Lihat ke Halaman Asli

Mengharapkan Jokowi Menjadi Gubernur Betawi (Bersih – Tegas – Adil & Wibawa)

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Khusus untuk bang Jokowi, selamat datang di Jakarta, pimpinlah jakarta dengan gaya yang paling Betawi, yaitu Bersih – Tegas – Adil dan Berwibawa"

http://creativealwayson.blogspot.com/2012/10/mengharapkan-jokowi-menjadi-gubernur.html

Seluruh umat manusia memiliki tujuan untuk memperoleh kebahagiaan, kesuksesan dan ketentraman didalam kehidupannya. Namun kenyataan yang didapat saat ini adalah rasa kecemasan, ketakutan, ketidakpuasan, kesenjangan, ketidakadilan, dan bahkan kegagalan. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya perilaku menyimpang dari masyarakat, seperti kriminalitas, kekerasan, aksi protes/demonstrasi, perkelahian antar kelompok dan lain-lain. Sehingga antara harapan dengan kenyataan menjadi sangat jauh berbeda.

Hal ini terjadi karena kita pada umumnya memiliki kepahaman dan meyakini bahwa kebahagian, kesuksesan, dan keselamatan akan diperoleh apabila seseorang memiliki kekayaan, kedudukan/kekuasaan dan popularitas, yang pada akhirnya diukur berdasarkan nilai-nilai ekonomi yang dimiliki seseorang. Dengan demikian seluruh usaha kita lakukan terjebak pada perburuan dalam bidang ekonomi, yang bahkan juga telah merasuk dalam kehidupan beragama dan parah dilakukan oleh tokoh – tokoh agama. Hal inilah yang kemudian menimbulkan perilaku serakah, egois, zhalim dan arogan. Sehingga menjerumuskan kita kedalam keadaan saling menindas, saling menuntut, saling iri dan dengki, serta saling sikut.

Hidup di kota besar seperti Jakarta ini Jelas terlihat bagaimana yang kaya memanfaatkan yang miskin, yang miskin mengganggu yang kaya, yang berkuasa menindas yang jelata, majikan menyiksa pembantunya, pembantu berani melawan majikannya, yang kuat menindas yang lemah. Sehingga tidak satupun diantara kita merasa bahagia, aman dan tenteram. Seluruh lapisan masyarakat tersebut masing-masing merasa terancam, sehingga harus bertahan, atau bahkan menyerang dan mengancam, sehingga tidak merasakan ketentraman dan keamanan dalam kehidupannya. Bagaimana mungkin kita bisa hidup bahagia, sementara kita senantiasa berperilaku lebih mengutamakan menuntut hak, tanpa mau melihat adakah kewajibannya sudah ditunaikan terlebih dahulu.

Sesungguhnya Tuhan sebagai pencipta manusia berikut seluruh keperluannya yang ada di alam semesta ini, sudah memberikan ketetapan yang tidak akan berubah sampai akhir zaman. Ketetapan tersebut adalah bahwasanya keselamatan, kebahagiaan dan kesuksesan manusia dalam kehidupannya baik di dunia apalagi di akhirat, hanya diletakkan pada amal dan prilaku yang sesuai dengan ajaranNya dan contoh yang telah diberikan oleh NabiNya, Muhammad Rasululloh SAW.

Dengan demikian siapapun dan bagaimanapun keadaan seseorang, apakah Tuhan berikan kekayaan, kekuatan, kepandaian, dan kekuasaan, ataupun Tuhan tetapkan dalam kemiskinan, kelemahan dan kebodohan, namun Tuhan berkenan untuk mewujudkan kesempurnaan agama dalam kehidupannya. Maka sudah dapat dipastikan bahwa hidupnya akan penuh dengan kebahagiaan, dan dia akan sukses di dunia dan di akhirat. Kemudian Tuhan akan merubah seluruh perilaku kita, dimana yang kaya akan mencintai yang miskin, yang miskin akan menghargai yang kaya, yang berkuasa akan melayani hak-hak rakyatnya, rakyatnya akan memenuhi kewajibannya, yang kuat akan membela dan melindungi yang lemah, sementara yang lemah akan senantiasa mendoakan yang kuat.

Demikian pula hendaknya kita memandang permasalahan yang terjadi di negara kita, khususnya di ibu kota Jakarta. Karena Jakarta adalah tempat bermukimnya berbagai macam etnis suku bangsa, yang merupakan sebuah fenomena budaya yang unik, yang terlahir dari akulturasi berbagai budaya yang dibawa oleh orang-orang yang datang dari berbagai penjuru nusantara. Dan bahkan dari belahan dunia lain seperti Arab, China, India, Eropah dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan firman Tuhan:

“Sengaja kuciptakan kalian terdiri dari berbagai suku dan bangsa, demikian agar kalian saling kenal mengenal”

Demikianlah Tuhan berkehendak untuk menjadikan kawasan ruang terbatas di sekitar wilayah yang dulu dikenal dengan nama Batavia. Sebagai kota yang kaya dengan kombinasi budaya tempatan (Betawi) dan pendatang. Meskipun demikian, dibalik keragaman tersebut terbentuk perilaku kehidupan sosial yang egaliter, tidak mengenal pusat kebudayaan yang berpangkal pada pusat kekuasaan, sehingga melahirkan perilaku yang lugas, jenaka, jujur dan adil. Karena kultur budaya Betawi senantiasa berpegang teguh pada azas ketaatan dalam kehidupan beragama. Azas inilah yang membentuk karakter Masyarakat Betawi “yang dulu”  ramah, bersahaja dan toleran.

Namun dalam wujud kehidupan perkotaan yang terjadi saat ini, proses akulturisasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan semua pendatang, mulai dari kalangan yang berpendidikan tinggi sampai yang tidak berpendidikan, memiliki tujuan yang sama yaitu mencari penghidupan yang lebih baik, sehingga sibuk mengais rejeki dan mengadu nasib. Tingkat kesibukan dan mobilitas yang tinggi dari migrasi desa-kota, tidak mampu lagi melanjutkan proses akulturisasi yang dahulu sudah mapan. Sebaliknya yang terjadi adalah proses akulturasi menjadi termarjinalkan atau tersingkirkan, sehingga azas dan jatidiri yang sudah lama terbentuk seakan menjadi lawas dan bahkan nyaris hilang.

Para pendatang tersebut raganya saja yang tinggal di Jakarta, namun hatinya tetap terpaut dengan daerah asalnya. Akhirnya kota menjadi seperti tidak berpenghuni, karena ikatan bathin antara warga dengan tempat tinggalnya telah dicabut oleh Tuhan. Jakarta hanya dipenuhi oleh para pendatang yang hendak memuaskan raga dan nafsu, bukan menjadikannya tempat untuk hidup dan menetap, karena tidak ada lagi perekat emosional, baik antar penduduk maupun dengan kotanya.

Tiap jengkal tanah dimanfaatkan semata-mata untuk mendapatkan kesempatan mendatangkan uang. Kota jadi terasa sumpek, padat dan kumuh, juga melelahkan dan membosankan, menyebabkan living and sosial cost yang tinggi. Sehingga ketakutan, kecurangan, ketidakadilan, kriminalitas, dan aksi protes/demonstrasi serta teror menjadi bagian dari kehidupan keseharian di Jakarta. Dengan kata lain, Tuhan telah mencabut keberkahan dan rahmat dari masyarakat kota dan negara ini.

Oleh karena itu dipandang sangat relevan apabila nilai-nilai positif perilaku Betawi yang pada awalnya berkembang dari proses akulturasi yang sudah mapan ini dapat digali dan diangkat kembali menjadi ikon model kita perkotaan yang modern dan mandiri. Tidak ada lagi sekat-sekat kesukuan ataupun kebangsaan, menak (orang terhormat/bangsawan/ningrat/priayi-red) atau rakyat biasa serta perbedaan keyakinan.

Siapapun dan apapun suku dan kebangsaan serta agamanya, mereka yang tinggal dan menetap di Jakarta dan sekitarnya yang berazaskan pada ketaatan dalam kehidupan beragama. Sehingga wujud karakter dan perilaku positif Betawi, maka dia adalah Betawi, yang dapat disebut sebagai ruhnya Jakarta. Sebaliknya, siapapun mereka yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, yang tidak berazaskan pada ketaatan dalam kehidupan beragama. Sehingga perilakunya tidak mencerminkan karakter dan perilaku positif Betawi, maka mereka bukan Betawi. Tetapi pada hakikatnya hanyalah para pemuas raga dan nafsu serta asosial, yang tidak ada kemampuan untuk memberikan kontribusi apapun bagi Jakarta sebagai tempat hidupnya, sehingga dapat disebut sebagai jenazahnya Jakarta.

Demikian pula Rosululloh SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang berdzikir itu dianggap hidup di sisi Tuhan, sedangkan orang yang tidak berdzikir itu dianggap sebagai orang mati (mayat)”. Maka dengan mudah bisa dipahami bahwa dengan berusaha untuk senantiasa menjaga ketaqwaan kepada Tuhan sebagai wujud ketaatan dalam kehidupan beragama pada setiap saat dan keadaan merupakan kunci utama agar Tuhan berkenan untuk merubah dan mengembalikan ruh kota Jakarta.

Dahulu, sejak kecil, anak-anak muslim Betawi rajin mengaji di Masjid dan Musholla serta mempelajari ilmu bela diri. Dengan mengaji dan meng’amalkan ilmu agama, mereka memperoleh dasar-dasar keagamaan yang kokoh, sehingga ketika telah dewasa mereka mampu untuk menjadi insan yang bertaqwa kepada Tuhan. Ilmu bela diri mengandung nilai-nilai kesatria, yaitu senantiasa membela yang lemah dan menegakan keadilan, kejujuran serta kesetiaan. Terdapat banyak cerita tokoh-tokoh legendaris yang mengandung nilai kesatria, keberanian melawan penjajah dan membela rakyat, bukan saja hanya secara fisik, tetapi juga secara politik, ekonomi, sosial dan budaya serta jurnalistik.

Sebuah kota, betapapun dipimpin oleh seseorang yang pandai, ahli, alim, bijaksana, berwibawa, dengan diiringi pembangunan fisik yang berkembang dengan pesat, tidak akan pernah mampu menyelesikan permasalahan kehidupan perkotaan jika kitanya sulit diatur, banyak menuntut, dan asosial. Si kaya menjadi semakin serakah, si miskin menjadi semakin beringas, yang kuat menjadi semakin zhalim, dan yang berkuasa menjadi semakin sombong. Semua ini terjadi karena mereka meninggalkan ketaatannya dalam kehidupan beragama. Sehingga Tuhan merubah hati pemimpin mereka menjadi zhalim, sebagai balasan karena rakyatnya telah membelakangi agama mereka. Sebaliknya meskipun pada awalnya pemimpin suatu negeri zhalim dan banyak kekurangannya, namun apabila rakyatnya senantiasa menjaga ketaatan dalam kehidupan beragama, maka Tuhan akan merubah hati pemimpinnya menjadi lembut, dan kemudian akan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi.

Membangun kota bukan sekedar membangun fasilitas dan sarana serta prasarana fisik kota saja, tetapi lebih kepada membangun sebuah peradaban. Sebuah komunitas yang sejahtera aman dan tenteram, yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang tinggi sebagaimana seharusnya manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai mahluk paripurna dan paling mulia dimuka bumi ini. Sebagaimana firman Tuhan: “Sesungguhnya Tuhan tidak memandang bentuk rupamu, tetapi Tuhan memandang hati-hatimu”.

Demikian pula seharusnya kita memandang sebuah kota, maka yang kita pandang adalah “ruh”-nya, bukan “jasad”-nya, sehingga kita akan memahami keutamaan usaha atas “ruh” tersebut. Apabila kita bersungguh-sungguh membuat usaha atas perubahan hati yang menjadi dasar dari perubahan sikap, maka Tuhan akan merubah hamba-Nya yang dilebihkan atas rizkinya bukan saja menjadi tidak serakah, tetapi bahkan menjadi dermawan dan tidak konsumtif serta hidup sederhana; yang miskin menjadi pandai bersyukur; yang memimpin menjadi lebih tawadu; yang kuat menjadi pembela dan pelindung yang lemah; yang lemah menjadi pandai berdoa. Dengan demikian akan tercipta kehidupan yang sejahtera bagi seluruh lapisan masyarakat.

Tidak ada kekuatan lain yang dapat merubah perilaku kehidupan manusia kecuali hanya Tuhan sebagai penciptanya yang mampu membolak-balikan hatinya. Manusia hanya butuh pertolongan dari-Nya dan hanya kepada-Nya-lah seharusnya manusia menyembah, meminta tolong serta bergantung. Semua ini semata-mata agar manusia menyadari bahwa dirinya adalah mahluk Tuhan yang lemah dan tidak berdaya, serta sangat membutuhkan taufik dan hidayah dari-Nya.

Oleh karena itu usaha yang paling utama yang harus segera dilakukan, sebagaimana yang telah dituntun dalam agama, adalah usaha agar bagaimana Tuhan berkenan untuk menurunkan pertolongan-Nya. Dengan demikian niscaya Tuhan akan berkenan memberikan kemampuan kepada manusia untuk menjalankan amanah-Nya, sehingga dapat menjadi sebab tersebarnya kemakmuran di muka bumi, bukan sebab kehancuran.

Islam, Kristen, Katholik dan agama samawi lainnya sama-sama mengajarkan tentang ahlak dan budi pekerti yang luhur, yang mengandung seluruh nilai-nilai kehormatan dan kemuliaan. Demikian juga dengan ajaran-ajaran para leluhur bangsa, yang mengajarkan bagaimana akhlak dan budi pekerti untuk hidup berdampingan dan berhubungan dengan sesama mahluk, alam semesta, sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman.

Demikian pula yang telah digambarkan oleh kita Betawi pada era akulturasi yang sudah berjalan mapan, dimana telah terbentuk sentuhan antara berbagai agama dalam perdamaian dan kasih sayang. Dapat diambil sebagai contoh adalah warga Betawi di Ujung Aspal yang beragama Kristen/Katholik, dimana mereka tetap menjadi bagian yang utuh dari masyarakat Betawi. Demikian pula tampak jelas bagaimana klenteng-klenteng dari warga keturunan Cina telah melebur dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi, sehingga perayaan hari-hari besar mereka menjadi bagian dari warna kehidupan kita Betawi. Semua ini menjadi bagian penting dalam membangun sebuah peradaban kehidupan kota.

Maka “Betawi Taat Agamanya” menjadi bagian yang paling azasi dalam pembangunan peradaban kehidupan kota yang modern. Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan agama lain yang diakui secara resmi oleh pemerintah, harus diajak untuk ta’at kepada ajaran agama masing-masing serta menyempurnakan ibadah ditempat peribadatan masing-masing. Kalau kita sudah benar-benar taat dengan agamanya, dan mengimplementasikan nilai-nilai budi pekerti yang luhur dari ajaran agamanya, maka Tuhan pasti akan menurunkan rahmat dan keberkahanNya atas ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, sosial dan budaya serta segala usaha yang sedang kita lakukan.

Solusi problematika Jakarta pun esensinya bukan semata- mata pada sistem dan kinerja. Contohnya: Meskipun lalu lintas kota padat, kita tetap mengendarai dengan tenang, tidak saling berebut dan disiplin terhadap seluruh peraturan lalu lintas. Pedagang akan memahami ilmu berdagang, dan bersedia ditempatkan pada lokasi yang sudah ditentukan, sehingga tidak mengganggu kepentingan umum, serta diberi keberkahan oleh Tuhan atas usahanya. Warga tidak akan mau membuang sampah sembarangan, karena memahami perintah Tuhan yang berkaitan dengan kebersihan dan keindahan, yang merupakan bagian daripada ciri-ciri masyarakat yang beriman.

“Betawi Taat Agamanya” menjadi solusi masyarakat tangguh dan mandiri sebagai syarat di era global untuk menjadi warga dunia yang eksis, yang tidak bergantung manja dan selalu menuntut kesempurnaan dari pemerintah saja. Kemampuan untuk melepaskan diri dari harapan dan ketergantungan kepada mahluk inilah yang dimaksud dengan masyarakat madani, masyarakat yang mandiri. Jati diri seperti ini akan membawa kepastian turunnya pertolongan dari Tuhan, sehingga Tuhan berkenan untuk merubah nasib bangsa dan negara ini. Pada akhirnya kecintaan kepada Jakarta dan rasa memiliki serta kebesamaan bermasyarakat yang tinggi akan menjadi perwujudan kesadaran dari warganya, dimana dia hidup dan berkehidupan, mulai dari lahir dan dibesarkan sampai dewasa. Baik dan buruknya kota Jakarta akan menjadi cerminan dirinya, tempat dimana mereka menyambut Rahmat dan Berkah atas rizki yang diberikan oleh Tuhan. Seluruh warga sama-sama mempunyai tanggung jawab untuk menjaga jasmani dan rohani sumber-sumber penghasilannya.

Sesungguhnya Jakarta adalah miniatur Bhineka Tunggal Ika. Mulai dari Presiden, Menteri sampai gelandangan yang ada di Jakarta, bahkan seluruh lapisan kita yang ada berasal dari berbagai suku dan bangsa. Apabila wujud perilaku saling memberi, saling menghormati, saling menghargai, saling menyayangi, dan saling mendahulukan, dengan sendirinya akan terwujud pula kesatuan bangsa, sebagai syarat untuk berdirinya bangsa yang besar.

Tulisan ini mengajak kepada semua warga ber-KTP DKI Jakarta untuk bersama-sama bergabung membangun peradaban “kehidupan kota yang modern” yang dapat menjadi “ikonnya” kota-kota lain di Indonesia, dan bahkan bagi kota-kota dunia. Oleh karena itu janganlah perkara ini hanya sampai berupa slogan saja. Marilah kita bersama-sama bermuhasabah melihat kedalam diri kita lebih dahulu, dan berusaha untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik sebagai partisipasi terpenting terhadap perubahan yang sama – sama kita cita – citakan.

Sebagaimana dahulu sejarah lahirnya kota Jakarta ini, Kerajaan Demak di Jawa dan kesultanan di Cirebon adalah gelombang urban pertama yang membangun kota Jakarta, Jakarta adalah kependekan dari Jayakarta. Dinamakan begitu konon karena kota inilah yang kelak diramalkan dan didoakan menjadi pusat peradaban dan kemajuan, Jayakarta: Jaya dan kerta, kota yang gilang gemilang. Khusus untuk bang Jokowi, selamat datang di Jakarta, pimpinlah jakarta dengan gaya yang paling Betawi, yaitu Bersih – Tegas – Adil dan Berwibawa. Semoga Tuhan meredhoi, Aamiin YRA.

Doddy Hidayat

Warga DKI Jakarta

Konsultan Usaha Kreatif & Marketing Komunikasi

Artikel terkait:

1. Sekedar Masukan Buat Bang Joe (Jokowi)

2. Kemenangan Jokowi - Ahok, Mesin Politik Harus di Overhaul

3. Sudahkah Pemerintah Memahami Kebutuhan UMKM

4. Perseteruan POLRI & KPK Dari Kacamata Markom




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline