Lihat ke Halaman Asli

Doddi Ahmad Fauji

Jurnalis Mandiri, penulis puisi, aktivis tani ternak

Satu Abad Penyair Chairil yang Terpental

Diperbarui: 7 Juli 2022   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lomba Cipta Puisi 100Thn. Chairil Anwar, informasi dapat dilihat di https://youtu.be/dyKR828_rxk

Oleh Doddi Ahmad Fauji

Pada 26 Juli 1922, penyair Chairil Anwar lahir, maka pada 26 Juli 2022, si 'Binatang Jalang' itu genap berusia satu abad.

Tahun 2022 ini, ada tiga cendekiawan yang juga berusia sebad, yaitu Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, dan Soejatmoko. Namun kepeloporan Chairil Anwar dalam perpuisian, membuatnya lebih menggugah orang-orang untuk merayakannya, di beberapa tempat, di Indonesia ini.

Namun, seberapa penting penyair hadir bagi sebuah bangsa?


"Siapa dia yang teriak-teriak itu?" tanya Caesar kepada para punggawanya, saat mereka berjalan di alun-alun hendak menemui kerumunan masa.
"Dia penyair, Caesar!"
"Negara tidak butuh puisi. Gantung penyair!" Kata Caesar.


Penggalan dialog di atas, terdapat dalam naskah Julius Caesar gubahan William Shakespeare. Naskah tragedi bermuatan politik ini pernah dipentaskan oleh Studiklub Teater Bandung dari terjemahan Asrul Sani, dengan sutradara Suyatna Anirun, pada 1997 di lima Kota Pulau Jawa, tentu salah satunya di Kota Bandung. Pada 1997 juga, Julius Caesar versi terjemahan Ikranagara, dipentaskan oleh Teater Lembaga IKJ di Jakarta, dengan judul dirombak Brutus Vs Caesar.


Lakon Julius Caesar berkisah tentang siapa pahlawan dan siapa penghianat, ketika Julius rubuh ditikam pedang Kaska yang bengis, dan pastinya yang paling menyakitkan, adalah tusukan terakhir dari pedang Brutus sebagai anak asuhnya. "E tu Brutus?" (kamu juga Brutus), kata Julius, sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir.


Lakon Julius Caesar dipentaskan STB dan Teater Lembaga, seakan memprediksi bakal terjungkalnya Pak Harto setahun kemudian, 21 Mei 1998. Setelah 14 menteri-nya secara serempak mundur dari Kabinet, dan Ketua MPR/DPR Harmoko yang sebelumnya getol mengkampanyekan Pak Harto untuk kembali jadi Presiden, namun tiba-tiba di gedung MPR/DPR Senayan dengan disiarkan TV, Harmoko mengatakan sebaiknya Pak Harto mengundurkan diri jabatan Presiden RI untuk Periode ke-7.


Pak Harto pun lengser ke prabon, tapi tak sampai menemui ajal sesakit yang dialami Julius. Namun, sebelum Pak Harto turun tahta, seorang penyair jalanan yang paling garang dalam mengeritik penguasa dan kekuasaan, yaitu Wiji Thukul, hilang dari peredaran hingga sekarang. Berdasar kabar yang tak terusut, Wiji Thukul diculik aparat.


Berikut petikan larik-larik garang yang menukik dari Wiji itu: Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!


Lenyapnya Wiji di era akhir Orde Baru itu, terasa similar dengan penyataan Julius kepada punggawanya: Negara tak butuh puisi. Gantung penyair!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline