Lihat ke Halaman Asli

Tidak Adilnya Hukum Dalam Status Tersangka BTP-Ahok

Diperbarui: 19 November 2016   14:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Pribadi Sebastian untuk Penulis

Ditetapkannya status Tersangka oleh Kepolisian RI terhadap Basuki Tjahaya Purnama (BTP)-Ahok, dengan ancaman tahanan 5 tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 156a KUHP, seharusnya BTP-Ahok segera dan sudah ditahan oleh Kepolisian RI disamakan dengan cara penindakan berbagai kasus penghinaan dan penistaan Agama oleh beberapa orang warga Negara lainnya selama ini. Dengan tidak ditahannya BTP-Ahok oleh Kepolisian RI dengan statusnya sebagai Tersangka, adalah merupakan sosialisasi pameran KETIDAK ADILAN PENEGAKAN HUKUM di Indonesia. Hal ini memperburuk citra dan cara  penegakan hukum di Indonesia.

Selama ini, semua tersangka yang terkait Pasal 156a KUHP langsung ditahan oleh Kepolisian RI, seperti kasus yang pernah sama terjadi seperti kasus : Arswendo, Lia Aminuddin, Yusman Roy, Ahmad Musadeq dan lainnya. Dengan tidak ditahannya BTP-Ahok, setelah dinyatakan sebagai TERSANGKA terkait Pasal 156a KUHP, adalah akan menjadi PRESEDEN sangat buruk bagi Penegakan Hukum di Indonesia.

Pelanggaran yang dilakukan oleh BTP-Ahok, atas penistaan Agama Islam, telah membuat kehebohan Nasional Indonesia serta Internasional yang sangat berdampak luas dan merupakan penistaan agama Islam terbesar yang mendapatkan reaksi sangat besar dari ummat Islam Indonesia dan Dunia serta telah menyebabkan banyak korban luka luka maupun meninggal dunia sebagai akibatnya.

Memperhatikan karakter BTP-Ahok yang sangat temperamental dengan kejiwaan yang tidak stabil, berpotensi BTP-Ahok dapat mengulangi kembali perbuatannya sesuai dengan sikap dan gaya AROGANSI BTP-Ahok yang selama ini suka mencaci maki dengan kata dan kalimat KOTOR menghina Ulama dan Ummat Islam. Seperti kejadian terulang atas pernyataan fitnah dan penghinaan BTP-Ahok pada hari disaat BTP-Ahok dinyatakan sebagai TERSANGKA (Rabu, 16 November 2016), pada wawancara ABC News Australia, BTP-Ahok masih memfitnah dengan menyatakan bahwa peserta Aksi Bela Islam 411 dibiayai per orang sebesar Rp. 500 ribu. Pernyataan FITNAH yang kembali dilakukan BTP-Ahok ini, tidak berdasar karena seluruh jajaran simpul massa ummat Islam yang bergerak ke Jakarta maupun di berbagai daerah lainnya di Indonesia adalah pergerakan demo Damai 411 yang terjadi secara spontan dan saling membantu dengan sesama se-Iman Islam atas biaya sendiri dan atas dasar kesadaran bersama didalam membela Agama Allah.       

Secara politik, posisi Presiden Joko Widodo saat ini sudah jatuh gara-gara Basuki Tjahaja Purnama-Ahok ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan penodaan agama oleh Bareskrim Polri. Terutama dengan adanya konspirasi kotor didatangkannya ulama dari Mesir yang akan dijadikan saksi ahli untuk BTP-Ahok, yang akhirnya sang ulama pulang ke Mesir, karena yang bersangkutan merasa ditipu atas kedatangannya ke Indonesia. Seterusnya sangat terlihat keberpihakan Presiden Jokowi terhadap BTP-Ahok yang selalu tidak diakui Presiden Jokowi secara lisan didepan publik disinilah ambigunya dan double standardnya Presiden Jokowi.

Ketika Presiden Jokowi melakukan safari ke TNI dan Brimob serta pihak lainnya, menunjukkan bahwa Jokowi memerlukan perlindungan politik dan bahkan membutuhkan perlindungan fisik. Menurut kebiasaan, korps pasukan khusus mengundang presiden datang untuk menerima penghargaan baret kehormatan atau wings. Tanpa itu, kedatangan Jokowi menunjukan lebih pada kepentingan pribadi Jokowi, bukan kepentingan korps. Era TNI yang dipimpin Moeldoko, Jokowi pernah menerima baret kehormatan, tapi itu baret hitam yang bukan baret tempur. Jadi ini hanya kesia-siaan karena presiden tidak punya komando langsung ke korps pasukan khusus atau elit TNI. Dialektika yang berkembang dari safari Jokowi, patut dicurigai dilakukan untuk mencari penyelesaian mengatasi krisis politik yang akan menentukan keberlangsungan rezim ini. Safari Presiden Jokowi ini, bisa berpeluang besar menimbulkan friksi dan pecah belah potensi kesatuan dan persatuan NKRI.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo beberapa kali menegaskan didalam setiap pidato kuliahnya, akan berpihak kepada rakyat, dan Panglima TNI juga menegaskan menghendaki kembali ke UUD 45 asli. Makanya situasi saat ini sesungguhnya adalah Kedaulatan Rakyat berada di gerbang perubahan. Kedaulatan Rakyat memiliki hak PENUH untuk menyelamatkan Negara dan bangsa serta mempertahankan NKRI. Rakyat harus segera bertindak untuk  mengatasi krisis bangsa dan negara Indonesia agar terhindar dari potensial menghancurkan NKRI serta penjajahan dan eksploitasi NKRI oleh pihak Asing. Semakin lambat, maka ongkos politik dan sosial untuk menyelamatkan NKRI sangat besar dan berpotensi menimbulkan kerusakan yang parah lebih parah.

TNI dibawah kepemimpinan Jenderal Gatot Nurmantyo sudah memperlihatkan keseriusannya didalam melaksanakan REFORMASI TNI dan kapan adanya perubahan sikap dan budaya korps Kepolisian RI mau serius untuk memperbaiki diri didalam realisasi REFORMASI KEPOLISIAN RI ? (Doddy Jakarta)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline