Awal minggu (tanggal 9 Feb) bagi Gubernur DKI Basuki adalah minggu yang sangat tidak nyaman. Bagaimana bisa nyaman, bila Jakarta mendadak diserbu jutaan meter kubik air dan menimbulkan banjir. Mungkin masih mudah berkilah bila sekedar "Jakarta" yang banjir. Yang repot, ring I sekitar Istana Negara ikut banjir. Jelas ini berbahaya, karena air ikut mampir ke 'rumah' orang nomor satu di Indonesia. Bahayanya apa bila Istana banjir? Mungkin bukan masalah banjirnya, tapi kesan tidak mampu kerja baik, itulah yang ditakutkan Gubernur Basuki (Ahok).
Media Kompas online beritakan bahwa Gubernur Basuki meyakini Istana Negara dan Kawasan Monas tidak mungkin banjir. Saya tidak dengar langsung statement tersebut, tetapi saya duga statement tersebut disampaikan dengan berapi - api khas pak Ahok. Saya tarik ingatan saat Istana Negara kebanjiran ketika masih dihuni pak SBY, ya sekitar bulan awal-awal tahun 2014. Saat itu banyak komentar yang intinya "rasain tuh Presiden kebanjiran, biar sama-sama merasakan penderitaan rakyat Jakarta". Terus terang, saya tidak mengetahui adanya perbaikan mendasar pada sistem drainase yang mengelola aliran air di sekitar Istana dan Monas. Yang saya ketahui, waduk Pluit dinormalisasi, itu saja. Bila memang tidak ada gerakan perbaikan apapun sejak tahun 2014, mengapa pak Ahok sesumbar Istana tidak mungkin banjir? Kondisi tidak akan otomatis membaik meskipun pak Jokowi sudah jadi Presiden dan pak Ahok jadi Gubernur DKI. Jadi bila yang dilakukan cuma bersih-bersih selokan dan kirim-kirim excavator, banjir masih akan terjadi.
Saya sih menyarankan jangan percayai janji siapapun yang mengatakan mampu hilangkan banjir dari Kota Jakarta. Saya yakin saat Pilkada DKI tahun 2012, semua calon jualan kecap bahwa dia mampu enyahkan banjir dari kota Jakarta. Pak Jokowi juga demikian. Bahkan beliau sendiri yang katakan pada bulan April 2014, bahwa banjir DKI akan mudah ditangani bila Jokowi jadi Presiden. Kini, boro- boro punya waktu memikirkan banjir, urusan KPK Vs Komjen BG saja sudah sangat menyita waktu dan pikiran. Belum lagi harus jelaskan kasus baru: Esemka vs Proton.
Jakarta konon sudah banjir sejak jaman VOC. Saat itu area kota Jakarta barangkali hanya meliputi pelabuhan Sunda Kelapa, Kota dan sebagian Jakarta Pusat kini. Saya termasuk yang berpendapat bahwa Jakarta tidak akan pernah bebas dari banjir. Mengapa demikian? Elevasi kota Jakarta lebih rendah dari muka laut. Disamping itu, sejak awal, Jakarta tidak punya kanal besar yang berfungsi sebagai saluran drainase primer. Bila kini sudah dibangun kali Banjir Kanal (Barat dan Timur), itu tidak menuntaskan masalah, karena sudah kadung carut marut tata ruangnya. Dari aspek Hidrologi, yang paling logis dan maksimum adalah mengupayakan banjir cepat surut. Bila sekarang banjir surut dalam waktu 12 jam misalnya, maka dengan pembenahan sana sini bisa dipercepat menjadi 6-8 jam. Saat pak Jokowi baru jadi Gubernur DKI, beliau lontarkan ide Deep Tunnel yang segera memperoleh tepuk tangan riuh rendah pada pendukungnya. Ide tersebut dianggap ide baru yang cespleng. Padahal tahun 2007 an, Kementerian PU sudah pernah adakan studi Deep Tunnel di kota Jakarta. Hasil studi: dengan biaya 4-5 trilyun rupiah (harga th 2007) Deep Tunnel hanya mampu turunkan muka air banjir rata-rata kurang dari 30 cm!.
Maka saran saya adalah, buat Pond sebanyak mungkin di DKI. Waduk-waduk harus intensif dinormalisir. Saluran air selalu dalam kapasitas pengaliran maksimum. Pompa harus bekerja dengan baik dan pasanglah Diesel Pump agar tidak merasa disabotase saat listrik dimatikan PLN! Pilihan penanggulangan banjir tidaklah banyak. Tidak mungkin ada langkah radikal yang cespleng seperti obat diare. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H