Lihat ke Halaman Asli

Kuliah Lama : Sebuah Pilihan atau Keterpaksaan ?

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Lalu kapan saya akan di wisuda?

adik kelas sudah lebih dulu

Hati cemas merasa terus begini,

teman baik sudah di DO”

(koboy kampus-The Panasdalam)

Mungkin tulisan ini agak sedikit basi, mungkin juga bisa dianggap sebuah pembenaran dari saya, karena memang saya menyelesaikan studi S-1 di bidang akuntansi menempuh waktu cukup lama – 8 tahun.

Kuliah sering dianggap sebagai jembatan untuk mencapai masa depan, bahkan masih banyak orang yang beranggapan, kurang afdol apabila dalam undangan pernikahannya, gelar akademis tidak dicantumkan. Padahal menurut saya, di Indonesia ini kuliah hukumnya makruh, Lho? Karena Pemerintah Negara kita hanya mewajibkan belajar sampai ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), berarti jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) itu sunah dan kuliah adalah makruh. Silahkan kalau ada yang berpikiran lain. Terlepas dari hukumnya, kuliah sebagai amanat dari orang tua, idealnya harus diselesaikan tepat waktu, tetapi pada beberapa orang yang harus menjalani masa studi yang panjang, sampai ada istilah MA-Mahasiswa Abadi, atau bahkan MAS-Mahasiswa Abadi Sekali.

Ada beberapa golongan mahasiswa yang biasanya menyelesaikan kuliah dalam waktu lama. Pertama, mahasiswa penganut ideologi ‘nasakom’ (nasib satu koma). Indeks Prestasi Kumulatif nya selalu di bawah 2.00. Banyak mata kuliah yang harus diulang untuk memperbaiki nilai. Biasanya mahasiswa ini termasuk “Tim Hore”, ke kampus hanya untuk bergaul dan biar dibilang eksis (tapi jangan lebay plis). Jarang sekali masuk kelas, atau kalaupun masuk sudah injury time. Namun sekarang mekanisme mengulang mata kuliah menjadi dipermudah karena ada yang namanya sistem semester pendek. Mengulang satu mata kuliah hanya dalam waktu 1 bulan, pada masa jeda libur semester reguler. Jadi seharusnya yang menganut nasakom ini juga tidak perlu teralalu lama, kecuali ternyata waktu mengulang mata kuliahnya, nilai tidak beranjak naik. “deket ujian dia sibuk fotokopi, cari catetan colek sana-colek sini, waktu ujian gayanya kayak yang ngerti, udah dua jam kertasnya belum diisi.” begitu PSP (Pancaran Sinar Petromak) menggambarkan mahasiswa yang selalu sulit untuk mendapat nilai baik karena ulahnya sendiri.

Golongan kedua biasanya datang dari aktivis kampus. Ada aktivis sejati yang bergerak karena tuntutan Tri Dharma Perguruan Tinggi, atau aktivis yang hanya mencari kompensasi karena IPK nya nasakom seperti di atas. Para aktivis ini terlalu banyak kegiatan di luar kuliah sehingga urusan studi menjadi nomor 2. Mereka selalu bilang, “sebelum saya lulus, saya harus bisa berbuat banyak untuk kampus dan rakyat”. Beberapa aktivis berpikiran pergerakannya akan lebih mudah bila masih menyandang gelar mahasiswa. Banyak aktivis kampus yang memang bergerak demi rakyat mengorbankan kuliahnya karena mereka sering keluar masuk penjara karena dianggap menggangu stabilitas negara seperti pada era Orde Baru, kuliahnya baru selesai setelah bebas dari bui. Mahasiswa yang melewati fase penjara dalam masa kuliahnya, biasanya menjadi orang sukses, tapi bukan berarti untuk menjadi orang sukses harus masuk bui dulu.

Golongan selanjutnya datang dari kaum pekerja, mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Terdapat sedikit kesulitan dalam membagi waktu dan pikiran antara studi dan pekerjaan. Beberapa berpikiran buat apa kuliah dibuat serius, toh sudah bisa cari duit. Kuliah akhirnya menjadi nomor 2 dan menjadi malas untuk menyelesaikannya.

Termasuk golongan manapun kita, seharusnya kuliah bisa tepat waktu. Kuliah tidak seperti waktu di sekolah. Ayah saya selalu bilang kuliah itu bukan kewajiban, tapi kesadaran. Bergantung pada kesadaran diri kita, kapan mau selesai atau kapan mau DO. Menjadi Tim Hore ataupun aktivis kampus adalah sebuah pilihan dengan segala konsekuensinya. Semua bergantung pada bagaimana kita melakukan manajemen diri dan manajemen waktu, masih banyak yang bisa mendapat IPK diatas 3.00 tapi tetap gaul dan tidak menjadi nerd. Banyak pula para aktivis yang concern dengan pergerakan tetapi tetap menjaga IPK dan bisa lulus tepat waktu.

Jujur saja, dulu saya kuliah lama bukan karena masalah IPK, karena mulai memasuki semester 8 saya bekerja dan menjadi malas untuk menyelesaikan skripsi. Mengapa malas saya tebalkan, karena memang penyebab utama, kuliah lama saya adalah rasa malas itu, bukan pekerjaannya. Alhamdulillah, (walaupun mungkin telat) saya kembalidiingatkan oleh seseorang, bahwa kuliah itu amanat orang tua yang harus saya selesaikan, sampai akhirnya saya bisa selesai kuliah dan membuat orang tua saya bahagia. Ternyata orang tua lebih bahagia melihat kita di wisuda dibanding menerima uang dari hasil kita bekerja tetapi kuliah kita terbengkalai. Motivasi saya bangkit kembali karena ingin membahagiakan orang tua.

Kuliah lama atau tepat waktu seharusnya adalah sebuah pilihan yang memang harus diambil demi sesuatu yang lebih berharga, jangan menjadi keterpaksaan karena IPK kita masih rendah, dan banyak mata kuliah yang harus diulang.

Kita harus bisa menjaga motivasi untuk punya tekad menyelesaikan kuliah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline