Salma, puteri tunggal saya baru saja memasuki dunia baru sebagai anak SD. Gadis kecil saya ini untuk anak seumurannya tergolong anak yang berani tampil. Suka menyanyi, menari dan akting menirukan gaya artis. Sering juga melawak dengan menirukan adegan iklan dan tentu saja tingkah polahnya jadi hiburan untuk seisi rumah. Salma juga sebelum sekolah sudah pandai menulis dan membaca. Apalagi BBM an, kalau sudah kambuh isengnya, semua list contact yang update status, pasti dikomentari, sehingga seringnya, teman – teman saya malah nge ping hanya untuk mencari Salma dan sibuklah BB berbunyi clang cling sampai berhenti karena sudah masuk waktu tidurnya. Karena keberaniannya yang diatas rata – rata teman sekelasnya, Salma diangkat sebagi ketua kelas. Setiap upacara dipercayakan sebagai pembaca doa dan sering dipercaya sekolah untuk mengikuti perlombaan – perlombaan yang memerlukan keberanian tampil di panggung seperti baca puisi, drama dan fashion show busana muslim.
Suatu hari, Salma banyak berdiam diri dan tidak aktif seperti biasanya. Hingga puncaknya, saat mau berangkat sekolah, Salma mengajukan opsi untuk tidak berangkat dengan alasan sakit. Usut punya usut, penyebabnya adalah karena malu. Malu kenapa Salma? Malu ketemu ibu guru dan teman – teman karena giginya ompong. Setelah berargumen hampir setengah jam, bahwa semua anak – anak pasti ompong supaya gigi bayinya ditukar dengan gigi yang lebih kuat, akhirnya mau juga berangkat sekolah. Ternyata proses alamiah gigi tanggal pada anak – anak bisa menjadi sebab perubahan prilaku. Dari pemberani, Pede abis jadi pemalu.
Pengalaman lain waktu saya masih mengajar desain grafis di salah satu akademi di Kuala Lumpur. Saya mengadakan eksperimen kreativitas pada seluruh murid di kelas. Ada dua jenis test yang saya berikan. Yang terjadi adalah ketika saya meminta secara sukarela untuk maju ke depan, mengungkapkan ide – ide mereka, tidak ada satupun yang berani tunjuk tangan apalagi tampil. Tapi terjadi hal sebaliknya, hampir sebagian besar mahasiswa menyerahkan konsep tertulis dengan ide – ide yang cemerlang dan sesuai dengan stimulan yang saya berikan. Ternyata mahasiswa internasional yang berkutat dengan dunia kreatif pun dihinggapi rasa malu. Bentuk rasa malu yang menjurus ke mentalitas, kurang percaya diri.
Kalau tadi cerita anak umur 7 tahun dan remaja umur belasan, cerita terakhir ini terjadi pada orang dewasa. Satu waktu saya diundang kepala daerah sebuah kabupaten. Singkat cerita antara kedua belah pihak sepakat untuk membuat program percepatan pembangunan daerah dan saya ditetapkan sebagai konsultan. Tentu saja diawali dengan riset pengumpulan data. Salah satu kegiatannya melakukan pertemuan intensif, brain storming dan wawancara dengan seluruh kepala dinas dan staf – staf terkait. Yang saya hadapi adalah kelas – kelas petinggi daerah dengan latar belakang pendidikan rata – rata S2.
Yang terjadi adalah, setiap pertemuan dihadiri bupati langsung, maka saya melihat suasana canggung dan komunikasi satu arah. Bupati layaknya seorang raja dan bawahannya seperti punggawa – punggawa kerajaan yang mangut – mangut, takut – takut dengan mulut terkunci rapat. Presentasi yang saya paparkan hampir di dominasi oleh tanggapan dari bupati saja, yang lain manggut – manggut tanpa pertanyaan. Ketika meeting bubar dan bupati pulang, barulah masing – masing mendekati saya dan mengungkapkan pendapat mereka panjang lebar. Kenapa tidak diomongin tadi pak? Kata saya. Alhasil para kepala dinas ini hanya cengar cengir dan berkata, sama saja toh, yang penting bapak dapat masukan lengkap, kalau tadi kan nggak enak pak, nanti takut malu – maluin.
Bagi saya malu itu ada dua, malu yang positif dan malu yang negatif. Malu yang positif adalah malu untuk melakukan hal negatif dan malu yang yang negatif adalah malu untuk melakukan hal yang positif. Mungkin rasa malu yang positif memang fitrah asalnya manusia. Malu bertelanjang, malu mencuri, malu menurutkan hawa nafsu, malu berbuat tidak sopan, all of all adalah malu untuk melanggar perintah Tuhan. Makanya ada hadist yang mengatakan malu sebagian dari iman. Itulah malu yang terpuji dan dibenarkan.
Malu yang negatif seperti malu berterus terang, malu berpendapat, grogi tampil ke depan, malu berkata dan berbuat benar, atau mau tapi malu menurut saya bukanlah sifat genetis yang dibawa dari lahir. Malu jenis ini bisa jadi hasil dari penanaman pemahaman yang kurang tepat dan pendidikan yang kurang bijak. Dalam kultur tertentu, dari kecil kita dibudi dayakan dengan pemikiran – pemikiran yang membentuk pemikiran di otak kita bahwa saya memang pemalu alias tidak percaya diri. Sering kali orang tua memperkenalkan anaknya yang pendiam sebagai buah hati kami yang pemalu. Atau secara tidak sadar memperolok kekurangan pada anak dan membandingkan dengan sesuatu yang kita anggap lucu. Misalnya ompong itu seperti nenek peot, pendek seperti ateng, gendut seperti panda, gagap seperti aziz dan bandingan – bandingan secara fisik lainnya. Dalam kehidupan orang dewasa pun kadang – kadang suatu otoritas dalam lingkungan tertentu mengakibatkan budaya malu yang salah.
Kebiasaan malu yang salah tadi bisa saja terbawa terus sampai dewasa. Ketika dewasa lah kita menyadari kekurangan yang satu ini. Menjadi pemalu dan tidak percaya diri membuat kita susah. Rasa malu jenis ini tidak melayani kita untuk berkembang lebih baik. Ada kita lihat pejabat tinggi negara pun berkeringat dingin dan menyampaikan pidato kenegaraan dengan suara bergetar. Ada juga direktur perusahaan terlihat canggung dan terbata – bata ketika tampil di depan kamera dan alhasil iklan perusahaan yang harusnya sempurna, harus gagal karena direkturnya sendiri tampil grogi seperti orang kebelet mau pipis. Yang lucunya ketika melihat menteri didaulat kepanggung untuk menyanyi, yang ada penonton merasa kasihan, ngga tega karena penampilan di atas panggung lebih buruk dari badut yang gugup berusaha mengikuti artis bernyanyi.
Ada juga yang berpendapat kepercayaan diri itu lebih mengarah kepada kesombongan. Pede karena berkuasa, pede karena kaya, pede karena pandai. Pede yang lahir dari ambiguitas. Kepercayaan diri seperti ini akan hilang seketika jika berhadapan dengan pribadi yang lebih sempurna. Diatas langit ada langit. Jika yang dimaksud seperti itu, tentunya gampang kita menilai bahwa kepercayaan diri tersebut bagian dari kompleksitas tidak malu yang negatif. Karena kepercayaan diri yang positif tentunya berasal dari akar yang positif.
Setelah kita mengetahui hal ini, tentu kita bisa menilai diri kita sendiri. Lebih besar mana kecenderungan kita. Bagi yang sulit untuk mengatasi rasa malu karena kurang percaya diri, maka harus ada langkah perubahan. Bayangkan tiba – tiba anda diutus mewakili presiden untuk berpidato di depan presiden Amerika? Malu mungkin bisa disamakan dengan otot. Harus ada latihan – latihan berkesinambungan untuk melatih kepercayaan diri agar berangsur – angsur semakin kuat dan mampu mengatasi rasa malu. Latihan yang konstan memang tidak mudah, diperlukan konsentrasi pemikiran dan ketahanan mental. Kalu fisik yang dilatih adalah otot, maka percaya diri yang dilatih adalah mental dan pikiran. Pikiran dilatih untuk terbiasa fokus dan konstan dalam situasi apapun. Mental dilatih dengan membiasakan diri untuk berani tampil , sehingga forum sebesar apapun, sekaliber apapun, walaupun kita gugup dan kuatir, pikiran tetap fokus dan dapat melenggang ke depan, tenang tidak terlihat grogi dan mampu memukau semua orang. Sehingga kekuatiran bakal malu – maluin tidak terjadi dan sekali berhasil mengatasi, maka selanjutnya akan semakin mudah, Demikian dari saya, semoga bermanfaat.
Doddy Hidayat – Creative Business Consultant
Email: doddysaja@gmail.com
www.creativealwayson.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H