di nusantara akan saling debat beradu argumen demi meyakinkan para pemilihnya. Episentrum debat tentunya berada di pilkada DKI Jakarta. Pilkada Jakarta memang punya magis tersendiri. Sejak Gubernur DKI Joko Widodo nyapresdan terpilih menjadi RI1 mitos DKI1 adalah penghuni jalan Medan Merdeka Utara di masa depan pun terbentuk. Walau sesungguhnya mitos tersebut masih perlu diuji.

Menilik kontruksi budaya harus diakui debat dalam pemilihan pemimpin, pilkada maupun pemilu di Indonesia,adalah praktek bernalar yang usianya muda.Pemilu langsung pertama 2004 menandai praktek demokrasi secara langsung yang untuk pertama kali diisi perdebatan para calon presiden dan wakil presiden. Di tahun 2004 itu pulalah kali pertama para pemilih melalui layar kaca menyaksikan secara langsung adu argumen kandidat pemimpin Indonesia. Bandingkan dengan masyarakat Amerika yang mengalami tradisi debat antar calon presiden lebih dari 200 tahun dan melahirkan banyak debat agung (great debate) antar kandidat.

Debat calon pemimpin memang makin bernilai penting bagi demokrasi ketika media televisi ikut andil menayangkan acara debat secara langsung. Perdebatan antara kandidat presiden John F. Kennedy dan Richard Nixon yang disaksikan masyarakat tahun 1960 berlangsung di studio CBS. Sebelumnya masyarakat menyimak perdebatan para calon pemimpin via radio dan surat kabar. Debat, sebagai cara berargumentasi menyatakan ketidaksepakatan tanpa harus baku pukul,pun makin erat kaitannya dengan media.

Di layar kaca, ketika para calon pemimpin terlihat berdebat, sesungguhnya yang tampak hanyalah representasi pertempuran orang-orang yang berada di belakang masing-masing kandidat. Mereka adalah para pembuat naskah pidato, para konsultan komunikasi politik hingga para pakar PR (Public Relations)(Jamieson,1988). Tim sukses para kandidat tersebut, bersama panita,menyepakati format debat dan topik-topik yang akan dijadikan tema perdebatan. Format debat menjadi hal teramat penting bagi para kandidat. Lewat format debat kelemahan kandidat sebisa mungkin dihindari dan setiap kekuatan kandidat harus sebisa mungkin ditonjolkan (Kraus,2000). Format menentukan pula apakah terjadi debat atau sekedar kampanye bersama.

Karena debat adalah bagian dari kampanye, memenangkan perdebatan adalah hal yang teramat penting dalam proses pemilihan. Memenangkan perdebatan berarti menang dalam “memamerkan kebolehan” beradu argumentasi dengan para kompetitor. Dengan mengutamakan kemenangan, maka kandidat sebetulnya tidak tertarik untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Acara debat tidak linear dengan bertambah pintar para pemilih. Dapat disimpulkan pula bahwa ikut acara debat adalah bagian dari proses pemilihan yang harus menguntungkan para calon pemimpin.Jika tidak menguntungkan, untuk apa ikut debat?    

Pemahaman ini bisa menjelaskan mengapa Jimmy Carter sebagai presiden Amerika menolak ikut debat bersama calon independen John B.Anderson dalam pemilu presiden tahun 1980. Sementara mantan gubernur California Ronald Reagan menolak ikut debat jika Anderson tidak diikutsertakan. Walhasil debat capres tahap pertama hanya terjadi antara Reagan dan Anderson tanpa kehadiran petahana Jimmy Carter. Sebelumnya Carter juga sempat menolak berdebat dengan kandidat calon presiden partai Demokrat lainnya Edward “Ted” Kennedy. Penolakan debat dipercaya ikut menyumbang kegagalan Carter terpilih kembali sebagai Presiden Amerika selain persoalan  ekonomi Amerika dan kasus penyanderaan warga Amerika di Teheran (Kraus,2000).

Indonesia memang punya sejarah muda dalam aktivitas perdebatan. Belum banyak literatur yang membahas debat calon pemimpin secara ilmiah. Yang muncul lebih banyak komentar pengamat yang berwacana dalam lingkup komunikasi politik.Selain itu perdebatan lahir di era audio visual berjaya. Sehingga debat seperti identik dengan media televisi.  

Debat pemilihan pemimpin di Indonesia menempatkan posisinya dalam lingkup layar kaca. Ada show, panggung besar, disaksikan banyak orang, hinggar bingar yel-yel, bertempat di hotel, Belum lagi posisi para peserta debat yang berjauhan sehingga berkesan kampanye bersama dibandingkan adu program.

Jikalau nanti benar seperti yang diprediksi Litbang Kompas bahwa pilkada DKI  akan 2 putaran, sepertinya harus ada perombakan total dalam debat pilkada DKI putaran 2. Ini kalau debat diyakini menjadi sumber informasi sekaligus pendidikan politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline